Oleh:
Syaiful W. Harahap*
[Sumber:
Harian “Pontianak Post”, 26 September
2007]
AWAL
September
2007 ini ada tiga berita di harian ini tentang gagasan DPRD Kalbar merancang
peraturan daerah (Perda) HIV/AIDS. Di saat di banyak daerah Perda AIDS hanya
menghias rak buku, DPRD Kalbar malah akan merancang Perda AIDS. Selama materi
KIE (komunikasi, informasi, dan edukasi) tentang HIV/AIDS tetap dibalut dengan
norma, moral, dan agama maka selama itu pula penyebaran HIV/AIDS akan terus
terjadi. Mengapa? Karena masyarakat tidak memahami cara-cara penularan dan pencegahan
HIV yang akurat. Karena materi KIE dibalut dengan norma, moral, dan agama maka
yang muncul adalah mitos (anggapan yang salah). Misalnya, selama ini
didengung-dengungkan bahwa penularan HIV terjadi karena zina, seks bebas,
pelacuran, jajan, selingkuh, dan homoseksual.
Padahal,
penularan HIV melalui hubungan seks di dalam atau di luar nikah (bisa) terjadi
kalau salah satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif. Sebaliknya, kalau
dua-duanya HIV-negatif maka tidak ada risiko penularan HIV biar pun dilakukan
dengan zina, seks bebas, pelacuran, jajan, selingkuh, dan homoseksual.
Sampai
sekarang sudah ada beberapa Perda AIDS di Papua yaitu Kabupaten Merauke,
Jayapura, dan Nabire, serta Kota Jayapura. Sedangkan di tingkat provinsi Perda
AIDS ada di Jawa Timur, Bali, dan Riau.
Apakah
ada hasil nyata dari perda-perda itu? Ternyata hasilnya nol besar. Mengapa?
Karena perda itu tidak menyentuh persoalan HIV/AIDS dari aspek medis. Seperti
diketahui HIV/AIDS adalah fakta medis, artinya dapat diuji di laboratorium
dengan teknologi kedokteran sehigga pencegahannya pun dapat pula dilakukan
denga teknologi kedokteran. Tapi, dalam perda justru norma, moral dan agama
yang dijadikan sebagai alat untuk mencegah penularan HIV.
Dalam
Perda AIDS Riau, misalnya, disebutkan mencegah penularan HIV/AIDS adalah dengan
‘iman dan taqwa’. Ini jelas tidak akurat karena: bagaimana menugukur ‘iman dan
taqwa’ yang bisa menghalau HIV/AIDS? Lagi pula tidak ada kaitan langsung antara
penularan HIV dengan ‘iman dan taqwa’. Misalnya, penularan HIV melalui
transfusi darah jelas tidak terkait dengan ‘iman dan taqwa’. Begitu pula dengan
seorang istri yang tertular HIV dari suaminya, apakah hal itu terjadi karena si
istri tidak ‘beriman dan bertaqwa’?
100 Persen Kondom
Perda
lain pun tetap mengepankan morma, moral, dan agama sebagai alat pencegahan HIV.
Di salah satu Perda AIDS di Papua disebutkan mencegah HIV adalah ‘jangan
melakukan seks menyimpang’. Ini ‘kan ngawur. Di dalam ikatan pernikahan yang
sah pun bisa terjadi penularan HIV kalau salah satu atau kedua-dua pasangan itu
HIV-positif.
Perda
lain mengatur hukuman bagi orang yang menularkan HIV/AIDS dengan sengaja. Ini
jelas tidak akurat karena sekitar 90 persen kasus penularan HIV/AIDS terjadi
tanpa disadari. Lagi pula fakta membuktikan orang-orang yang sudah terdeteksi
HIV/AIDS sudah berjanji akan menghentikan penularan HIV mulai dari dirinya.
Maka,
yang menjadi mata rantai penularan HIV adalah orang-orang yang tidak menyadari
dirinya sudah tertular HIV. Hal ini terjadi karena tidak ada tanda, gejala,
atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik seseorang yang sudah tertular HIV
sebelum masa AIDS (antara 5 – 10 tahun setelah tertular). Tapi, pada kurun
waktu itu penularan HIV sudah bisa terjadi melalui: (a) hubungan seks di dalam
atau di luar nikah, (b) transfusi darah, (c) jarum suntik, jarum akupunktur,
jarum tattoo, dan alat-alat kesehatan, (d) cangkok organ tubuh, dan (e) air
susu ibu/ASI pada proses menyusui. Celakanya, orang yang (baru) tertular pun
tidak menyadari kalau dirinya sudah tertular HIV karena tidak ada tanda,
gejala, atau ciri-ciri yang khas AIDS pada diri seseorang yang baru tertular
HIV.
Disebutkan
“perdagangan orang atau trafficking sangat dekat dengan persoalan HIV/AIDS. Tak
sedikit korban trafficking dipekerjakan di tempat-tempat prostitusi di luar
negeri. Sementara dari tempat tersebut mereka kemudian terjangkit HIV/AIDS dan
virus itu dibawa ke tanah air.” (7/11). Ini tidak adil karena penduduk Kalbar
pun ada yang ‘melancong’ ke luar daerah atau luar negeri. Kalau mereka tertular
ketika ‘melancong’ maka mereka pun akan menjadi mata rantai penyebaran HIV.
