14 Juli 2017

Tanggapan terhadap Perda AIDS Kab. Merauke, Papua

Pemkab Merauke, Papua, menelurkan Perda No. 5 Tahun 2003 tanggal 27/9/2003 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immunodeficency Syndrome (HIV/AIDS dan Infeksi Menular Seksual (IMS). Ini perda kedua dari 28 Perda AIDS yang ada di Nusantara.

Oleh: Syaiful W. Harahap
[Sumber: Newsletter ”InfoAIDS” edisi No. 6/Oktober 2006]

Agaknya, Perda ini merupakan ‘turunan’ dari ‘Program 100 Persen Kondom’ di Thailand karena hanya mengatur penggunaan kondom. Dikabarkan program ini berhasil menekan infeksi baru di kalangan pelanggan pekerja seks komersial (PSK).

Padahal, di Thailand program itu juga menimbulkan masalah (baru) karena kalangan ‘hidung belang’ putar otak. Mereka membawa PSK ke luar lokalisasi atau rumah bordir sehingga tidak ada lagi kewajiban memakai kondom. Akibatnya, kasus infeksi baru pun tetap terjadi.

Dalam Perda ini PSK disebut sebagai ‘penjaja seks komersial’. Penggunaan kata ‘penjaja’ kepada pekerja seks pada kata ‘penjaja seks komersial’ tidak objektif karena pekerja seks tidak menjajakan seks (diri). Menjajakan berarti berkeliling untuk menjual barang dagangan dengan cara menawar-nawarkan. Yang sudah ‘baku’ adalah pekerja seks komersial (PSK) yang merupakan terjemahan dari commercial sex worker yang dikenal secara internasional.

Apakah pekerja seks berkeliling menawar-nawarkan ‘barang dagangan’-nya? Tentu saja tidak. Lagi pula yang ‘dijual’ PSK bukan barang tapi pelayanan (jasa). Pelanggan tidak membawa pulang ‘barang’ PSK biar pun pelanggan sudah membayarnya. Yang mendatangi PSK adalah laki-laki sehingga kata penjaja tidak tepat diberikan kepada PSK.

Penggunaan kata ‘penjaja seks’ merupakan salah satu bentuk pemberian cap buruk (stigmatisasi) terhadap pekerja seks dan merendahkan harkat martabat sebagai manusia. Kata ‘penjaja seks komersial’ mengesankan PSK berkeliling menggoda laki-laki dengan menawar-nawarkan ‘barang’nya. Hal ini menyudutkan dan memojokkan PSK (baca: perempuan) dan bias gender. Yang terjadi justru laki-laki yang mendatangi PSK.

Pada pasal 1 ayat l disebutkan ‘Penjaja seks adalah seorang laki-laki, perempuan atau waria yang menyediakan dirinya untuk melakukan hubungan seks dengan mendapat imbalan’. Rumusan ini pun merendahkan martabat pekerja seks. Apakah semudah itu mendapatkan (seks) dari mereka?

Pada pasal 4 ayat a disebutkan “Setiap penjaja seks komersial wajib menggunakan kondom saat melakukan hubungan seksual.” Kalau penjaja seksnya laki-laki tentu saja masuk akal. Nah, kalau penjaja seksnya perempuan: Apakah di Merauke sudah tersedia kondom (untuk) perempuan? Kalau ada ya tidak masalah. Tapi, kalau tidak ada tentulah persoalan besar bagi PSK perempuan.

Pada ayat b disebutkan “Memeriksakan diri sekurang-kurangnya satu kali dalam 1 (satu) bulan terhadap penyakit Human Imunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) dan Infeksi Menular Seksual (IMS) pada klinik reproduksi Merauke, Puskesmas, RSUD atau tempat lain yang ditetapkan oleh Pemerintah.” Ada beberapa hal yang terkait dengan pernyataan ini.

