Tanggapan
terhadap berita HIV/AIDS di Harian “Suara
Karya”
Oleh:
Syaiful W. Harahap
[Sumber:
Newsletter ”InfoAIDS” edisi No.
5/Maret 2009]
“Pengetukan Perda Setelah Pemilu”, Harian
“Suara Karya”, 18 Maret 2009. Ini tentang Raperda AIDS Jateng. Salah
satu cara penanggulangan epidemi HIV Indonesia adalah melalui peraturan daerah
(perda). Sampai sekarang sudah ada 22 daerah mulai dari provinsi, kabupaten dan
kota di Indonesia yang mempunyai perda penanggulangan AIDS.
Hasilnya?
Sampai sekarang belum diuji. Di Tanah Papua dengan 7 perda kasus HIV/AIDS terus
terdeteksi padahal perda pertama disahkan tahun.2003 (Perda AIDS Kab. Nabire).
Pembuatan perda penanggulangan AIDS
‘berkiblat’ ke Thailand yang dikabarkan bisa menurunkan indisen penularan HIV
baru di kalangan dewasa dengan program ‘100 persen kondom”.
Sayang,
program itu di Thailand merupakan ekor dari suatu paket program yang
berkesinambungan. Langkah pertama yang dilakukan Thailand justru mengembangkan
media massa sebagai saluran penyuluhan secara nasional.
Lagi
pula program ‘100 persen kondom’ itu bisa dilakukan di Thailand karena di sana
ada lokalisasi pelacuran dan rumah bordir sehingga ada mekanisme pengawasan
yang jelas. Sedangkan di Indonesia program ini tidak bisa dijalankan karena
tidak ada lokaliasi ‘resmi’.
Perda-perda
AIDS yang sudah ada bagaikan ‘copy paste’. Penanggulangan yang ditawarkan pun
hanya dari aspek moral. Ini tidak akan jalan karena tidak ada kaitan langsung
antara moral dan penularan HIV.
Dalam
berita disebutkan “ …. tidak adanya kewajiban tes HIV-AIDS bagi kelompok
berisiko tinggi, seperti para tenaga kerja Indonesia (TKI) luar negeri, pekerja
seks komersial (PSK), lesbian, dan homoseksual”. Tidak ada kelompok atau
kalangan yang berisiko tinggi tertular HIV. Penularan HIV melalui hubungan seks
tergantung pada perilaku orang per orang. Seorang PSK pun jika hanya mau
meladeni laki-laki yang memakai kondom ketika melakukan hubungan seks maka
risiko tertular HIV rendah.
Sebaliknya,
‘laki-laki baik-baik’ yang tidak memakai kondom jika melakukan hubungan seks,
di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan
seseorang yang sering berganti-ganti pasangan maka dia berada pada risiko
tinggi tertular HIV.
Disebutkan
bahwa angka pasti kasus HIV/AIDS di Jateng karena tidak ada kewajiban tes bagi
TKI, PSK, lesbian dan homoseksual. Ini menyesatkan karena kasus HIV/AIDS tidak
terkonsentrasi pada mereka. Lagi pula yang menularkan HIV kepada PSK adalah
laki-laki yang dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai ‘orang baik-baik’:
suami, duda, lajang, remaja yang bekerja sebagai pegawai, karyawan, palajar,
mahasiswa, pedagang, sopir, pemulung, rampok, dll.
Belum
ada kasus penularan HIV yang dilaporkan dengan faktor risiko lesbian. Bagaimana
perda akan ‘menjerat’ lesbian dan gay (homoseksual adalah orientasi seks
terhadap sejenis, jadi bisa laki-laki kepada laki-laki atau perempuan kepada
perempuan)? Apakah akan ada razia terhadap orientasi seks penduduk?
Jika
kelak dalam perda AIDS Jateng ada kewajiban tes bagi TKI, PSK, lesbian dan
homoseksual maka hal ini merupakan perbuatan yang melawan hukum dan pelanggaran
berat terhadap hak asasi manusia. Dalam kaitan epidemi HIV kesepakatan
internasional menyebutkan tidak ada kewajiban tes HIV.
Lagi
pula kewajiban tes bagi TKI, PSK, lesbian dan homoseksual akan menyuburkan
stigma (cap buruk) dan mendorong masyarakat melakukan diskrminasi terhadap
mereka. Ini mengesankan HIV dibawa dari luar negeri.
Lagi-lagi
perda yang diharapkan menanggulangi AIDS justru menimbulkan ‘bencana’ dengan
program yang tidak adil dan diskriminatif.
Mengapa
pegawai kedutaan, pelancong atau pengusaha yang sering atau lama di luar negeri
tidak diwajibkan tes HIV?*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.