Tulisan
saya yang di bawah ini dimuat di beberapa media cetak Jawa Pos Grup tanggal 1 dan 2 Desember 2003.
Antara lain di “Indo Pos‘, “Pontianak Post”, dan “Radar Sulteng“.
Tanggal 28 – 30 November 2007 saya menjalankan
workshop ‘Memahami Aborsi sebagai Realitas Sosial” di Bandar Lampung yang
diikuti wartawan, polisi, jaksa, pemuka agama, dosen, mahasiswa dan LSM.
Tanggal 1 Desember 2007 saya membeli semua koran terbitan Bandar Lampung.
Semula
saya tertarik membaca tulisan berjugul “Diskriminasi
terhadap Pengidap AIDS” di rubrik OPINI Harian “Radar Lampung” karena judul itu salah.
Soalnya, AIDS bukan penyakit sehingga tidak ada yang mengidapnya. Tapi, setelah
saya baca, koq mirip benar dengan tulisan saya.
Ketika
saya buka file ternyata
tulisan Sdr. Nur Arif Sugandi yang
menyebut diri sebagai Pemerhati Masalah
Kemasyarakatan di Bandar Lampung persis tulisan saya. Hanya
diutak-atik di lead saja.
Saya sudah menyurati Pemred “Radar Lampung”
tapi tidak ada tanggapan.
Apakah
ada usul dari rekan-rekan untuk membuat agar orang semacam Nur Arif Sugandi ini
kapok?
Syaiful W. Harahap
Anggota PWI Jaya No. 09.00.3124.90
LSM (media watch) “InfoKespro“, Jakarta
Anggota PWI Jaya No. 09.00.3124.90
LSM (media watch) “InfoKespro“, Jakarta
=======
Diskriminasi
terhadap Pengidap HIV
Oleh: Syaiful W. Harahap *
[Sumber:
Harian “Radar Sulteng“, 2 Desember
2003]
Dengan
472 kasus HIV/AIDS (282 HIV positif dan 190 AIDS), Jawa Timur berada pada
peringkat tiga nasional. Angka ini tidak menggambarkan jumlah kasus yang
sebenarnya. Perlakuan buruk terhadap Odha (orang yang hidup dengan AIDS)
menyulitkan penanggulangan epidemi HIV/AIDS. Melalui Hari AIDS Sedunia 1
Desember 2003 -hari ini- masyarakat diajak agar tidak melakukan stigmatisasi
(memberi cap buruk) dan diskriminasi (mengasingkan, mengucilkan,
membeda-bedakan) terhadap orang-orang yang hidup dengan AIDS (Odha) karena akan
memperburuk epidemi HIV/AIDS.
Stigmatitasi
dan diskriminasi pun merupakan perbuatan melawan hukum dan melanggar hak asasi
manusia (HAM). Selama ini di Surabaya sering dilakukan razia untuk menangkap
pekerja seks. Yang tertangkap diambil darahnya untuk tes HIV tanpamelalui
standar prosedur tes HIV yang baku (konseling sebelum dan sesudah tes,
pernyataan kesediaan, asas anonimitas, dan konfidensialitas). Hal ini dilakukan
seakan-akan sebagai cara menanggulangi epidemi HIV/AIDS karena pekerja seks yang
terdeteksiHIV positif akan ‘diawasi’.
Perlakuan itu membuat Odha mengalami
stigmatisasi dan diskriminasi sehingga ada kemungkinan orang-orang yang
terinfeksi HIV ‘menyembunyikan’ diri di masyarakat. Padahal, penanganan pasca
tes HIV sangat penting untuk mendorong orang tersebut agar tidak berperilaku
berisiko.
