Tanggapan terhadap Tulisan
Faizatul Rosyidah tentang "Kritik Islam terhadap Strategi
Penanggulangan HIV/AIDS" [Pusat Studi Intelektual Muslimah (PSIM) Unair
Surabaya]
Oleh:
Syaiful W. Harahap
[Pemerhati
berita HIV/AIDS melalui LSM (media watch) “InfoKespro”
Jakarta]
E-mail:
infokespro@yahoo.com – Blog: http://aidsmediawatch.wordpress.com/
Sebuah
tulisan berjudul “Kritik Isalam terhadap Strategi Penanggulangan HIV-ADS
Berbasis Paradigma Sekuler-Liberal dan Solusi Islam dalam Menangani
Kompleksitas Problematika HIV-AIDS”
(http://www.scribd.com/doc/17476485/Kritik-Islam-Terhadap-Strategi-Penanggulangan-HivAids-Berbasis-Paradigma-Sekulerliberal-Dan-Solusi-Islam-Dalam-Menangani-Kompleksitas-Problematika-H)
menunjukkan pemahaman penulisnya, Faizatul Rosyidah, terhadap HIV/AIDS sebagai
fakta medis yang sangat rendah. Tulisan ini pun mengumbar mitos (anggapan yang
salah) tentang HIV/AIDS dan moral.
Sebagai
seorang intelektual Faizatul Rosyidah menyebutkan: Sungguh suatu kebodohan yang
menyesatkan, menyatakan bahwa “Masalah HIV hanyalah masalah medis semata yang
tidak berkaitan dengan perilaku seks bebas.” Kutipan ini dikutip Faizatul
Rosyidah dari ‘Surat Pembaca’ di Harian “Radar Jember”
(11/12-2006) yang saya kirim sebagai tanggapan terhadap sebuah berita HIV/AIDS
di koran tersebut.
Faizatul
Rosyidah menyimpulkan bahwa HIV/AIDS “ …. berasal dari kalangan berperilaku
seks bebas dan menyimpang” berdasarkan penemuan kasus awal yang terdeteksi di
kalangan gay. Padahal, pada rentang waktu yang sama juga terdeteksi kasus
HIV/AIDS di kalangan pekerja seks di bagian lain di Amerika Serikat. Bahkan,
setelah WHO menetapkan HIV sebagai penyebab AIDS dan mengakui tes HIV di
Norwegia ditemukan contoh darah dari tahun 1959 yang terkontaminasi HIV.
Dalam
tulisannya Faizatul Rosyidah sama sekali tidak memberikan defenisi tentang
‘seks bebas’. ‘Seks bebas’ disebutkan 27 kali dalam tulisan tersebut. Istilah
ini merupakan terjemahan bebas dari free sex yang justru tidak
terdapat dalam kosa kata Bahasa Inggris.
Kalau
‘seks bebas’ diartikan sebagai zina maka sama sekali tidak ada kaitan langsung
antara zina dengan penularan HIV. Sebagai virus, HIV menular melalui hubungan
seks di dalam atau di luar nikah jika salah satu atau kedua-dua pasangan itu
HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali melakukan hubungan
seks. Sebaliknya, kalau satu pasangan dua-duanya HIV-negatif maka tidak ada
risiko penularan HIV biar pun hubungan seks dilakukan tanpa kondom dengan cara
zina, melacur, ’seks bebas’, ’jajan’, selingkuh, ’kumpul kebo’, dan
homoseksual. Ini fakta medis.
Perilaku
’seks bebas dan menyimpang’ adalah tataran normatif yang dilihat dari sudut
pandang norma, moral, dan agama. Secara perspektif dalam hubungan seks sebagai
kegiatan biologis tidak ada penyimpangan (hubungan) seks. Sebagai virus, HIV
menular melalui hubungan seks bukan karena sifat hubungan seks
(melacur, zina, ’seks bebas’, ’jajan’, selingkuh, ’kumpul kebo’, seks oral dan
seks anal, serta homoseksual) tapi karena kondisi hubungan seks
(salah satu atau kedua-duanya HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom).