Dalam
berita disebutkan perda itu menyentuh ranah keagamaan karena mengatur
penggunaan kondom, pengenalan tentang seks sejak dini, dan lain-lain. Yang
dikhawatirkan jangan sampai hal itu mengesankan perda malah melegalkan seks
bebas serta prostitusi (11/7). Kalau perda itu mengatur kondom maka jelas
merupakan tiruan dari Thailand yang konon kabarnya berhasil menekan kasus
infeksi baru HIV berkat ‘Program 100 Persen Kondom”. Artinya, setiap hubungan
seks berisiko laki-laki diwajibkan memakai kondom.
Kalau
pun penggunaan kondom kelak diatur dalam perda, maka pertanyaan yang sangat
mendasar adalah: di mana dan bagaiman mengaturnya? Di Thailand bisa diatur
karena ada lokalisasi dan rumah border. Nah, apakah di Kalbar ada lokalisasi
pelacuran yang ‘resmi’? Thailand mengaturnya dengan cara memeriksa pekerja seks
secara berkala. Kalau ada yang tertular IMS, seperti sifilis, GO, dll., maka
mucikari atua germonya mendapatkan hukuman sampai penutupan rumah bordir.
Apakah hal ini bisa dilakukan di Kalbar?
Lagi
pula belakangan ‘hidung belang’ di Thailand putra otak. Mereka tidak ‘main’ di
lokalisasi atau rumah bordir tapi pekerja seks mereka bawa ke rumah, apartemen,
hotel atau tempat lain sehingga aturan “100 Persen Kondom” tidak berlaku bagi
mereka. Maka, program itu pun tetap ada kelemahannya karena pada akhirnya
tergantung kepada orang per orang.
Asumsi
“Beberapa
daerah mengalami kegagalan dalam implementasi Perda HIV/AIDS. Ada sesuatu yang
dianggap tabu oleh sebagian masyarakat seperti melegalkan penggunaan kondom.
Padahal salah satu teknis pelaksanaan perda tersebut adalah menempatkan
beberapa titik untuk melegalkan penggunaan kondom. Muncul beberapa apresiasi
akibat pelegalan tersebut seperti melegalkan jinah.” (7/9) Tidak ada satu pun
UU yang melarang penggunaan kondom karena kondom bukan barang yang dilarang di
Indonesia. Tidak ada kaitan kegagalan perda-perda AIDS dengan kondom karena
dalam perda-perda AIDS itu penggunaan kondom untuk mencegahj penularan HIV
tidak disebutkan secara eksplisit.
Ada
satu hal yang selama ini dianggap sebagai kebenaran padahal hanya asumsi yaitu
‘kondom mendorong orang berzina’. Ini tidak akurat karena laki-laki yang sering
berganti-ganti pasangan di dalam atau di luar nikah justru enggan memakai
kondom. Inilah salah satu faktor yang mendorong penyebaran HIV/AIDS terus
terjadi. Alasannya bermacam-macam: hubungan seks tidak nikmat, repot, dll. Lagi
pula tentulah hal yang bodoh bagi seorang laki-laki yang sudah membayar ‘cewek’
dan hotel ratusan ribu rupiah tapi ketika melakukan hubungan seks penisnya
dibalut.
Kekeliruan
lain adalah cara pencegahan HIV melalui hubungan seks selalu mengedepankan
kondom. Padahal, mencegah penularan HIV melalui hubungan seks, di dalam dan di
luar nikah, adalah dengan cara jangan melakukan hubungan seks dengan orang yang
sudah tertular HIV (Odha yaitu Orang dengan HIV/AIDS). Persoalannya adalah
tidak bisa dikenali dengan mata telanjang siapa saja orang yang sudah tertular
HIV. Jika ini yang terjadi maka menghindarkan penularan HIV melalui hubungan
seks di dalam atau di luar nikah dengan seseorang yang tidak diketahui status
HIV-nya adalah menghindarkan penis bergesekan langsung dengan vagina. Soalnya,
dalam jumlah yang dapat ditularkan HIV terdapat dalam air mani dan cairan
vagina.
Pengenalan
seks sejak dini pun tidak akan banyak membantu pencegahan HIV kalau mterinya
tetap dibalut dengan moral dan agama. Hasilnya tetap nol besar. Untuk itulah
yang diperlukan adalah meningkatkan penyuluhan dengan materi KIE yang akurat
tanpa dibumbui dengan norma, moral, dan agama.
Berbekal
pengetahun yang akurat tentang HIV/AIDS maka masyarakat akan bisa melindungi
dirinya agar tidak tertular atau menularkan HIV kepada orang lain. ***
*
Penulis seorang pemerhati masalah HIV/AIDS, pengasuh rubrik “Konsultasi
HIV/AIDS” di Harian “Pontianak Post”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.