Tanggapan
terhadap artikel Fajar Hidayanto, dosen tetap FIAI UII Yogyakarta: “Perda Syari’ah
untuk Penanggulangan HIV/AIDS” (http://journal.uii.ac.id/index.php/JHI/article/viewFile/248/243)
Oleh: Syaiful W. Harahap
[Pemerhati
HIV/AIDS melalui LSM (media watch)
“InfoKespro” Jakarta]
Ketika
negara-negara lain banting tulang menanggulangi HIV/AIDS di awal-awal epidemi
pada awal tahun 1980-an Indonesia justru ‘bersilat lidah’ dengan membusungkan
dada mengatakan bahwa HIV/AIDS tidak akan masuk ke Indonesia karena
masyarakatnya berbudaya, religius dan ber-Pancasila. Begitu pula ketika dalam
pidato pembukaan Kongres Internasional AIDS Asia Pasifik VI, Dr Peter
Piot, waktu itu Direktur Eksekutif UNAIDS, secara khusus menyoroti
peningkatan epidemi HIV di kalangan IDU di Indonesia (Syaiful W. Harahap,
Harian “SUARA PEMBARUAN”, 6 Oktober
2001) Tapi, tetap saja tidak ada reaksi. Ibarat ‘anjing menggonggong kafilah
berlalu’.
Tapi,
apa yang terjadi satu dekade kemudian? Indonesia merupakan salah satu dari tiga
negara di Asia yang pertambahan kasus HIV/AIDS-nya paling tinggi setelah India
dan Cina. Kalau saja Indonesia mau belajar dari sejarah tentulah epidemi
HIV/AIDS di Indonesia bisa ditanggulangi. Soalnya, Thailand pun ketika
diingatkan oleh ahli-ahli epidemiologi Barat tentang epidemi HIV/AIDS di negeri
itu awal tahun 1990-an penguasa di Neger Gajah Putih itu juga menamping. Mereka
mengatakan masyarakatnya berbudaya dan bergama. Apa yang terjadi satu dekade
kemudian? Kasus HIV/AIDS di sana mendekati angka satu juta. Devisa yang
diperoleh neger itu dari sektor pariwisata yang menjadi andalahnya hanya cukup
untuk dua pertiga untuk dana penanggungalan HIV/AIDS.
Belakangan
pakar-pakar epidemiologi di negeri itu putar otak. Mereka menjalankan
serangkaian program yang komprehensif untuk menanggulangi HIV/AIDS. Salah satu
program yang dikabarkan bisa menekan insiden kasus infeksi HIV baru di kalangan
dewasa adalah ‘pemakaian kondom 100 persen’.
Celakanya,
Indonesia yang sudah berada pada posisi ‘bak kebakaran jenggot’ meniru program
‘pemakaian kondom 100 persen’ secara telanjang. Hasilnya? Penolakan
besar-besaran. Mengapa hal itu terjadi?
Ternyata
‘pemakaian kondom 100 persen’ yang dijalankan Thailand merupakan ekor dari
serangkaian program yang komprehensif. Maka, Indonesia pun mengekor ke ekor program.
Program
penanggulangan dimulai dari pendidikan masyarakat tentang HIV/AIDS secara
akurat melalui media massa secara intens. Sebaliknya di Indonesia
penyebarluasan materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang HIV/AIDS
justru dibalut dengan noram, moral, dan agama sehingga yang muncul hanya mitos
(anggapan yang salah).
Materi
KIE AIDS di Indonesia hanya menonjolkan ‘aurat’ (baca: zina). Akibatnya, muncul
kesan yang kuat di Indonesia bahwa penularan HIV melalui hubungan seks karena
zina yaitu hubungan seks dilakukan di luar nikah, seperti melacur, seks
pranikah, jajan, selingkuh, dan homoseksual.
Sebagai
fakta medis HIV dalam jumlah yang dapat ditularkan terdapat dalam: (a) cairan
darah (laki-laki dan perempuan), (b) air mani (laki-laki, dalam sperma tidak
ada HIV), (c) cairan vagian (perempuan), (d) air susu ibu/ASI (perempuan).