Secara
global kasus HIV paling banyak terdeteksi dengan faktor risiko (penularan)
melalui hubungan seks, tapi tidak semuanya melalui hubungan seks di luar nikah
atau zina yang dalam bahasa Faizatul Rosyidah disebutkan sebagai ’seks bebas
dan menyimpang’. Jika ’seks bebas’ dalam pemahaman Faizatul Rosyidah juga
termasuk melacur maka ada fakta yang digelapkan. HIV di kalangan pelacur (baca:
pekerja seks) justru ditularkan oleh laki-laki yang dalam kehidupan sehari-hari
bisa sebagai seorang heteroseksual atau biseksual yang menjadi suami, duda,
atau perjaka. Laki-laki inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV secara
horizontal antar manusia.
Disebutkan
pula ”Seks bebas sebagai sumber penularan pertama dan utama HV/AIDS, juga
terbukti di Indonesia. Kasus AIDS pertama ditemukan di Denpasar, Bali yang
merupakan surga bagi penikmat seks bebas.” Ini tidak akurat karena
wisatawan Belanda yang meninggal di Bali (1987) karena penyakit terkait AIDS
justru tidak tertular di Bali karena kematian pada orang-orang yang tertular
HIV secara statistik terjadi pada rentang waktu antara 5-15 tahun setelah
tertular. Wisatawan tadi sudah tertular antara tahun 1972 dan tahun 1982 jauh
sebelum dia piknik ke Bali.
Selanjut
disebutkan pula ”Selanjutnya, Indonesia dikategorikan sebagai negara dengan
epidemi HIV/AIDS terkonsentrasi pada kelompok perilaku seks bebas. Hingga
sekarang kondisi ini terus berlangsung.” Kalalu yang dimaksud Faizatul Rosyidah
’kelompok perilaku seks bebas’ adalah pekerja seks maka konsentrasi di kalangan
ini besar karena survailans tes HIV (tes HIV pada kalangan tertentu dan pada
waktu tertentu untuk mendapatkan angka prevalensi yaitu perbandingan antara
yang HIV-negatif dan HIV-positif) hanya dilakukan terhadap pekerja seks.
Sedangkan
laki-laki yang menularkan HIV kepada pekerja seks luput dari target survailans
tes HIV. Belakangan setelah ada donor yang mendanai klinik-klinik tes dengan
konseling (dikenal sebagai Klinik VCT) mulai terdeteksi kasus-kasus HIV di
berbagai kalangan di semua lapisan masyarakat. Celakanya, banyak yang
terdeteksi setelah masa AIDS sehingga pada rentang waktu sejak tertular sampai
terdeteksi mereka sudah menularkan HIV kepada orang lain tanpa mereka sadari.
Yang beristri akan menularkan HIV kepada istrinya atau pasangan seksnya yang
lain (horizontal). Kalau istrinya tertular maka ada risiko penularan HIV kepada
bayinya kelak (vertikal).
Ada
lagi pernyataan ”Demikianlah, seks bebas jelas telah menjadi sumber pertama dan
utama penularan HIV/AIDS. Hal ini penting diperhatikan, karena akhir-akhir ini
banyak diopinikan bahwa penularan HIV/AIDS yang tertinggi adalah akibat
penggunaan jarum suntik tidak steril di kalangan pengguna jarum suntik atau IDU
(intravena drug user). Opini ini jelas telah mengabaikan bahaya
penularan akibat perilaku seks bebas, termasuk perilaku seks bebas pada IDU
akibat loss kontrol.” Hubungan seks, sekali lagi hubungan seks bukan ’seks
bebas’ karena tidak semua hubungan seks terkait penularan HIV dilakukan sebagai
zina, tetap merupakan faktor risiko utama dalam penularan HIV.
Terkait
dengan kasus HIV/AIDS yang banyak terdeteksi di kalangan pengguna narkoba, juga
selalu disebutkan pada usia produktif atau remaja, terjadi karena pengguna
narkoba suntik yang akan menjalani rehabilitasi diwajibkan tes HIV. Sebaliknya,
tidak ada mekanisme yang bisa ’memaksa’ orang-orang yang tertular melalui
hubungan seks untuk menjalani tes HIV. Inilah kelak yang akan menjadi bencana
karena kasus HIV di luar kalangan ’pelaku seks bebas dan menyimpang’ (meminjam
istilah Faizatul Rosyidah) akan menjadi ’bom waktu’ ledakan AIDS di masa yang
akan datang.