Perilaku Berisiko
Mengawasi
pekerja seks yang terdeteksi HIV positif tidak banyak manfaatnya. Yang lebih
‘berbahaya’ justru laki-laki yang melakukan hubungan seksual tidak aman dengan
pekerja seks. Mereka berisiko tinggi tertular HIV. Jika ada laki-laki yang
tertular HIV, dia akan menjadi mata rantai penyebaran HIV ke masyarakat. Dia
akan menulariistrinya (horizontal). Jika istrinya tertular, ada pula risiko
penularan dari-ibu-ke-bayi (vertikal), terutama pada saat persalinan dan
menyusui dengan ASI. Kasus HIV/AIDS yang dilaporkan di Surabaya umumnya
terdeteksi di kalangan pekerja seks.
Jadi,
ada risiko tertular HIV melalui hubungan seks yang tidak aman (tidak memakai
kondom) dengan pekerja seks. Celakanya, banyak orang yang tidak menyadari
dirinya tertular HIV karena tidak ada keluhan yang khas. Tidak ada pula
gejala-gejala klinis yang khas HIV/AIDS. Gejala baru muncul jika sudah mencapai
masa AIDS (5-10 tahun). Tapi, perlu diingat bahwa biarpun belum mencapai masa
AIDS, seseorang yang HIV positif sudah dapat menularkan HIV melalui cara-cara
yang sangat spesifik.
Sebagai
virus, HIV hanya dapat menular melalui (1) hubungan seks yang tidak aman (tak
memakai kondom) dengan pasangannya di dalam dan di luar nikah, (2) transfusi
darah, (3) jarum suntik, dan (4) dari ibu yang HIV positif ke bayi yang
dikandungnya pada saat persalinan dan menyusui dengan ASI.
Karena
tidak ada gejala-gejala klinis yang terkait dengan HIV/AIDS, yang diperlukan
ialah kesadaran setiap orang untuk menimbang-nimbang: Apakah dirinya
berperilaku berisiko tinggi tertular HIV atau tidak. Jika jawabannya “ya”,
orang tersebut berisiko tertular HIV.
Perilaku berisiko tinggi tertular HIV
adalah (1) melakukan hubungan seks (sanggama) yang tidak aman (tidak memakai
kondom) di dalam dan di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti, (2)
melakukan hubungan seks (sanggama) yang tidak aman (tidak memakai kondom) di
dalam dan di luar nikah dengan seseorang yang suka berganti-gantipasangan, seperti
pekerja seks, (3) menerima transfusi darah yang tidak diskrining, dan (4)
memakai jarum suntik dan semprit secara bersama-sama dengan bergiliran dan
bergantian.
Materi KIE
Setiap
orang dapat melindungi diri sendiri dengan aktif agar tidak tertular HIV, yaitu
dengan menghindari perilaku berisiko. Tapi, hal itu tidak mudah karena selama
ini informasi tentang HIV/AIDS tidak akurat. Materi KIE (komunikasi, informasi,
edukasi) selalu dibalut dengan moral dan agama sehingga yang muncul hanya mitos
(anggapanyang salah) tentang HIV/AIDS. Misalnya, disebutkan HIV menular melalui
zina, seks di luar nikah, ‘seks bebas’ (istilah ini rancu), seks menyimpang,
pelacuran, dll.
Padahal,
tidak ada hubungan langsung antara penularan HIV dengan zina, seks di luar
nikah, seks menyimpang, atau pelacuran. HIV menular melalui hubungan seksual
yang tidak aman jika salah satu dari pasangan itu HIV positif di dalam dan di
luar nikah. Informasi yang menyesatkan itulah kemudian yang membuat masyarakat
tidak waspada. Banyak yang merasa tidak akan tertular HIV karena mereka
melakukan hubungan seks di luar lokalisasi. Ada pula yang merasa aman karena
kencan dengan ‘anak sekolah’.
Kalau
hubungan seksual yang tidak aman dilakukan dengan pasangan yang berganti-ganti,
baik ‘anak sekolah’, ‘orang baik-baik’, dll, tetap berisiko tertular HIV.
Soalnya, bisa saja di antara teman kencan tersebut ada yang HIV positif.