Penularan
HIV melalui darah (bisa) terjadi jika darah yang mengandung HIV masuk ke dalam
tubuh melalui transfusi darah, jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur,
jarum tattoo, dan cangkok organ tubuh.
Penularan
HIV melalui air mani dan cairan vagina (bsia) terjadi kalau air mani dan cairan
vagina masuk ke dalam tubuh ketika melakukan hubungan seks di dalam atua di
luar nikah jika tidak memakai kondom.
Penularan
HIV melalui ASI (bisa) terjadi kalau ASI yang mengandung HIV masuk ke tubuh
melalui proses menyusui.
***
Dalam
tulisannya Fajar Hidyanto menyebutkan “Selain itu hubungan gelap berganti-ganti
pasangan tanpa menggunakan kondom juga terus menjadi faktor penyebab/epidemi
ini
bertambah.”
Ini tidak akurat karena penularan HIV melalui hubungan seks terjadi karena kondisi
hubungan seks (salah satu atau kedua-duanya HIV-positif dan laki-laki tidak
memakai kondom) bukan karena sifat hubungan seks (di luar nikah, zina, jajan,
dll.).
Pernyataan
“hubungan gelap berganti-ganti pasangan tanpa menggunakan kondom” sebagai penyebab
epidemi HIV tidak akurat karena hal ini dikenal sebagai perilaku berisiko
tinggi tertular HIV. Biar pun hubungan seks gelap, zina, melacur, jajan,
selingkuh, homoseksual kalau kedua-duanya HIV-negatif maka tidak ada risiko
penularan HIV.
Di
bagian lain Fajar Hidayanto menyebut “ …. namun kampanye “kondomisasi” itu
sendiri akan memperburuk keadaan, karena justru mendorong langgengnya penyebab
utama AIDS, yaitu kebebasan seksual”. Ini juga tidak akurat.
Pertama, tidak ada
kampanye kondomisasi. Yang dilakukan pemerintah dan berbagai kalangan adalah
sosialisasi kondom sebagai alat untuk mencegah penularan HIV melalui hubungan
seks pada perilaku berisiko yaitu (1) hubungan seks di dalam atau di luar nikah
dengan pasangan yang berganti-ganti, dan (2) hubungan seks di dalam atau di
luar nikah dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan.
Kedua, tidak ada kaitan langsung
antara penyebab utama AIDS dengan kebebasan seksual. Penularan HIV melalui
hubungan seks (bisa) terjadi di dalam atau di luar nikah kalau salah satu atau
kedua-duanya HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kalu
melakukan hubungan seks.
Ada
pula pernyataan “Tampaknya ada anggapan di sebagian kalangan, bahwa AIDS hanya
masalah kalangan kedokteran. Padahal Keppres No.36 Tahun 1996, tentang Komisi
Penanggulangan AIDS, menetapkan bahwa masalah penanggulangan AIDS sebenarnya
bukan hanya tugas dunia kedokteran, ….”. HIV/AIDS adalah masalah kedokteran
(fakta medis) karena HIV/AIDS dapat diuji secara medis di laboratorium kedokteran
sehingga cara-cara penularan dan pencegahan dikenal di dunia medis.
Ada
pernyataan ” …. persoalan penanganan AIDS inipun menjadi bertambah rumit ketika
berhadapan dengan budaya masyarakat.” Ini terjadi karena penanggulangan
HIV/AIDS dari aspek medis dibenturkan dengan norma, moral, dan agama. Kalau
saja masing-masing berjalan pada relnya dengan tujuan yang sama yaitu
menyadarkan masyarakat untuk menghindari perilaku berisiko tinggi tertular HIV
maka tidak akan ‘bertambah rumit’.