Di
beberapa negara sudah diterapkan skrining untuk ’menjaring’ kasus HIV di masyarakat
melalui skrining rutin, sentinel dan khusus. Di Malaysia, misalnya, ada
skrining rutin terhadap pasien IMS, pengguna narkoba, wanita hamil, pokisi,
narapidana, darah donor, dan pasien TB. Maka tidak mengherankan kalau kemudian
kasus HIV/AIDS yang terdeteksi di Malaysia mendekat angka ril di masyarakat.
Dengan penduduk 25 juga sudah dilaporkan lebih dari 40.000 kasus HIV/AIDS.
Bandingkan dengan Indonesia yang berpenduduk 230 juta baru melaporkan kasus
23.632 kasus HIV/AIDS.
Kondisi
epidemi HIV/AIDS di Indonesia kian runyam karena materi KIE (komunikasi,
informasi, edukasi) tentang HIV/AIDS selalu dibalut dengan norma, moral, dan
agama. Akibatnya, masyarakat tidak memahami cara-cara penularan dan pencegahan
HIV yang akurat. Inilah awal bencana karena banyak orang kemudian yang tidak
menyadari dirinya sudah tertular HIV karena tidak ada tanda, gejala tau
ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik mereka sebelum masa AIDS.
Disebutkan
pula ”Kondomisasi (100% kondom) sebagai salah satu butir dari strategi nasional
tersebut yang telah ditetapkan sejak tahun 1994 hingga sekarang.” Ini
menyesatkan karena dalam berbagai program penanggulangan HIV di Indonesia tidak
ada program ’kondomisasi’. Yang dilakukan adalah sosialisasi kondom (upaya
pembelajaran kepada masyarakat) sebagai alat untuk mencegah penularan IMS
(infeksi menular seksual yaitu penyakit-penyakit yang ditularkan melalui
hubungan seks, seperti sifilis, GO, klamidia, hepatitis B, dll.) serta HIV.
Terkait
dengan ’100% kondom’ ini mengacu ke program di Thailand yang dikabarkan
berhasil menekan laju insiden infeksi HIV baru di kalangan dewasa yaitu
kewajiban memakai kondom pada hubungan seks berisiko tertular HIV. Hubungan
seks berisiko adalah hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah
yang dilakukan dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang
sering berganti-ganti pasangan. Program ’100 persen kondom’ di Thailand
dilakukan di lokasi atau lokalisasi pelacuran dan rumah bordir.
Namun,
program ’wajib kondom 100 persen’ Thailand hanyalah ekor dari rangkaian program
penanggulangan yang komprehensif. Nah, Indonesia justru mengekor ke ekor
program. Inilah yang terjadi pada 30 peraturan daerah (perda) penanggulangan
HIV/AIDS di tingkat provinsi, kabupaten dan kota. Akibatnya, terjadi pemahaman
yang salah dan penolakan terhadap sosialisasi kondom sebagai alat untuk
mencegah penularan HIV melalui hubungan seks berisiko.
Ada
lagi pernyataan ”Namun kenyataannya kondomisasi ini tidak terbukti mampu
mencegah penyebaran HIV/AIDS. Di saat budaya kebebasan seks tumbuh subur,
ketaqwaan yang kian tipis (bahkan mungkin tidak ada), kultur yang kian
individualistis, kontrol masyarakat semakin lemah, kemiskinan yang kian
menghimpit masyarakat dan maraknya industri prostitusi, kondomisasi jelas akan
membuat masyarakat semakin berani melakukan perzinahan apalagi dengan adanya
rasa aman semu yang ditanamkan dengan menggunakan kondom.” Walaupun sosialisasi
kondom gencar tapi banyak orang, di semua negara, yang enggan memakai kondom
pada hubungan seks berisiko dengan berbagai macam alasan.
Selain
itu kualitas kondom, cara pemakaian dan konsistensi pemakaian juga menjadi
faktor yang mempengaruhi penyebaran HIV melalui hubungan seks yang berisiko.
