Tanggapan
terhadap berita HIV/AIDS di di “Pikiran Rakyat” Bandung
Oleh: Syaiful
W. Harahap
[Pemerhati masalah HIV/AIDS di media
massa melalui LSM (media watch) “InfoKespro” Jakarta]
Berita “Penyebaran HIV Kian
Mencemaskan, Setiap Enam Hari Muncul Satu Kasus” di “Pikiran Rakyat”
Bandung edisi 23 September 2007 sangat sensasional tapi tidak menggambarkan
realitas sosial. Inilah salah satu kelemahan informasi terkait HIV/AIDS di
negeri ini. Narasumber tidak bisa memberikan fakta empiris dan wartawan pun
sering terjebak hanya menyuarakan statement pejabat atau pakar yang dalam
jurnalistik hanya sebagai fakta opini.
Lead berita
dengan kesimpulan “Laju penularan serangan penyakit HIV-AIDS di Kota
Tasikmalaya semakin mencemaskan. Hasil penilitian yang dilakukan Dinas
Kesehatan Kota Tasikmalaya, setiap enam hari muncul satu kasus yang terinfeksi
HIV-AIDS” menunjukkan pemahaman yang tidak komprehensif terhadap HIV/AIDS.
Pertama, HIV tidak
menyerang karena penularannya hanya melalui cara-cara yang sangat khas, antara
lain melalui hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan orang yang
HIV-positif. HIV tidak menular melalui udara, air, dan pergaulan sehari-hari.
Bandingkan dengan flu atau TBC yang bisa menular melalui udara, atau diare yang
menular melalui air.
Kedua, penggunaan
kata mencemaskan hanya sebatas sensasi karena tidak digambarkan realitasnya
(kenyataannya). Misalnya, bagaimana kasus HIV/AIDS menjadi persoalan kesehatan
masyarakat di Tasikmalaya, ketidakmampuan Odha (Orang dengan HIV/AIDS) untuk
berobat, dampak AIDS terhadap perekonomian, dll. Kalau saja digambarkan
realitas sosial terkait HIV/AIDS maka tidak perlu memakai kata mencemaskan.
Dengan pemaparan epidemi HIV/AIDS dalam konteks realitas sosial akan tergambar
kecemasan.
Ketiga, dari aspek
epidemiologi kegiatan terkait penyakit menular, seperti HIV, yang dilakukan
adalah survailans bukan penelitian. Survailans adalah kegiatan tes HIV terhadap
kalangan tertentu dan pada kurun waktu yang tertentu pula untuk mendapatkan
angka prevalensi (perbandingan antara yang HIV-positif dan HIV-negatif). Asas
survailans adalah anonimitas, kerahasiaan, dan kerelaan.
Keempat, kasus-kasus
yang terdeteksi adalah kasus yang sudah lama. Kalau seseorang terdeteksi
sebagai HIV-positif maka minimal dia sudah tertular HIV tiga bulan sebelumnya.
Jika seseorang terdeteks HIV-positif sudah pada masa AIDS maka minimal dia
sudah tertular antara 5 atau 10 tahun sebelumnya. Orang-orang ini menjadi mata
rantai penyebaran HIV tanpa mereka sadari. Bagi yang sudah terdeteksi
HIV-positif akan memutus mata rantai penyebaran HIV mulai dari dirinya.
Sebaliknya, orang-orang yang belum terdeteksi akan terus menjadi mata rantai
penyebaran HIV.
Disebutkan
“ …. jumlah kasus HIV/AIDS yang mencapai 141 didasarkan pada hasil penilitian
yang dilakukan P2PL terhadap kelompok berisiko dengan cara mengambil sampel
darahnya. Kegiatan itu dilakukan sejak tahun 2003 hingga September 2007.” Fakta
ini membuktikan yang dilakukan adalah survailans sehingga sifatnya anonimitas.
Maka, hasil survailans tidak otomatis sebagai kasus HIV/AIDS karena untuk
memastikan HIV-positif setiap tes harus dikonfirmasi dengan tes lain. Pada
survailans tes dilakukan dengan memaki rapid test atau ELISA. Hasil tes ini
tidak valid karena standar prosedur tes HIV yang baku mengharuskan ada tes
konfirmasi.