Ada
pula kesan yang ngawur di Indonesia yaitu (a)
seolah-olah hanya masyarakat Indonesia yang berbudaya (Timur) dan beragama, (b)
hanya Islam yang melarang zina. Semua negara atau bangsa di muka bumi ini
mempunyai kebudayaan dan agama. Perilaku sebagian orang di Eropa Barat dan AS
bukan budaya tapi merupakan perilaku individu. Namun, di Indonesia ada
anggapan perilaku orang per orang di Barat yang mereka simak dari film dan
televisi dikategorikan sebagai budaya Barat.
Kita
sering berkoar-koar sebagai bangsa yang suka saling membantu (baca: gotong
royong). Sampai ada presiden yang menamakan kabinetnya sebagai kabinet gotong
royong. Tapi, mengapa sepak bola yang dilakukan secara gotong royong tidak bisa
menembus dunia? Sedangkan di Barat yang kita sebut sebagai masyarakat
individualis ternyata jawara di bidang olah raya gotong royong.
Ada
lagi pernyataan “Di Irian Jaya misalnya, sejak tahun 1990 mempunyai kebiasaan
free sex sebagai bagian ritual keagamaan. Dan perilaku seksnya cenderung
violent.” Istilah free sex tidak dikenal dalam kosa kata bahasa Inggris
sehingga penyebutan ini merupakan ungkapan normatif dari aspek moral yang
menggambarkan perilaku, tapi perlu diingat itu perilaku orang per orang bukan
budaya suatu bangsa atau negara. Di beberapa daerah di Indonesia sejak zaman
dahulu sampai sekarang dikenal ‘kumpul kebo’ yaitu hidup sebagai suami-istri di
luar nikah.
Keberhasilan
Thailand menurunkan insiden penularan HIV baru di kalangan dewasa melalui
‘program kondom 100 persen’ pun menjadi ‘kiblat’ penanggulangan epidemi
HIV/AIDS Indonesia. Padahal, perlu diingat itu hanya ekor dari serangkaian
program yang komprehensif.
‘Pengekoran’
pun diwujudkan melalui peraturan daerah (Perda) penanggulangan dan pencegahan
HIV/AIDS. Sampai Agustus 2009 sudah 30 daerah mulai dari provinsi, kota sempai
kabupaten di Nusantara yang menelurkan Perda. Dimulai di Kab. Nabire, Tanah
Papua, yang menelurkan Perda No. 18 Tahun 2003.
Apakan
perda-perda AIDS itu bisa menanggulangi epidemi HIV?
Tentu
saja tidak. Mengapa?
Pertama, di Indonesia
tidak ada lokalisasi pelacuran dan rumah bordir yang bisa menjadi sasaran
‘program kondom 100 persen’. Soalnya, pemantauan dilakukan terhadap pekerja
seks. Jika ada yang terdeteksi mengidap infeksi menular seksual/IMS, seperti
sifilis, GO, klamidia, hepatitis B, dll. Maka itu menunjukkan ada PSK yang
melakuka hubungan seks dengan laki-laki yang tidak mekakai kondom. Maka,
program itu pun mustahil dijalankan di Indonesia.
Kedua, penolakan besar-besaran
terhadap kondom. Banyak kalangan yang mengait-ngaitkan kondom dengan zina.
Padahal, para pezina atau ‘lelaki hidung belang’ justru enggan memakai kondom.
Penolakan
ini terjadi karena pemahaman masyarakat terhadap cara-cara penularan dan
pencegahan HIV yang tidak akurat karena selama ini informasinya dibalut dengan
norma, moral, dan agama. Ini terjadi karena sosialiasi kondom dilakukan ketika
masyarakat belum memahami HIV/AIDS sebagai fakta medis.
***
Di
bagian lain disebutkan “Bahwa Peraturan Daerah (Perda) bernuasa syariah
bukanlah sebuah pembelengguan bagi masyarakat. Justru kehadirannya untuk
memberikan koridor secara moral bagi masyarakat dalam melakukan aktivitasnya
yang sarat dengan berbagai godaan dunia.” Ini lagi-lagi mengaitkan
HIV/AIDS sebagai fakta medis dengan norma, moral, dan agama. Padahal, tidak ada
kaitan langsung antara penularan HIV melalui hubungan seks dengan norma, moral,
dan agama.