Perihal
kondom pun di Indonesia terjadi penyesatan karena ada informasi yang tidak
akurat. Dalam tulisan Faizatul Rosyidah juga ada pernyataan: ” .... ternyata
kondom sendiri terbukti tidak mampu mencegah transmisi HIV. Hal ini karena
kondom terbuat dari bahan dasar latex (karet), yakni senyawa hidrokarbon dengan
polimerisasi yang berarti mempunyai serat dan berpori-pori. Dengan menggunakan
mikroskop elektron, terlihat tiap pori berukuran 70 mikron, 26 yaitu 700 kali
lebih besar dari ukuran HIV-1, yang hanya berdiameter 0,1 mikron.” Justru
kondom yang terbuat dari lateks tidak mempunyai pori-pori. Kondom yang berpori
adalah kondom yang terbuat dari usus binatang yang tidak ada di Indonesia.
Sebagai virus, HIV tidak bisa melepaskan diri dari cairan tempatnya hidup.
Ini
juga pernyataan Faizatul Rosyidah ”Di AS, kampanye kondomisasi yang
dilaksanakan sejak tahun 1982 bahkan terbukti menjadi bumerang. Hal ini dikutip
oleh Hawari, D (2006) dari pernyataan H. Jaffe (1995), dari Pusat Pengendalian
Penyakit Amerika Serikat (US: CDC: United State Center of Diseases Control).
Evaluasi yang dilakukan pada tahun 1995 amat mengejutkan, karena ternyata
kematian akibat penyakit AIDS menjadi peringkat no 1 di AS, bukan lagi penyakit
jantung dan kanker. Selain itu, kondom memang dirancang hanya untuk mencegah
kehamilan, itupun dengan tingkat kegagalan mencapai 20%. Selain kondom untuk
pria, saat ini di Indonesia juga dipopulerkan kondom perempuan.” Biar pun
sosialiasi kondom gencar tapi tingkat pemakaian pada hubungan seks berisiko
tetap tidak bisa dikontrol karena terpulang kepada pilihan setiap orang: pakai
atau tidak pakai. Tidak pula dijelaskan apa penyebab kegagalan kondom sebagai
pencegah kehamilan.
Ini
pernyataan Faizatul Rosyidah ”Sehingga, tidak heran setelah program kondomisasi
dijalankan kasus HIV/AIDS justru semakin meningkat pesat. Dengan demikian,
kondomisasi sama saja dengan penghancuran terselubung umat manusia.”
Peningkatan angka kasus HIV/AIDS yang terdeteksi terjadi karena kasus HIV/AIDS
direkapitulasi secara kumulatif. Kasus lama ditambah kasus baru begitu
seterusnya sehingga kasus HIV/AIDS akan terus bertambah atau meningkat.
Faizatul
Rosyidah ‘menawarkan’ strategi jitu Islam menghadapi HIV/AIDS melalui preventif
dan kuratif. Solusi Islam sebagai preventif disebutkan al. menghindarikan
pacaran, perzinaan, seks menyimpang dan khamar. Kalau ditilik dari aspek medis
maka hal ini tidak ada kaitannya secara langsung dengan penularan HIV. Lagi
pula semua agama melarang hal-hal tersebut baik secara eksplisit maupun
implisit.
Sedangkan
solusi kuratif secara Islam yang ditawarkan Faizatul Rosyidah terhadap
orang-orang yang terkena virus HIV/AIDS, adalah:
(1)
Orang yang tertular HIV/AIDS karena berzina maka jika dia sudah menikah dihukum
rajam. Sedangkan yang belum menikah dicambuk 100 kali dan selanjutnya
dikarantina.
(2)
Orang yang tertular HIV/AIDS karena Homoseks maka dihukum mati.
(3)
Orang yang tertular HIV/AIDS karena memakai Narkoba maka dicambuk selanjutnya
dikarantina.
(4)
Orang yang tertular HIV/AIDS karena efek spiral (tertular secara tidak
langsung) misalnya karena transfusi darah, tertular dari suaminya dan
sebagainya, maka orang tersebut dikarantina.
(5)
Penderita HIV/AIDS yang tidak karena melakukan maksiat dengan sangsi hukuman
mati, maka tugas negara adalah mengkarantina mereka.
Faizatul
Rosyidah menyebutkan bahwa ”Karantina dalam arti memastikan tidak terbuka
peluang untuk terjadinya penularan harus dilakukan, terutama kepada pasien
terinfeksi fase AIDS. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Saw yang artinya: “Sekali-kali
janganlah orang yang berpenyakit menularkan kepada yang sehat” (HR
Bukhori). “Apabila kamu mendengar ada wabah di suatu negeri,
maka janganlah kamu memasukinya danapabila wabah itu berjangkit sedangkan kamu
berada dalam negeri itu, janganlah kamu keluar melarikan diri” (HR.