Ketika
epidemi HIV sudah menjadi ancaman yang nyata terhadap kesehatan masyarakat,
langkah yang perlu ditempuh adalah menggencarkan penyuluhan dengan materi KIE
yang akurat. Salah satu informasi yang perlu disampaikan kepada masyarakat
adalah perilaku-perilaku berisiko tinggi tertular HIV.
Selain
itu, ada anjuran agar orang-orang yang pernah berperilaku berisiko tinggi mau
menjalani tes HIV sukarela sesuai standar prosedur operasi tes HIV yang baku.
Dengan mengetahui status HIV lebih dini sebelum mencapai masa AIDS, orang
tersebut dapat diajak kompromi agar tidak menulari orang lain. Selain itu, yang
bersangkutan mendapat perawatan medis. Misalnya, pemberian obat antiretroviral
(obat yang dapat menahan laju perkembangan HIV di dalam darah) sehingga kondisi
kesehatan sampai ke masa AIDS tetap baik.****
Syaiful W Harahap, direktur
Eksekutif LSM “InfoKespro”
Jakarta yang bergerak dalam bidang selisik media (media
watch) berita HIV/AIDS.
=============
Diskriminasi terhadap
Pengidap AIDS
Oleh Nur
Arif Sugandi
Pemerhati Masalah Kemasyarakatan di Bandar Lampung
Pemerhati Masalah Kemasyarakatan di Bandar Lampung
Setiap
tahun, penderita AIDS terus meningkat seiring perkembangan zaman. Melalui Hari
AIDS Sedunia, 1 Desember 2007 (hari ini,Red), masyarakat diajak tidak melakukan
stigmatisasi (memberi cap buruk) dan diskriminasi (mengasingkan, mengucilkan,
membeda-bedakan) terhadap orang-orang yang hidup dengan AIDS (Odha) karena
akanmemperburuk epidemi HIV/AIDS. Stigmatitasi dan diskriminasipun merupakan
perbuatan melawan hukum dan melanggar hak asasi manusia (HAM).
Selam
ini di beberapa daerah Indonesia sering dilakukan razia untuk menangkap pekerja
seks. Yang tertangkap diambil darahnya untuk tes HIV tanpa melalui standar
prosedur tes HIV yang baku (konseling sebelum dan sesudah tes, pernyataan
kesediaan, asas anonimitas, dan konfidensialitas). Hal ini dilakukan
seakan-akan sebagai cara menggulangi epidemi HIV/AIDS karena pekerja seks yang
terdeteksi.
HIV
positif akan `diawasi’
Perlakuan
itu membuat Odha mengalami stigmatisasi dan diskriminasi sehingga ada
kemungkinan orang-orang yang terinfeksi HIV `menyembunyikan’ diri di
masyarakat. Padahal, penanganan pasca-tes HIV sangat penting untuk mendorong
orang tersebut agar tidak berperilaku berisiko.
Perilaku
Berisiko
Mengawasi
pekerja seks yang terdeteksi HIV positif tidak banyak manfaatnya. Yang
lebih’berbahaya’ justru laki-laki yang melakukan hubungan seksual tidak aman
dengan pekerja seks. Mereka berisiko tinggi tertular HIV. Jika ada laki-laki
yang tertular HIV, dia akan menjadi mata rantai penyebaran HIV ke masyarakat.
Dia akan menulari istrinya (horizontal). Jika istrinya tertular, ada pula
risiko penularan dari ibu ke bayi (vertical), terutama pada saat persalinan dan
menyusui dengan ASI. Kasus HIV/AIDS yang umumnya terdeteksi di kalangan pekerja
seks.
Jadi,
ada risiko tertular HIV melalui hubungan seks yang tidak aman (tidak memakai
kondom) dengan pekerja seks. Celakanya, banyak orang yang tidak menyadari
dirinya tertular karena tidak ada keluhan yang khas. Tidak ada pula
gejala-gejala klinis yang khas HIV/AIDS. Gejala baru muncul jika sudah mencapai
masa AIDS (5-10 tahun), Tapi, perlu diingat bahwa biarpun belum mencapai masa
AIDS, seseorang yang HIV positif sudah dapat menularkan HIV melalui cara-cara
yang sangat spesifik.