Salah
satu faktor yang mendorong penyebaran HIV adalah banyak orang yang tidak
menyadari dirinya sudah tertular HIV karena tidak ada tanda, gejala, atau
ciri-ciri yang khas AIDS pada fisiknya sebelum mencapai masa AIDS (antara 5 –
10 tahun setelah tertular HIV). Tapi, pada kurun waktu itu penularan bisa
terjadi tanpa disadari melalui: (a) hubungan seks di dalam atau di luar nikah,
(b) transfusi darah, (c) jarum suntik, jarum akupunktur, jarum tindik, jarum
tattoo, dan alat-alat kesehatan, (d) cangkok organ tubuh, dan (e) air susu
ibu/ASI melalui proses menyusui. Begitu pula dengan orang yang baru tertular
tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena tidak ada tanda, gejala, atau
ciri-ciri yang khas AIDS.
Ada
fakta yang luput dari perhatian yaitu “ …18 di antaranya meninggal dunia”.
Sebelum mereka meninggal dunia ada kemungkinan sudah terjadi penularan kepada
orang lain. Bagi yang beristri akan menularkan HIV kepada istrinya atau
perempuan lain. Yang tidak beristri akan menularkan HIV kepada pacarnya atau
pekerja seks. Orang-orang yang tertular itulah kemudian yang menjadi mata
rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk.
Dalam
berita disebutkan “Sebagian besar,yang terkena atau tertular HIV-AIDS di Kota
Tasikmalaya ini adalah pengguna narkoba yang menggunakan jarum suntik,
jumlahnya 103 orang. Empat orang berasal dari kelompok pekerja seks.” Informasi
ini tidak akurat karena risiko penularan HIV melalui penyalahgunaan narkoba
dengan jarum suntik bisa terjadi kalau mereka memakai narkoba beramai-ramai
dengan jarum suntik yang sama dipakai bergiliran dan bergantian. Risiko muncul
karena ada kemungkinan salah satu dari mereka HIV-positif sehingga yang memakai
jarum bersama-sama berisiko tertular HIV.
Jumlah
kasus yang mencapai 103 pada pengguna narkoba suntik tidak bisa dianggap remeh
karena biasanya satu pengguna narkoba suntik akan bergantian dengan tiga sampai
lima temannya. Andaikan satu kelompok terdiri atas lima pengguna maka minimal
sudah ada 515 pengguna narkoba yang berisiko tertular HIV di Tasikmalaya. Nah,
kalau yang 515 ini menyuntuk pula dengan temannya yang lain dari kelompok
semula maka angkanya akan terus bertambah seperti deret ukur. Inilah yang
sering tidak kita sadari sehingga sering muncul nada sinis terhadap upaya
penanggulangan HIV di kalangan pengguna narkoba. “Ya, biarkan saja lama-lama
juga mati.” Ini sering muncul di masyarakat. Tapi, banyak yang tidak menyadari
sebelum mereka mati mereka sudah menularkan HIV kepada orang lain tanpa mereka
sadari melalui hubungan seks, transfusi darah, dll.
Kepala
Bidang Penanggulangan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL), Dinas
Kesehatan Kota Tasikmalaya, dr. H. Hasni Mukti, mengatakan masalah penyebaran
HIV-AIDS di Kota Tasikmalaya memang sangat mengkhawatirkan. Celakanya, tidak
disebutkan seperti apa kekhawatiran itu. Mengapa mengkhawatirkan? Bagaimana
kekhawatiran terjadi?
Lagi-lagi
inilah informasi yang tidak komprehensif karena pembaca (masyarakat) tidak bisa
menangkap fakta tentang penyebaran HIV/AIDS di Tasikmalaya. Soalnya, HIV/AIDS
tidak kasat mata seperti diare, TBC, demam berdarah yang ciri-cirinya dapat
diketahui dengan mata telanjang. Kalau saja digambarkan mata rantai penyebaran
HIV tentu saja masyarakat akan memahaminya dengan baik sehingga mereka
menyadari risiko tertular. Pada gilirannya masyarakat akan melindungi dirinya
sendiri agar tidak tertular HIV.
Selama
informasi tentang HIV/AIDS tidak akurat maka selama itu pulalah penyebaran HIV
akan terus berlangsung danpat disadari oleh banyak orang. Pada gilirannya
epidemi HIV akan menjadi ‘bom waktu’ ledakan kasus AIDS. ***
Catatan:
pernah dimuat di https://aidsmediawatch.wordpress.com/2009/07/16/sensasi-mengaburkan-fakta-medis-hivaids/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.