Di
negara-negara yang menjadikan kitab suci sebagai UUD pun tetap saja ada kasus
HIV/AIDS. Di Arab Saudi, misalnya, yang menjadi Alquran sebagai UUD sudah
dilaporkan lebih dari 10.000 kasus HIV/AIDS. Begitu juga di negara-negara yang
menerapkan agama secara ketat tetap saja terdeteksi kasus HIV/AIDS.
Disebukan
pula ”Daerah yang sudah memiliki perda HIV/AIDS adalah provinsi Jawa Timur,
Kabupaten Jayapura, DKI Jakarta, Banten, NTT dan Kaliamntan Barat sedang dalam
proses.” Ini tidak akurat karena tulisan Fajar
Hidayanto dirilis tahun 2006. Sampai akhir 2006 daerah-daerah
yang sudah menelurkan Perda AIDS adalah: provinsi (Jawa Timur, Bali dan
Riau), kabupaten (Nabire, Merauke, Jayapura, Puncak Jaya, Manokwari, Teluk
Bintuni, dan Serdang Bedagai), dan kota (Sorong, dan Jayapura). Perda AIDS NTT
disahkan tahun 2007, Perda AIDS DKI Jakarta disahkan tahun 2008. Sedangkan
Banten sampai Agustus 2009 belum memiliki Perda AIDS. Kalimantan Barat disahkan
Februari 2009.
Sampai
Agustus 2009 sudah 30 daerah mulai dari tingkat provinsi, kabupaten sampai kota
yang menelurkan Perda AIDS. Apakah perda-perda itu (bisa) bekerja menanggulangi
penyebaran HIV?
Tentu
saja tidak. Mengapa? Karena perda-perda itu mengedepankan norma, moral, dan
agama sebagai cara pencegahan HIV. Perda AIDS Prov. Riau, misalnya, menyebutkan
bahwa pencegahan HIV dapat dilakukan dengan ’meningkatkan iman dan taqwa’.
Pertama, apa alat yang
bisa mengukur iman dan taqwa?
Kedua, siapa yang berhak mengukur iman
dan taqwa?
Ketiga, bagaimana iman
dan taqwa bisa mencegah penularan HIV?
Keempat, bagaimana
ukuran iman dan taqwa yang bisa mencegah penularan HIV?
onsekuensi
dari perda itu adalah orang-orang yang tertular HIV berarti tidak beriman dan
tidak bertaqwa. Ini mendorong masyarakat untuk melakukan stigmatisasi
(pemberian cap buruk) dan diskriminasi (membeda-bedakan perlakuan) terhadap
Odha (Orang dengan HIV/AIDS).
Hal
yang sama terjadi pada semua perda. Tidak ada satu pasal pun yang bisa membuka
mata penduduk untuk menghindari perilaku-perlaku yang berisiko tinggi tetular
HIV.
Karena
perda-perda AIDS di Indonesia mengekor ke Thailand terkait dengan ’program
pemakaian kondom 100 persen’ maka dalam perda-perda itu pun ada pasal
penggunaan kondom. Tapi, ada yang luput dari perhatian. Program itu bisa
berjalan di Thailand karena ada lokalisasi pelacuran dan rumah bordir sehingga
bisa dipantau. Sedangkan di Indonesia ada gerakan penutupan lokalisasi dan
pebuatan perda anti pelacuran dan anti maksiat sehingga tidak memungkinkan ada
lokalisasi pelacuran dan rumah bordir. Maka, pasal yang mengatur ’penggunaan
kondom 100 persen’ dalam perda itu pun ’bak menggantang asap’. Pekerjaan yang
sia-sia.
