[Sumber: Harian ”Pontianak Post”, 2 Desember
2008]
Dalam laporan Depkes terakhir (30/6-2008), Kalimantan
Barat menempati peringkat keenam dengan 765 kasus AIDS, 132 diantaranya
terdeteksi di kalangan pengguna narkoba. Kematian tercatat 196. Tanpa
penanganan yang serius dengan tindakan yang konkret, penyebaran HIV/AIDS di
Kalbar bisa menjadi persoalan besar terhadap kesehatan masyarakat di masa yang
akan datang. Perda tidak akan bisa mananggulangi penyebaran HIV. Hari ini dunia
memperingati Hari AIDS Sedunia sebagai pemicu bagi kita untuk meningkatkan
penanggulangan HIV/AIDS.
Saat ini epidemi HIV di Kalbar khususnya dan di
Indonesia umumnya bagaikan ‘api dalam sekam’ sehingga menjadi ‘bom waktu’
ledakan AIDS. Hal ini terjadi karena kasus-kasus infeksi HIV dan AIDS yang
terdeteksi hanya sebagian kecil dari kasus yang ada di masyarakat. Mengapa kasus
yang terdeteksi di Kalbar khususnya dan di Indonesia umumnya hanya sedikit?
Antar Penduduk
Pertama, di Indonesia
tidak ada sistem (cara) yang bisa mendeteksi kasus HIV di masyarakat.
Kasus-kasus HIV/AIDS yang terdeteksi umumnya dari survailans tes HIV pada
kalangan tertentu, seperti PSK, waria, dll. Sebagian lagi dari klinik tes HIV
sukarela dengan konseling (VCT). Yang lain terdeteksi di rumah sakit ketika
mereka berobat. Orang-orang yang mengidap HIV (HIV-positif) akan menderita
berbagai macam penyakit, disebut infeksi oportunistik, seperti diare, sariawan,
TBC, dll ketika sudah mencapai masa AIDS (antara 5-10 tahun setelah tertular).
Penyakit ini sulit disembuhkan pada diri Odha (Orang dengan HIV/AIDS) jika
dibandingkan dengan orang yang tidak mengidap HIV (HIV-negatif) sehingga dokter
yang menangani akan menganjurkan tes HIV.
Berbeda dengan negara lain, seperti Malaysia, yang
menerapkan survailans melalui tes HIV rutin dan sistematis terhadap pasien PMS
(penyakit menular seksual, seperti sifilis, GO, klamidia, herpes, dll),
pengguna narkoba suntik, perempuan hamil, polisi, narapidana, dan pasien TBC.
Sedangkan skrining khusus dilakukan terhadap pekerja seks komersial (PSK),
pelajar dan mahasiswa. Maka, tidak mengherankan kalau kemudian kasus HIV/AIDS
di Malaysia, dengan penduduk 26 juta, sudah dilaporkan lebih dari 40.000.
Bandingkan dengan Indonesia yang berpenduduk 230 juta kasus yang terdeteksi
baru 18.963 kasus HIV/AIDS.
Kedua, banyak orang
yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV. Ini terjadi karena orang-orang
yang sudah tertular HIV tidak menunjukkan gejala, tanda, atau ciri-ciri yang
khas AIDS pada fisiknya sebelum masa AIDS. Tapi, para rentang waktu sejak
tertular sampai pada masa AIDS sudah bisa terjadi penularan HIV, lagi-lagi
tanpa disadari, melalui: (a) hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar
nikah, (b) transfusi darah yang tidak diskrining HIV, (c) jarum suntik, jarum
tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo, dan alat-alat kesehatan yang dipakai
bersama-sama, (d) cangkok organ tubuh yang tidak diskrining HIV, dan (e) air
susu ibu (ASI) pada proses menyusui.
Itulah sebabnya penyebaran HIV secara horizontal antar
penduduk menjadi salah satu pemicu kasus HIV/AIDS karena banyak orang yang
tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV. Lalu, siapa saja orang yang ‘sudah
tertular HIV’, tapi tidak terdeteksi? Mereka adalah orang-orang yang
perilakunya berisiko tinggi tertular HIV. Mereka adalah (1) orang-orang yang
pernah melakukan hubungan seks tanpa kondom, di dalam atau di luar nikah, dengan
pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti
pasangan karena ada kemungkinan salah satu dari mereka HIV-positif; (2)
orang-orang yang menggunakan jarum suntik secara bersama-sama dengan bergiliran
dengan bergantian, seperti pada pengguna narkoba.
Jika di Kalbar terdeteksi ada pekerja seks komersial
(PSK) yang HIV-positif, maka ada dua kemungkinan terkait dengan fakta
ini. Pertama, PSK itu ditulari oleh laki-laki penduduk Kalbar atau
pendatang. Jika ini yang terjadi, maka sudah ada laki-laki penduduk Kalbar yang
mengidap HIV. Laki-laki ini bisa sebagai suami, pacar, lajang atau duda yang
bekerja sebagai pegawai, karyawan, pelajar, mahasiswa, pengusaha, buruh,
petani, nelayan, perampok, dll. Laki-laki inilah yang menjadi mata rantai
penyebaran HIV antar penduduk. Kedua, PSK itu sudah mengidap HIV
ketika mulai ‘praktek’ di Medan. Kalau ini yang terjadi, maka laki-laki
penduduk Medan yang melakukan hubungan seks tanpa kondom dengan PSK berisiko
tertular HIV. Jika ada laki-laki yang tertular HIV, maka mereka pun akhirnya
menjadi mata rantai penyebaran HIV pula.
Perda Mandul
Selama ini jika ada PSK yang terdeteksi HIV-positif
yang ditangani hanya PSK tersebut. Padahal, penanganan harus diarahkan ke
masyarakat. Indikasi penularan kepada penduduk dapat dilihat dari kasus infeksi
HIV di kalangan ibu-ibu rumah tangga dan bayi, serta deteksi HIV pada darah
donor di PMI. Untuk itulah orang-orang yang perilakunya berisiko tinggi
dianjurkan menjalani tes HIV secara sukarela.
Siapa yang harus memeriksakan diri ke klinik VCT? Yang
dianjurkan ke klinik VCT adalah setiap orang yang pernah atau sering melakukan
hubungan seks tanpa kondom, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang
berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan,
seperti PSK.
Namun, fakta menunjukkan kunjungan ke VCT sangat
rendah karena banyak orang yang tidak menyadari perilakunya berisiko tinggi
tertular HIV. Untuk itulah belakangan ini dikembangkan program baru yaitu provider
initiative test and counseling (PITC). Ketika seseorang berobat ke
dokter, rumah sakit, klinik, atau poliklinik dokter bisa menganjurkan mereka
untuk menjalani tes HIV jika ada gejala terkait AIDS dengan latar belakang
perilaku berisiko.
Sudah saatnya Pemprov Kalbar meningkatkan penyuluhan
agar masyarakat memahami perilakunya dan mau menjalani tes HIV bukan membuat
Perda AIDS. Sudah 13 daerah provinsi, kabupaten dan kota di Indonesia yang
membuat Perda AIDS tidak ada dampaknya secara langsung terhadap penurunan
infeksi HIV baru. Di Tanah Papua, ada enam Perda AIDS, tapi perda itu tidak
bisa menghentikan kasus infeksi baru di kalangan dewasa. Semakin banyak kasus
HIV dan AIDS yang terdeteksi, maka kian banyak pula mata rantai penyebaran HIV
yang diputus. ***
* Penulis, pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media
watch) “InfoKespro” Jakarta dan pengasuh rubrik “Konsultasi
HIV/AIDS” di Harian “Pontianak Post”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.