Pertama, kapan seorang PSK (harus) memeriksakan diri terhadap infeksi HIV? Pertanyaan ini erat kaitannya dengan pemahaman yang komprehensif terhadap HIV/AIDS. Seseorang berisiko tinggi tertular dan menularkan HIV melalui hubungan seks di dalam atau di luar nikah adalah jika ybs. melakukan hubungan seks tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti. Kalau PSK hanya melakukan hubungan seks dengan laki-laki yang memakai kondom tentu tidak perlu tes HIV atau IMS.

Kedua, dalam kurun waktu satu bulan seorang PSK yang sudah tertular HIV tentulah sudah menularkannya kepada banyak laki-laki yang mengencaninya tanpa kondom. Andaikan satu bulan seorang PSK bekerja 20 hari dan setiap malam melayani 3 (tiga) laki-laki maka ada 60 laki-laki yang berisiko tertular HIV.

Selain itu pada masa jendela (pada kurun waktu tiga bulan setelah tertular) tes bisa menghasilkan positif palsu atau negatif palsu. Hal ini bisa terjadi kalau tes HIV hanya dilakukan dengan rapid test atau ELISA yang tidak dikonfirmasi dengan tes lain.

Positif palsu menimbulkan dampak buruk bagi PSK. Mereka dilarang bekerja dan akan mendapat perlakuan yang tidak adil, stigmatitasi dan diskriminasi. Padahal, bisa jadi mereka tidak tertular. Bahkan, bisa jadi mereka dikucilkan atau dibuang mucikari.

Sedangkan negatif palsu menimbulkan bencana bagi pelanggan laki-laki yang tidak mau memakai kondom karena ada kemungkinan yang terdeteksi negatif palsu justru sudah tertular HIV. Laki-laki pun enggan memakai kondom karena PSK dinyatakan HIV-negatif (palsu).

Penekanan terhadap PSK yang terdeteksi HIV-positif dan mengidap IMS merupakan salah satu bentuk diskriminasi karena mereka ditulari oleh laki-laki.

Maka, kalau ada PSK yang terdeteksi HIV-positif atau mengidap IMS atau dua-duanya sekaligus maka yang perlu diperhatikan adalah laki-laki lokal karena merekalah pelanggan utama PSK. Ada dua kemungkinan.

Pertama, kemungkinan laki-laki lokal menularkan HIV dan IMS kepada PSK.

Kedua, ada kemung-kinan PSK baru (tapi stok lama) yang sudah tertular HIV ketika tiba di Merauke. Kedua ke-mungkinan ini sama-sama berdampak buruk terhadap kesehatan ma-syarakat lokal, ter-utama ibu-ibu rumah tangga, yang tertular dari su-aminya dalam ikatan pernikahan yang sah.

Memakai kondom untuk melindungi diri merupakan suatu sikap yang bertolak dari pemahaman yang kom-prehensif terhadap ri-siko tertular HIV. Pema-kaian kondom dipak-sakan melalui peraturan. Tentu saja akan terjadi pelanggaran karena cara pengawasan yang tidak mudah.

Dalam Perda pengawasan dilakukan melalui ‘ …. sekurang-kurangnya 1 (satu) bulan sekali mengawasi program penggunaan kondom melalui kotak monitor penggunaan kondom dan pemasaran kondom.” Apakah cara ini efektif? Tentu saja tidak. Soalnya, bisa saja bungkus kondom berserakan tapi kondomnya tidak dipakai oleh laki-laki ketika melakukan hubungan seks.

Ada asumsi (moral) yang salah yaitu anggapan bahwa kondom akan mendorong orang untuk berzina. Ini ngawur karena pezina enggan memakai kondom karena repot, tidak nyaman dan tidak nikmat. Maka, upaya untuk memaksa laki-laki memakai kondom bukanlah pekerjaan yang mudah.

Biar pun ada ancaman hukuman jika tidak memakai kondom, tapi laki-laki akan mencari cara untuk menghindar dari peraturan karena berkencan dengan PSK adalah untuk bersenang-senang. Memakai kondom mengurangi kenikmatan. Maka, mereka pun tidak memakai kondom agar bisa bersenang-senang. Ini terjadi karena pemahanan terhadap HIV/AIDS tidak komprehensif sehingga mereka mengababaikan keselamatan.