Di
bagian sikap agama (Islam) terhadap HIV/AIDS juga tidak jujur karena hanya
HIV/AIDS yang dikaitkan dengan zina. Soalnya, penularan virus hepatitis B pun
persis sama dengan penularan HIV. Maka, kalau jujur orang-orang yang terdeteksi
mengidap hepatitis B pun dipandang dari agama Islam juga harus melakukan hal
yang sama dengan Odha.
Ada
lagi pernyataan ”Dan manakala ajal telah tiba bagi penderita AIDS yang beragama
Islam hendaklah tetap dalam keimanannya, …. ” Mengapa hal ini hanya untuk
penderita AIDS?
”Virus
ganas ini tidak hanya menyerang pendosa, orang baik-baik pun di lalapnya.” Ini
juga pernyataan dalalm tulisan Fajar
Hidayanto. Ini bukan bahasa medis terkait HIV tapi bahasa moral
yang bermuatan mitos. Sebagai virus HIV tidak (pernah) menyerang. Virus yang
tergolong retrovirus (bisa menggandakan diri dalam sel-sel darah putih manusia)
ini menular melalui cara-cara yang sangat spesifik tanpa terkait secara
langsung dengan jenis kelamin, umur, suku, bangsa, ras, dan agama.
Masalah
besar dalam epidemi HIV adalah justru lebih dari 90 persen penularan terjadi
tanpa disadari. Ini menunjukkan lebih dari 90 persen orang-orang yang sudah
tertular HIV tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena tidak ada tanda,
gejala, atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisiknya sebelum masa AIDS (secara
statistik antara 5-15 tahun setelah tertular HIV).
Untuk
itu jika ada upaya penanggulangan HIV/AIDS melalui perda atau undang-undang
maka pasal yang harus ada adalah: (1) Setiap laki-laki wajib memakai kondom
jika melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan perempuan atau
laki-laki yang berganti-ganti; (2) Setiap laki-laki wajib memakai kondom jika
melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan perempuan atau
laki-laki yang sering berganti-ganti pasangan; (3) Setiap perempuan wajib
memaksa pasangannya memakai kondom ketika melakukan hubungan seks di dalam atau
di luar nikah dengan laki-laki yang berganti-ganti atau dengan seorang
laki-laki yang sering melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah
dengan perempuan yang berganti-ganti.
Selanjutnya
ada pula pasal yang menyebutkan: (1) Setiap laki-laki yang tidak memakai kondom
ketika melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan perempuan
atau laki-laki yang berganti-ganti wajib menjalani tes HIV; (2) Setiap
laki-laki yang tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan seks di dalam
atau di luar nikah dengan perempuan atau laki-laki yang sering berganti-ganti
pasangan wajib menjalani tes HIV; (3) Setiap perempuan yang melakukan hubungan
seks di dalam atau di luar nikah dengan laki-laki yang berganti-ganti yang
tidak memakai kondom wajib menjalani tes HIV, (4) Setiap perempuan yang
melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan laki-laki atau
dengan seorang laki-laki yang sering melakukan hubungan seks di dalam atau di
luar nikah tanpa kondom wajib menjalani tes HIV.
Hanya
dengan materi HIV/AIDS yang akurat yang dapat membuka mata hati masyarakat
memahami cara-cara penularan dan pencegahan HIV yang realistis. Informasi yang
akurat membantu masyarakat melindungi dirinya agat tidak tertular atau menular
HIV kepada orang lain. ***
Jakarta, 26 Agustus 2009
Catatan: pernah dimuat di https://aidsmediawatch.wordpress.com/2010/02/10/tanggapan-terhadap-tulisan-fajar-hidayanto-%E2%80%9Cperda-syari%E2%80%99ah-untuk-penanggulan-hivaids%E2%80%9D/
Jakarta, 26 Agustus 2009
Catatan: pernah dimuat di https://aidsmediawatch.wordpress.com/2010/02/10/tanggapan-terhadap-tulisan-fajar-hidayanto-%E2%80%9Cperda-syari%E2%80%99ah-untuk-penanggulan-hivaids%E2%80%9D/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.