Sebagi
virus, HIV hanya dapat menular melalui (1) hubungan seks yang tidak aman (tak
memakai kondom) dengan pasangannya di dalam dan di luar nikah, (2) transfusi
darah, (3) jarum suntik dan (4) dari ibu yang HIV positif ke bayi yang
dikandungnya pada saat persalinan dan menyusui dengan ASI.
Karena
tidak ada gejala-gejala klinis yang terkait dengan HIV/AIDS, yang diperlukan
ialah kesadaran setiap orang untuk menimbang-nimbang: Apakah dirinya
berperilaku berisiko tinggi tertular HIV atau tidak. Jika jawabannya “ya” orang
tersebut berisiko tertular HIV.
Perilaku berisiko tinggi tertular HIV
adalah (1) melakukan hubungan seks (senggama) yang tidak aman (tidak makai
kondom) di dalam dan di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti, (2)
melakukan hubungan seks yang tidak aman (tidak mmemakai kondom) di dalam dan di
luar nikah dengan seseorang yang suka berganti-danti pasangan, seperti pekerja
seks, (3) menerima transfusi darah yang tidak diskrining dan (4) memakai
jarumsuntik dan semprit secara bersama-sama dengan bergiliran dan bergantian.
Materi
KIE
Setiap
orang dapat melindungi diri sendiri dengan aktif agar tidak tertular HIV, yaitu
dengan menghindari perilaku beresiko. Tapi, hal itu tidak mudah karena selama
ini informasi tentang HIV/AIDS tidak akurat. Materi KIE (komunikasi, indormasi,
edukasi) selalu dibalut dengan moral dan agama sehingga yang muncul hanya mitos
(anggapanyang salah) tentang HIV/AIDS. Misalnya, disebutkan HIV menular melalui
zina, seks di luar nikah, `seks bebas’ (istilah ini rancu), seks menyimpang,
paelacuran dan lainnya.
Padahal
tidak ada hubungan langsung antara penularan HIV dengan zina, seks di luar
nikah, seks menyimpang atau pelacuran. HIV menular melalui hubungan seksual
yang tidak aman jika salah satu dari pasangan itu HIV positif di dalam dan di
luar nikah.
Informasi
yang menyesatkan itulah yang membuat masyarakat tidak waspada. Banyak yang
merasa tidak akan tertular HIV karena mereka melakukan hubungan seks di luar
lokalisasi. Ada pula yang merasa aman karena kencan dengan ‘anak sekolah’.
Kalau hubungan seksual yang tidak aman dilakukan dengan pasangan yang
berganti-ganti,baik `anak sekolah’, `orang baik-baik’, dll, tetap beresiko
tertular HIV. Soalnya bisa saja di antara teman kencan tersebut ada yang HIV
positif.
Ketika
epidemi HIV sudah menjadi ancaman yang nyata terhadap kesehatan masyarakat,
langkah yang perlu ditempuh adalah menggencarkan penyuluhan dengan materi KIE
yang akurat. Salah satu informasi yang perlu disampaikan kepada masyarakat
adalah perilaku-perilaku berisiko tinggi tertular HIV.
Selain
itu, ada anjuran agar orang-orang yang pernah berperilaku berisiko tinggi mau
menjalani tes HIV sukarela sesuai standar prosedur operasi tes HIV yang baku.
Dengan mengetahui status HIV lebih dini sebelum mencapai masa AIDS, orang
tersebut dapat diajak kompromi agar tidak menulari orang lain. Selain itu, yang
bersangkutan mendapat perawatan medis. Misalnya, pemberian obar antiretroviral
(obat yang dapat menahan laju perkembangan HIV di dalam darah) sehingga kondisi
kesehatan sampai ke masa AIDS tetap baik. (*)
[Sumber:
Harian “Radar Lampung“,
Opini, 1 Desember 2007]
Catatan:
pernah dimuat di https://aidsmediawatch.wordpress.com/2009/07/30/plagiat/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.