Selama ini banyak mitos (anggapan yang salah) tentang kondom yang terlanjur berkembang di masyarakat yaitu kondom berpori sehingga bisa ditembus HIV.

Celakanya, media massa pun ikut menyuburkan mitos ini dengan menggiring masyarakat melalui pernyataan yang dikutip wartawan dari pakar yang membalut lidahnya dengan norma, moral dan agama. Padahal, HIV/AIDS dan kondom adalah fakta medis artinya dapat diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran.

Tapi, karena mitos kondom berpori sudah subur di masyarakat maka semua upaya untuk memberikan fakta tentang kondom pun buyar.

Kondom berpori memang ada tapi yang terbuat dari usus binatang. Kondom jenis ini tidak ada di Indonesia. Harga kondom ini di Amerika Serikat, misalnya, sekitar 3 dolar atau Rp 27.000. Harga ini tentu saja mahal bagi sebagian besar pelanggan PSK.

Kondom yang ada di Indonesia adalah kondom yang terbuat dari lateks sehingga tidak berpori-pori. Pembuktiannya sangat mudah. Kondom ditiup,. Biar kan berapa hari. Ternyata kondom tidak kempes. Tapi, karena sudah ada mitos kon-dom berpori maka sa-ngat sulit untuk mem-berikan fakta tentang kondom lateks yang tidak berpori.

Menjadikan kondom sebagai salah satu alat untuk melindungi ma-syarakat pun lagi-lagi buyar karena kondom dibenturkan ke norma, moral dan agama dengan mengatakan bahwa kondom mendorong orang untuk berzina atau melacur.

Ada anggapan di segelintir orang bahwa kegiatan yang ‘merangkul’ PSK sebagai kegiatan untuk melindungi mereka. Ini salah karena dalam kaitan penyebaran IMS dan HIV yang dapat ‘dipegang’ adalah PSK. Sedangkan para ‘hidung belang’ sulit ditangani.

Apakah asumsi yang mengatakan kondom mendorong orang untuk berzina atau melacur terbukti secara empiris? Tentu saja tidak karena para pezina justru enggan memakai kondom karena mengurangi kenikmatan. Sayang, fakta ini tidak pernah muncul sehingga tidak ada perimbangan informasi.

Karena mitos kondom sudah memasyarakat maka orang pun enggan untuk berurusan dengan kondom. Coba lihat wajah karyawan apotek kalau kita membeli kondom. Mereka langsung senyum-senyum. Padahal, orang yang membeli kondom tidak otomatis dipakai untuk berzina atau melacur. Entah apa yang ada di benak mereka. Akibatnya, banyak orang yang enggan membeli kondom.

Ada upaya untuk mendekatkan kondom kepada orang-orang yang perilakunya berisiko tinggi tertular HIV dan IMS dengan memasang mesin kondom (di masyarakat dikenal sebagai ‘ATM Kondom’). Tapi, lagi-lagi protes atas nama moral dan agama menentang ‘ATM Kondom’ datang bertubi-tubi.

Memasyarakatkan kondom bagi orang-orang yang perilakunya berisiko tinggi tertular IMS dan HIV atau dua-duanya sekaligus merupakan upaya untuk memutus mata rantai penyebaran IMS dan HIV ke masyarakat. Laki-laki pelanggan PSK, yang dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai suami, pacar, PIL (pria idaman lain), remaja atau duda bisa menjadi mata rantai penyebaran HIV.

Kalau ‘hidung belang’ enggan memakai kondom ketika kencan dengan PSK dianjurkan agar memakai kondom jika melakukan hubungan seks dengan istri, pacar atau WIL (wanita idaman lain). Ini untuk memutus mata rantai penyebaran IMS dan HIV. *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.