Pemkab Merauke, Papua, menelurkan Perda
No. 5 Tahun 2003 tanggal 27/9/2003 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Human
Immunodeficiency Virus/Acquired Immunodeficency Syndrome (HIV/AIDS dan Infeksi
Menular Seksual (IMS). Ini perda kedua dari 28 Perda AIDS yang ada di
Nusantara.
Oleh:
Syaiful W. Harahap
[Sumber: Newsletter ”InfoAIDS” edisi No. 6/Oktober 2006]
Agaknya, Perda ini
merupakan ‘turunan’ dari ‘Program 100 Persen Kondom’ di Thailand karena hanya
mengatur penggunaan kondom. Dikabarkan program ini berhasil menekan infeksi
baru di kalangan pelanggan pekerja seks komersial (PSK).
Padahal,
di Thailand program itu juga menimbulkan masalah (baru) karena kalangan ‘hidung
belang’ putar otak. Mereka membawa PSK ke luar lokalisasi atau rumah bordir
sehingga tidak ada lagi kewajiban memakai kondom. Akibatnya, kasus infeksi baru
pun tetap terjadi.
Dalam
Perda ini PSK disebut sebagai ‘penjaja seks komersial’. Penggunaan kata
‘penjaja’ kepada pekerja seks pada kata ‘penjaja seks komersial’ tidak objektif
karena pekerja seks tidak menjajakan seks (diri). Menjajakan berarti
berkeliling untuk menjual barang dagangan dengan cara menawar-nawarkan. Yang
sudah ‘baku’ adalah pekerja seks komersial (PSK) yang merupakan terjemahan dari
commercial sex worker yang dikenal secara internasional.
Apakah
pekerja seks berkeliling menawar-nawarkan ‘barang dagangan’-nya? Tentu saja
tidak. Lagi pula yang ‘dijual’ PSK bukan barang tapi pelayanan (jasa).
Pelanggan tidak membawa pulang ‘barang’ PSK biar pun pelanggan sudah
membayarnya. Yang mendatangi PSK adalah laki-laki sehingga kata penjaja tidak
tepat diberikan kepada PSK.
Penggunaan
kata ‘penjaja seks’ merupakan salah satu bentuk pemberian cap buruk
(stigmatisasi) terhadap pekerja seks dan merendahkan harkat martabat sebagai
manusia. Kata ‘penjaja seks komersial’ mengesankan PSK berkeliling menggoda
laki-laki dengan menawar-nawarkan ‘barang’nya. Hal ini menyudutkan dan
memojokkan PSK (baca: perempuan) dan bias gender. Yang terjadi justru laki-laki
yang mendatangi PSK.
Pada
pasal 1 ayat l disebutkan ‘Penjaja seks adalah seorang laki-laki, perempuan
atau waria yang menyediakan dirinya untuk melakukan hubungan seks dengan
mendapat imbalan’. Rumusan ini pun merendahkan martabat pekerja seks. Apakah
semudah itu mendapatkan (seks) dari mereka?
Pada
pasal 4 ayat a disebutkan “Setiap penjaja seks komersial wajib menggunakan
kondom saat melakukan hubungan seksual.” Kalau penjaja seksnya laki-laki tentu
saja masuk akal. Nah, kalau penjaja seksnya perempuan: Apakah di Merauke sudah
tersedia kondom (untuk) perempuan? Kalau ada ya tidak masalah. Tapi, kalau
tidak ada tentulah persoalan besar bagi PSK perempuan.
Pada
ayat b disebutkan “Memeriksakan diri sekurang-kurangnya satu kali dalam 1
(satu) bulan terhadap penyakit Human Imunodeficiency Virus/Acquired Immune
Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) dan Infeksi Menular Seksual (IMS) pada klinik
reproduksi Merauke, Puskesmas, RSUD atau tempat lain yang ditetapkan oleh
Pemerintah.” Ada beberapa hal yang terkait dengan pernyataan ini.