Ahmad, Bukhori,Muslim dan Nasa’i dari Abdurrahman bin ‘Auf).”
Lagi-lagi
pemahaman Faizatul Rosyidah terhadap HIV/AIDS sebagai fakta medis sangat
rendah. Ini merupakan gambaran karena selama ini HIV/AIDS selalu dilihat dari aspek
norma, moral, dan agama sehingga menggelapkan mata (hati) terhadap fakta medis
tentang HIV/AIDS.
Pertama, HIV bukan
wabah karena tidak menular secara massal melalui udara, air dan pergaulan
sosial. Penularan HIV hanya melalui cara-cara yang sangat spesifik. Dalam
jumlah yang dapat ditularkan HIV terdapat dalam cairan darah (laki-laki dan
perempuan), air mani (laki-laki, dalam sperma tidak ada HIV), cairan vagian
(perempuan) dan air susu ibu/ASI (perempuan). Penularan HIV melalui darah
terjadi jika darah yang mengandung HIV masuk ke dalam tubuh melalui transfusi
darah, jarum suntik, jarum tattoo, jarum tindik, jarum akupunktur, alat-alat
kesehatan dan cangkok organ tubuh. Sedangkan penularan HIV melalui hubungan
seks (bisa) terjadi kalau air mani atau cairan vagina masuk ke dalam tubuh
melalui luka-luka mikroskopis (hanya bisa dilihat dengan mikroskop) pada
hubungan seks, seks penetrasi, oral atau anal, di dalam atau di luar nikah yang
tidak memakai kondom. Penularan HIV melalui ASI terjadi jika ASI yang mengandung
HIV masuk ke tubuh melalui proses menyusui.
Kedua, perihal
karantina yang disebutkan Faizatul Rosyidah ”Mengkarantina agar penyakit
tersebut tidak menyebar luas ....”. Biar pun orang-orang yang sudah terdeteksi
HIV-positif dikarantina perlu diingat bahwa di masyarakat jauh lebih banyak
orang (laki-laki dan perempuan) yang sudah tertular HIV tapi tidak terdeteksi.
Orang-orang inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal di
masyarakat. Sejauh ini orang-orang yang terdeteksi HIV melalui tes HIV yang
baku (dengan konseling sebelum dan sesudah tes, informed consent,
anonimitas dan konfidensial) selalu menyatakan tidak akan menularkan HIV kepada
orang lain.
Ada
pula pernyataan ”Karena HIV-AIDS adalah penyakit yang tidak bisa disembuhkan
hingga saat ini ...” Bukan hanya HIV/AIDS yang tidak bisa disembuhkan. Ada
beberapa penyakit yang tidak bisa disembuhkan seperti darah tinggi, diabetes,
thalasemia, dll. Ada pula penyakit yang tidak ada obatnya, seperti demam
berdarah. Sampai sekarang belum ada obat yang bisa membunuh virus di dalam
tubuh manusia. Selain itu penemuan obat dan vaksin beberapa penyakit memerlukan
waktu puluhan sampai ratusan tahun. Sedangkan HIV baru disahkan oleh WHO tahun
1986.
Kritik
yang disebut Faizatul Rosyidah dalam tulisannya sebagai ‘kritik Islam’ terhadap
penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia lebih tepat disebut sebagai ‘kritik
Faizatul Rosyidah’ sebagai pribadi. Mengatasnamakan Islam tapi tidak
proporsional dan menyesatkan tentulah merugikan Islam sebagai agama. ***
Jakarta, 22 Juli 2009
Catatan: pernah dimuat di https://aidsmediawatch.wordpress.com/2010/02/10/tanggapan-terhadap-tulisan-faizatul-rosyidah-tentang-kritik-islam-terhadap-strategi-penanggulangan-hivaids-2/
Catatan: pernah dimuat di https://aidsmediawatch.wordpress.com/2010/02/10/tanggapan-terhadap-tulisan-faizatul-rosyidah-tentang-kritik-islam-terhadap-strategi-penanggulangan-hivaids-2/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.