Tanggapan
terhadap berita HIV/AIDS di Harian “Suara
Merdeka” Semarang
Oleh: Syaiful W. Harahap
[Sumber: Newsletter ”InfoAIDS” edisi No. 7/Mei 2009]
Berita
“Calon Pengantin Perlu Tes Uji HIV/AIDS”
di Harian “Suara Merdeka” (16/4-2009)
menunjukkan pemahaman yang tidak akurat terhadap HIV/AIDS sebagai fakta medis.
Dengan pengesahan Perda AIDS Jateng ini maka sampai saat ini sudah ada 22 Perda
Penanggulangan AIDS di tingkat kabupaten, kota, dan provinsi di seluruh
Indonesia. Tapi, semua perda itu hanya mengedepankan moral sebagai cara
menanggulangi epidemi HIV sehingga tidak menawarkan upaya penanggulangan yang
realistis.
Walaupun
HIV/AIDS sudah dikenal sejak 28 tahun yang lalu, tapi pemahaman terhadap
HIV/AIDS tetap saja tidak akurat. Ini tampak jelas dalam perda-perda
penanggulangan AIDS yang tidak menyentuh akar persoalan pandemi HIV. Pembuatan
perda AIDS di Indonesia ’diilhami’ oleh keberhasilan Thailand dalam menurunkan
insiden infeksi HIV baru di kalangan dewasa melalui program ’wajib kondom 100
persen’.
Namun,
perda hanya mengekor karena program ’wajib kondom 100 persen’ di Thailand
merupakan urutan terakhir dari serangkaian program terpadu yang
berkeseinambungan. Dimulai dari pendidikan masyarakat tentang cara-cara
pencegahan HIV melalui media massa, pendidikan sebaya, sampai ke program tadi.
Tapi, penanggulangan yang diterapkan di Indonesia hanya ekor dari program
terpadu di Thailand.
Perilaku Berisiko
Maka,
tidak mengherankan kalau kemudian perda-perda AIDS yang ada di negeri ini pun
tidak jalan. Lihat saja Perda AIDS Prov. Riau yang menyebutkan HIV dapat
dicegah melalui peningkatan ’iman dan taqwa’. Siapa dan bagaimana mengukur iman
dan taqwa yang bisa mencegah penularan HIV? Lagi pula tidak ada kaitan langsung
antara iman dan taqwa dengan penularan HIV. Selain itu hal ini pun akan
menyuburkan stigma (cap buruk) dan diksriminasi (perlakukan berbeda) terhadap
orang-orang yang tertular HIV karena menggiring pendapat bawah mereka tertular
HIV karena tidak beriman dan tidak bertaqwa.
Pada
Perda Penanggulangan HIV/AIDS Jateng, misalnya, pasal 10 ayat 6 menyebutkan tes
HIV bagi calon pengantin atau pasangan yang berisiko tinggi yang akanmenikah.
Cara ini dikatakan sebagai langkah pencegahan HIV/AIDS di Jateng.
Siapa,
sih, yang disebut berisiko tinggi? Selama ini ada salah kaprah karena yang
dikategorikan sebagai orang yang berisiko tinggi tertular HIV adalah kalangan
atau kelompok yaitu pekerja seks komersial (PSK) dan pelanggannya, waria dan
homoseksual serta orang-orang yang melakukan zina atau melacur. Risiko tertular
atau menularkan HIV bukan pada kalangan atau kelompok tapi terletak pada
perilaku seks orang per orang.
Mereka
yang berisiko tinggi tertular HIV adalah laki-laki atau perempuan yang pernah
atau sering: (a) melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar
nikah dengan pasangan yang berganti-ganti di wilayah Jateng, di luar Jateng
atau di luar negeri, (b) melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di
luar nikah dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan di wilayah
Jateng, di luar Jateng atau di luar negeri, (c) memakai jarum suntik secara
bergantian, (d) menerima transfusi darah yang tidak diskrining HIV, dan (e)
menerima transplantasi organ tubuh yang tidak diskrining HIV.
Dalam
berita disebutkan pula bahwa anggota Pansus Raperda HIV/AIDS, Tontowi Jauhari,
untuk mendorong masyarakat bersedia melakukan VCT, politikus PAN itu
menyarankan gubernur memberi contoh dengan bersedia melakukan tes HIV. “Saya
yakin hasilnya akan negative.” Ini menyesatkan karena tes HIV bisa menghasilkan
positif palsu (darah tidak mengandung HIV tapi terdeteksi positif) atau negatif
palsu (darah mengandung HIV tapi tidak terdeteksi). Apa yang akan terjadi jika
tes HIV terhadap gubernur hasilnya positif (palsu)?
Masa Jendela
Dengan
menyebutkan ’mendorong masyarakat untuk melakukan VCT’ mengesankan bahwa HIV
menyebar di masyarakat. Ini menyesatkan karena HIV tidak menular melalui
kegiatan sosial atau pergaulan sehari-hari. Lagi-lagi ini menunjukkan pemahaman
yang tidak akurat. Yang harus menjalani tes HIV adalah orang-orang yang
perilakunya berisiko tertular HIV.
Maka,
yang didorong melakukan tes HIV bukan masyarakat, kalangan atau kelompok
tertentu tapi hanya orang-orang yang pernah melakukan perilaku berisiko
tertular HIV.
Terkait
dengan tes HIV perlu diperhatikan masa jendela yaitu rentang waktu antara
tertular HIV dengan pembentukan antibodi HIV (lihat gambar). Tes HIV bukan
mencari virus (HIV) dalam darah tapi antibbodi HIV. Maka, jika tes HIV
dilakukan pada rentang waktu ini maka tes belum bisa mendeteksi antibodi.
Hasilnya pun HIV negatif, tapi negatif palsu karena virus (HIV) sudah ada dalam
darah tapi tidak terdeteksi.
Skirining
HIV di PMI pun tidak akurat karena kalau ada donor yang menyumbangkan darahnya
pada masa jendela maka skrining terhadap darah donor bisa menghasilkan negatif
palsu. Salah satu langkah untuk mencegah donor menyumbangkan darah pada masa
jendela adalah dengan pertanyaan: “Kapan Anda terakhir melakukan hubungan seks
tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti
atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan?” Kalau jawabannya di
bawah tiga bulan maka donor ini ditolak.
Celakanya,
pertanyaan di PMI ketika hendak mendonorkan darah justru menyuburkan mitos
yaitu “Kapan Anda terakhir ke luar negeri?” Tidak ada kaitan langsung antara ke
luar negeri dengan penularan HIV karena orang-orang yang tertular HIV tidak
hanya terjadi di luar negeri tapi juga banyak yang terjadi di dalam negeri.
Selain itu kegiatan keagamaan ke luar negeri pun di PMI tidak diketegorikan
sebagai ke luar negeri.
Karena
HIV/AIDS sudah ada di masyarakat maka salah satu langkah konkret yang dapat
dilakukan untuk menanggulangi epidemi HIV di Jateng khususnya dan di Indonesia
dan dunia umumnya, termasuk dalam perda, adalah dengan mewajibkan setiap orang
untuk memakai kondom pada hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, yang
berisiko tertular HIV di Jateng, luar Jateng atau luar negeri. Selanjutnya
diwajibkan pula kepada orang-orang yang sudah pernah atau sering melakukan
hubungan seks berisiko untuk menjalani tes HIV secara sukarela.
Kian
banyak kasus HIV yang terdeteksi maka semakin banyak pula mata rantai
penyebaran HIV yang diputuskan. *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.