Pertama, kapan seorang
PSK (harus) memeriksakan diri terhadap infeksi HIV? Pertanyaan ini erat
kaitannya dengan pemahaman yang komprehensif terhadap HIV/AIDS. Seseorang
berisiko tinggi tertular dan menularkan HIV melalui hubungan seks di dalam atau
di luar nikah adalah jika ybs. melakukan hubungan seks tanpa kondom dengan
pasangan yang berganti-ganti. Kalau PSK hanya melakukan hubungan seks dengan
laki-laki yang memakai kondom tentu tidak perlu tes HIV atau IMS.
Kedua, dalam kurun waktu satu bulan
seorang PSK yang sudah tertular HIV tentulah sudah menularkannya kepada banyak
laki-laki yang mengencaninya tanpa kondom. Andaikan satu bulan seorang PSK
bekerja 20 hari dan setiap malam melayani 3 (tiga) laki-laki maka ada 60
laki-laki yang berisiko tertular HIV.
Selain
itu pada masa jendela (pada kurun waktu tiga bulan setelah tertular) tes bisa
menghasilkan positif palsu atau negatif palsu. Hal ini bisa terjadi kalau tes
HIV hanya dilakukan dengan rapid test atau ELISA yang tidak dikonfirmasi dengan
tes lain.
Positif palsu menimbulkan dampak buruk
bagi PSK. Mereka dilarang bekerja dan akan mendapat perlakuan yang tidak adil,
stigmatitasi dan diskriminasi. Padahal, bisa jadi mereka tidak tertular.
Bahkan, bisa jadi mereka dikucilkan atau dibuang mucikari.
Sedangkan
negatif palsu menimbulkan bencana bagi pelanggan laki-laki yang tidak mau
memakai kondom karena ada kemungkinan yang terdeteksi negatif palsu justru
sudah tertular HIV. Laki-laki pun enggan memakai kondom karena PSK dinyatakan
HIV-negatif (palsu).
Penekanan terhadap PSK yang terdeteksi
HIV-positif dan mengidap IMS merupakan salah satu bentuk diskriminasi karena
mereka ditulari oleh laki-laki.
Maka,
kalau ada PSK yang terdeteksi HIV-positif atau mengidap IMS atau dua-duanya
sekaligus maka yang perlu diperhatikan adalah laki-laki lokal karena merekalah
pelanggan utama PSK. Ada dua kemungkinan.
Pertama, kemungkinan
laki-laki lokal menularkan HIV dan IMS kepada PSK.
Kedua, ada kemung-kinan PSK baru (tapi
stok lama) yang sudah tertular HIV ketika tiba di Merauke. Kedua ke-mungkinan
ini sama-sama berdampak buruk terhadap kesehatan ma-syarakat lokal, ter-utama
ibu-ibu rumah tangga, yang tertular dari su-aminya dalam ikatan pernikahan yang
sah.
Memakai
kondom untuk melindungi diri merupakan suatu sikap yang bertolak dari pemahaman
yang kom-prehensif terhadap ri-siko tertular HIV. Pema-kaian kondom dipak-sakan
melalui peraturan. Tentu saja akan terjadi pelanggaran karena cara pengawasan
yang tidak mudah.
Dalam
Perda pengawasan dilakukan melalui ‘ …. sekurang-kurangnya 1 (satu) bulan
sekali mengawasi program penggunaan kondom melalui kotak monitor penggunaan
kondom dan pemasaran kondom.” Apakah cara ini efektif? Tentu saja tidak.
Soalnya, bisa saja bungkus kondom berserakan tapi kondomnya tidak dipakai oleh
laki-laki ketika melakukan hubungan seks.
Ada
asumsi (moral) yang salah yaitu anggapan bahwa kondom akan mendorong orang
untuk berzina. Ini ngawur karena pezina enggan memakai kondom karena repot,
tidak nyaman dan tidak nikmat. Maka, upaya untuk memaksa laki-laki memakai
kondom bukanlah pekerjaan yang mudah.
Biar
pun ada ancaman hukuman jika tidak memakai kondom, tapi laki-laki akan mencari
cara untuk menghindar dari peraturan karena berkencan dengan PSK adalah untuk
bersenang-senang. Memakai kondom mengurangi kenikmatan. Maka, mereka pun tidak
memakai kondom agar bisa bersenang-senang. Ini terjadi karena pemahanan
terhadap HIV/AIDS tidak komprehensif sehingga mereka mengababaikan keselamatan.
