Tanggapan
terhadap Dana Kematian Pemkot Depok yang diskriminatif
Oleh: Syaiful
W. Harahap
[Sumber:
Harian “Monitor Depok”, 17 September 2007]
Berita “Sosialisasi
Dana Kematian Rp 2 juta, Mati kena AIDS tak disantuni” di
Harian “Monitor Depok” edisi 13 September 2007 merupakan gambaran
nyata tentang pemahaman terhadap HIV/AIDS yang tidak akurat di banyak kalangan.
Berita itu pun menyuburkan stigma (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan yang
tidak adil) terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS). Selain itu pernyataan
terkait HIV/AIDS dalam berita itu pun tidak akurat yang justru menimbulkan
mitos (anggapan yang salah) terhadap HIV/AIDS.
Dalam
berita disebutkan “Warga Depok yang meninggal akibat AIDS/HIV”. Ini tidak
akurat karena HIV/AIDS bukan penyebab kematian. Seseorang yang tertular HIV
akan sampai kepada masa AIDS (antara 5 – 10 tahun kemudian). Pada masa AIDS ini
sistem kekebalan tubuh sudah rapuh sehingga mudah tertular penyakit yang
disebut sebagai infeksi oportunistik. Penyakit-penyakit inilah, seperti diare,
TBC, dll. yang menyebabkan kematian seorang Odha.
HIV
adalah virus yang tergolong sebagai retrovirus yaitu virus yang bisa
menggandakan diri di dalam sel-sel darah putih manusia. Dalam jumlah yang dapat
ditularkan HIV terdapat dalam cairan darah (laki-laki dan perempuan), air mani
(laki-laki, di dalam sperma tidak ada HIV), cairan vagina (perempuan), dan air
susu ibu/ASI (perempuan). Penularan HIV melalui darah bisa terjadi kalau darah
yang mengandung HIV masuk ke dalam tubuh melalui transfusi darah, jarum suntik,
jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo, dan cangkok organ tubuh.
Penularan HIV melalui air mani dan cairan vagina bisa terjadi kalau air mani
dan cairan vagina yang mengandung HIV masuk ke dalam tubuh melalui hubungan
seks, di dalam atau di luar nikah. Penularan HIV melalui ASI bisa terjadi pada
proses menyusui dengan seorang perempuan yang HIV-positif.
Penularan
HIV terjadi tanpa disadari karena tidak ada tanda, gejala, atau ciri-ciri yang
khas AIDS pada diri orang-orang yang sudah tertular HIV sebelum masa AIDS. Yang
tertular pun tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena juga tidak ada
tanda, gejala, atau ciri-ciri yang khas AIDS pada diri seseorang ketika dia
tertular HIV.
Selama
ini materi KIE (komunikasi, informasi, dan edukasi) tentang HIV/AIDS dibalut
dan dibumbui dengan norma, moral, dan agama sehingga yang muncul hanya mitos.
Misalnya, mengaitkan penularan HIV dengan zina, pelacuran, selingkuh, jajan,
‘seks bebas’, waria, dan homoseksual. Ini mitos karena penularan HIV melalui
hubungan seks di dalam nikah atau di luar nikah (zina, pelacuran,
selingkuh, jajan, ‘seks bebas’, waria) dan homoseksual bisa terjadi kalau salah
satu dari pasangan itu HIV-positif. Sebaliknya, kalau satu pasangan dua-duanya
HIV-negatif maka tidak ada risiko penularan melalui hubungan seks biar pun
mereka melakukannya dengan zina, pelacuran, selingkuh, jajan, ‘seks bebas’,
waria, dan homoseksual.
Tidak
disebutkan alasan yang masuk akal mengapa kematian terkait HIV/AIDS tidak
berhak menerima santunan kematian. Inilah salah satu bentuk diskriminasi yang
merupakan perbuatan yang melawan hukum dan pelanggaran berat terhadap hak-hak
asasi manusia (HAM).
Alasan
diskriminasi muncul dari penyataan Walikota Depok “Itu membantu Pemkot mencegah
warga melakukan perbuatan melanggar hukum.” Tidak jelas perbuatan apa yang
dilakukan oleh orang-orang yang tertular HIV yang disebut sebahgai ‘perbuatan
melanggar hukum’.
Seseorang
yang tertular HIV dari transfusi darah sangat jelas tidak melakukan perbuatan
yang melanggar hukum. Secara akidah orang yang melakukan transfusi darah wajib
hukumnya jika cara itu akan menyelamatkan nyawanya. Di Malaysia seorang
perempuan guru mengaji Alquran tertular HIV di RS Jitra di Kedah, 28 April
2000. Perempuan tadi menuntut pemerintah Malaysia membayar ganti rugi 100 juta
ringgit (sekitar Rp 200 miliar).
eandainya
kasus itu terjadi di Depok dan orang yang tertular HIV kemudian meninggal,
mengapa dia tidak berhak mendapatkan santunan kematian?
Dalam
berita disebutkan “Bagaiman jika ada anak yang mendapat AIDS karena turunan
dari orang tuanya.” Ini tidak akurat karena HIV/AIDS bukan penyakit turunan
tapi penyakit menular. Seorang perempuan yang tertular HIV berisiko menularkan
HIV kepada bayi yang dikandungnya terutama pada saat melahirkan dan menyusui
dengan ASI.
Diskriminasi
santunan kematian kepada Odha patut dipertanyakan kalau kematian terkait
Hepatitis B, kecelakaan lalu lintas, dan penyakit karena dengan pola (perilaku)
diberikan santunan. Penularan virus Hepatitis B sama dengan penularan HIV.
Melihat
penyebaran HIV yang kian merata di semua lapisan masyarakat di seluruh
Nusantara maka tidak tertutup kemungkinan kasus HIV/AIDS juga akan menjadi
persoalan (kesehatan) masayarakat di Depok. Secara nasional sudah dilaporkan
15.502 kasus kumuilatif HIV/AIDS. Tapi, angka ini tidak menggambarkan kasus
yang sebenarnya karena banyak kasus yang tidak terdeteksi.
Kasus
yang tidak terdeteksi itulah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV yang pada
gilirannya kelak akan menjadi ‘bom waktu’ ledakan AIDS, termasuk di Depok. Jika
ini yang terjadi maka kematian terkait HIV/AIDS pun tentulah tidak sedikit.
*
Penulis adalah pemerhati HIV/AIDS dan direktur eksekutif LSM (media watch)
“InfoKespro” Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.