Tanggapan
terhadap berita HIV/AIDS di Harian “Pontianak Post”
Oleh: Syaiful
W. Harahap
[Sumber: Newsletter ”infoAIDS”
No 1/November 2008]
Berita
“Sepuluh Tahun 172 Orang Meninggal, Kasus HIV AIDS
Memprihatinkan” di Harian “Pontianak Post” (28/6-2008)
menjadi bukti terkait dengan epidemi HIV di Kalbar khususnya dan di Indonesia
umumnya. Namun, yang menjadi persoalan bukan kematian Odha (Orang dengan
HIV/AIDS), tapi penularan HIV antar penduduk secara horizontal yang terjadi
tanpa disadari banyak orang.
Laporan
Ditjen PPM & PL Depkes RI sampai 31 Maret 2008 kasus AIDS di Kalbar
mencapai 765 dengan kematian 112. Jumlah ini hanya kasus AIDS yaitu Odha yang
sudah mencapai masa AIDS. Pada masa AIDS (secara statistik antara 5-10 tahun
setelah tertular HIV) mulai muncul penyakit-penyakit yang disebut sebagai
infeksi oportunistik, seperti diare, ruam, TB, dll. Penyakit-penyakit ini mudah
menyerang Odha karena sistem kekebalan Odha yang sudah rapuh akibat kerusakan
pada sel-sel darah putih (sistem pertahanan tubuh) yang dijadikan HIV sebagai
‘pabrik’ untuk menggandakan diri.
Biar
pun ada perbedaan angka antara laporan Ditjen PPM & PL dengan data instansi
terkait di Kalbar yang jelas angka ini menempatkan Kalbar pada peringkat keenam
secara nasional. Selain dua kota dan empat kabupaten merupakan daerah yang
menjadi sasaran program akselerasi dalam penanggulangan epidemi HIV yaitu Kota:
Pontianak dengan kasus 232, dan Singkawang 350, serta Kabupaten: Sambas 7,
Pontianak 51, Ketapang 11, dan Sintang 6.
Mata Rantai
Kalau
dipakai angka 172 sebagai kematian Odha di Kalbar maka angka ini merupakan mata
rantai penyabaran HIV karena sebelum terdeteksi tanpa disadari mereka sudah
menularkan HIV kepada orang lain. Hal ini terjadi karena sebelum terdeteksi
atau sebelum masa AIDS tidak ada tanda, gejala, atau ciri-ciri yang khas AIDS
pada fisik mereka. Tapi, pada kurun waktu itu mereka sudah bisa menularkan HIV
kepada orang lain melalui: (a) hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar
nikah, (b) transfusi darah yang tidak diskrining HIV, (c) jarum suntik dan
alat-alat kesehatan yang dipakai bersama-sama denga bergiliran, dan (d) air
susu ibu (ASI).
Jika
separuh dari angka kematian itu laki-laki yang beristri maka ada 86 perempuan
yang berisiko tertular HIV. Kalau 86 perempuan ini tertular maka ada pula
risiko penularan kepada bayi yang mereka kandung kelak. Kalau di antara mereka
ada juga yang mempunyai pasangan seks selain istri, seperti selingkuhan atau
pekerja seks, maka ada pula risiko penularan ke perempuan lain.
Dalam
laporan Ditjen PPM & PL disebutkan 132 kasus AIDS terdeteksi di kalangan
pengguna narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya). Ini pun merupakan mata
rantai penyebaran HIV karena pengguna narkoba dengan suntikan biasanya
menyuntik bersama teman-temannya. Andaikan seorang pengguna narkoba menyuntik
dengan empat temannya, maka keempat temannya berisiko tertular HIV. Ini berarti
ada 528 (132 x 4) pengguna narkoba di Kalbar yang berisiko tertular HIV. Kalau
yang 528 ini juga menyuntik dengan teman-temannya maka pengguna narkoba yang
berisiko tertular HIV bagaikan deret ukur.
Dalam
kaitan inilah yang menjadi persoalan besar adalah mata rantai penyebaran HIV
yang sering luput dari perhatian. Selain pengguna narkoba yang menjadi jembatan
penyebaran HIV dari komunitas pengguna narkoba ke masyarakat yang perlu
diperhatikan adalah laki-laki pelanggan pekerja seks.
Jika
di Kalbar terdeteksi pekerja seks yang HIV-positif maka ada dua kemungkinan
yang terjadi. Pertama, pekerja seks itu tertular dari laki-laki
pelanggannya yang bisa merupakan penduduk lokal atau pendatang. Kalau ini yang
terjadi maka di masyarakat sudah ada laki-laki yang HIV-positif.
Kemungkinan kedua, bisa jadi pekerja seks yang terdeteksi
HIV-positif di Kalbar sudah mengidap HIV ketika mulai ‘beroperasi’ di Kalbar.
Jika ini yang terjadi maka laki-laki pelanggan mereka berisiko tertular HIV.
Informasi Akurat
Dalam
kehidupan sehari-hari laki-laki yang menularkan HIV keapda pekerja seks atau
yang tertular dari pekerja seks bisa sebagai seorang suami, lajang, duda, atau
remaja yang bekerja sebagai pegawai, karyawan, mahasiswa, pelajar, nelayan,
perampok, dll. Mereka inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV. Penularan
terjadi tanpa disadari karena tidak ada keluhan yang khas AIDS pada diri
orang-orang yang sudah tertular HIV sebelum masa AIDS.
Hal
di atas terjadi karena selama ini informasi tentang HIV/AIDS yang sampai ke
masyarakat tidak komprehensif. Informasi tidak utuh dan sering pula dibalut
dengan moral dan agama sehingga yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah).
Misalnya, selama ini penularan HIV selalu dikait-kaitkan dengan zina dan
pelacuran. Banyak orang yang tidak merasa berisiko karena mereka tidak
melalukan hubungan seks dengan pelacur, tapi dengan ‘cewek’ atau ‘perempuan
baik-baik’ di luar lokalisasi. Padahal, perilaku mereka itu berisiko tinggi
tertular HIV.
Orang-orang
(laki-laki dan perempuan) yang berisiko tinggi tertular HIV adalah: (a) yang
pernah melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan
pasangan yang berganti-ganti karena da kemungkian salah satu dari pasangan itu
HIV-positif, dan (b) yang pernah melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam
atau di luar nikah dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan,
seperti pekerja seks, karena ada kemungkian salah satu dari pasangan mereka
HIV-positif.
Untuk
itulah informasi yang akurat tentang HIV/AIDS harus digencarkan melalui
penyuluhan dengan mengedepankan HIV/AIDS sebagai fakta medis. Penyuluhan ini
diharapkan akan membuka mata orang-orang yang perilakunya berisiko tinggi agar
mau menjalani tes HIV secara sukarela. Semakin banyak kasus HIV/AIDS terdeteksi
maka kian banyak pula mata rantai yang diputus. *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.