Selama
ini banyak mitos (anggapan yang salah) tentang kondom yang terlanjur berkembang
di masyarakat yaitu kondom berpori sehingga bisa ditembus HIV.
Celakanya,
media massa pun ikut menyuburkan mitos ini dengan menggiring masyarakat melalui
pernyataan yang dikutip wartawan dari pakar yang membalut lidahnya dengan
norma, moral dan agama. Padahal, HIV/AIDS dan kondom adalah fakta medis artinya
dapat diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran.
Tapi,
karena mitos kondom berpori sudah subur di masyarakat maka semua upaya untuk
memberikan fakta tentang kondom pun buyar.
Kondom
berpori memang ada tapi yang terbuat dari usus binatang. Kondom jenis ini tidak
ada di Indonesia. Harga kondom ini di Amerika Serikat, misalnya, sekitar 3
dolar atau Rp 27.000. Harga ini tentu saja mahal bagi sebagian besar pelanggan
PSK.
Kondom
yang ada di Indonesia adalah kondom yang terbuat dari lateks sehingga tidak
berpori-pori. Pembuktiannya sangat mudah. Kondom ditiup,. Biar kan berapa hari.
Ternyata kondom tidak kempes. Tapi, karena sudah ada mitos kon-dom berpori maka
sa-ngat sulit untuk mem-berikan fakta tentang kondom lateks yang tidak berpori.
Menjadikan
kondom sebagai salah satu alat untuk melindungi ma-syarakat pun lagi-lagi buyar
karena kondom dibenturkan ke norma, moral dan agama dengan mengatakan bahwa
kondom mendorong orang untuk berzina atau melacur.
Ada
anggapan di segelintir orang bahwa kegiatan yang ‘merangkul’ PSK sebagai
kegiatan untuk melindungi mereka. Ini salah karena dalam kaitan penyebaran IMS
dan HIV yang dapat ‘dipegang’ adalah PSK. Sedangkan para ‘hidung belang’ sulit
ditangani.
Apakah
asumsi yang mengatakan kondom mendorong orang untuk berzina atau melacur
terbukti secara empiris? Tentu saja tidak karena para pezina justru enggan
memakai kondom karena mengurangi kenikmatan. Sayang, fakta ini tidak pernah
muncul sehingga tidak ada perimbangan informasi.
Karena
mitos kondom sudah memasyarakat maka orang pun enggan untuk berurusan dengan
kondom. Coba lihat wajah karyawan apotek kalau kita membeli kondom. Mereka
langsung senyum-senyum. Padahal, orang yang membeli kondom tidak otomatis
dipakai untuk berzina atau melacur. Entah apa yang ada di benak mereka.
Akibatnya, banyak orang yang enggan membeli kondom.
Ada
upaya untuk mendekatkan kondom kepada orang-orang yang perilakunya berisiko
tinggi tertular HIV dan IMS dengan memasang mesin kondom (di masyarakat dikenal
sebagai ‘ATM Kondom’). Tapi, lagi-lagi protes atas nama moral dan agama
menentang ‘ATM Kondom’ datang bertubi-tubi.
Memasyarakatkan
kondom bagi orang-orang yang perilakunya berisiko tinggi tertular IMS dan HIV
atau dua-duanya sekaligus merupakan upaya untuk memutus mata rantai penyebaran
IMS dan HIV ke masyarakat. Laki-laki pelanggan PSK, yang dalam kehidupan
sehari-hari bisa sebagai suami, pacar, PIL (pria idaman lain), remaja atau duda
bisa menjadi mata rantai penyebaran HIV.
Kalau
‘hidung belang’ enggan memakai kondom ketika kencan dengan PSK dianjurkan agar
memakai kondom jika melakukan hubungan seks dengan istri, pacar atau WIL
(wanita idaman lain). Ini untuk memutus mata rantai penyebaran IMS dan HIV. *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.