Tanggapan
terhadap berita HIV/AIDS di Harian “Media
Indonesia”
Oleh: Syaiful W. Harahap
[Sumber:
Newsletter ”InfoAIDS” edisi No. 6/April 2009]
“Dinkes Tangerang Intensifkan Pencarian
Penderita HIV/AIDS di Pelosok”, Harian “Media Indonesia”, 6 Agustus 2008. Judul berita ini
sensasional karena tidak berpijak pada fakta. Penderita HIV/AIDS tidak bisa
dicari dengan kasat mata karena tidak ada gejala, tanda dan ciri-ciri khas AIDS
pada fisik orang-orang yang sudah tertular HIV sebelum masa AIDS (secara
statistik antara 5-15 tahun setelah tertular HIV).
Disebutkan
“Operasi pencarian penderita HIV/AIDS mulai digelar ….” Ini menyesatkan karena
penderita HIV/AIDS tidak bisa dikenali dari fisiknya sehingga tidak mungkin
bisa dicari baik di masyarakat maupun di kalangan orang-orang yang perilakunya
berisiko tinggi tertular HIV.
Terkait
dengan epidemi HIV yang dilakukan bukan mencari penderita HIV/AIDS, tapi
mencari angka prevalensi yaitu perbandingan antara yang HIV-positif dengan yang
HIV-negatif pada satu kalangan tertentu dan pada kurun waktu yang tertentu
pula. Ini dikenal sebagai survailans. Angka prevalensi ini diperlukan untuk
menyusun strategi penangangan dan penanggulangan epidemi HIV.
Kasus-kasus
yang terdeteksi melalui survailans tidak menggambarkan fakta karena dilakukan
dengan rapid test tanpa konfirmasi. Standar prosedur tes HIV yang baku adalah
setiap hasil tes harus dikonfirmasi dengan tes lain.
Maka,
kasus-kasus HIV-positif yang terdeteksi melalui survailans belum tentu positif
karena bisa saja hasil tes itu positif atau negatif palsu. Contoh darah yang
terdeteksi HIV-positif bisa saja positif palsu. Artinya pemilik darah itu tidak
tertular HIV. Sebaliknya, yang terdeteksi HIV-negatif pun bisa pula negatif
palsu. Pemilik darah sebenanya sudah tertular HIV tapi tidak terdeteksi melalui
rapid test.
Hasil
positif dan negatif palsu bisa terjadi karena tes HIV hanya akurat kalau
infeksi HIV sudah terjadi lebih dari tiga bulan. Soalnya, pada kurun waktu
sejak tertular sampai tiga bulan, disebut masa jendela, tubuh belum memproduksi
antibodi HIV sehingga tes bisa negatif palsu karena belum ada antibodi HIV.
Yang dicari melalui rapid test atau tes ELISA bukan virus (HIV), tapi antibodi
HIV.
Disebutkan
pula “Petugas yang mendatangi lokasi untuk mengambil sampel darah dari beberapa
pekerja seks komersil …. “ Selain bias jender cara-cara ini pun kelak akan
mendorong masyarakat melakukan stigmatisasi (cap buruk) dan diskriminasi
terhadap orang-orang yang hidup dengan HIV/AIDS (Odha).
Terkait
dengan pekerja seks ada fakta yang hilang. Yang menularkan HIV kepada pekerja
seks adalah laki-laki yang dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami,
lajang atau duda. Laki-laki yang menularkan HIV kepada pekerja seks akan
menjadi mata rantai penyebaran HIV antar penduduk melalui (a) hubungan seks
tanpa kondom di dalam atau di luar nikah, (b) transfusi darah yang tidak
diskrining HIV, (c) jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo,
dan alat-alat kesehatan, dan (d) cangkok organ tubuh. Pekerja seks yang kelak terdeteksi
HIV-positif pun ada dua kemungkinan.
Pertama, pekerja seks
itu justru ditulari oleh penduduk lokal yang melakukan hubungan seks tanpa
kondom. Jika ini yang terjadi maka sudah ada kasus HIV di kalangan masyarakat
lokal tapi tidak terdeteksi.
Kedua, pekerja seks itu sudah tertular
HIVsebelum ‘praktek’ di Tangerang. Kalau ini yang terjadi maka penduduk lokal
yang melakukan hubungan seks dengan pekerja seks tanpa kondom akan berisiko
tinggi tertular HIV.
Dalam
berita disebutkan “Dinas Kesehatan Kabu-paten Tangerang dan lem-baga Global
Found mengintensifkan pencarian penderita HIV/AIDS di wilayah pelosok dan
terpencil yang belum diketahui.” Dalam prakteknya, seperti yang disebutkan
dalam berita, kasus HIV hanya dicari di kalangan pekerja seks.
Dalam
berita tidak dijelaskan mengapa terjadi peningkatan kasus HIV/AIDS di
Tangerang. Kasus HIV/AIDS tidak akan pernah berkurang karena laporannya
dilakukan secara kumulatif yaitu angka terus ditambah dengan kasus baru.
Pertambahan
jumlah kasus HIV/AIDS bisa terjadi karena kegiatan survailans yang tinggi,
jangkauan VCT yang luas, dan banyak kasus HIV-positif sudah mencapai masa AIDS
sehingga membutuhkan penanganan medis di rumah sakit. Banyak kasus HIV/AIDS
justru terdeteksi pada masa AIDS karena orang-orang yang sudah mencapai masa
AIDS mudah tertular penyakit dan sulit sembuh sehingga mereka memerlukan
pertolongan medis.
Jika di Tangerang kasus HIV dan AIDS
banyak terdeteksi pada masa AIDS maka hal itu menunjukkan telah terjadi
penyebaran HIV tanpa disadari oleh orang-orang yang terdeteksi HIV pada masa
sebelum dirnya mencapai AIDS.
Realitas
sosial ini sering tidak muncul ke permukaan sehingga banyak orang yang tidak
memahami epidemi HIV dengan benar. Orang-orang yang sudah tertular HIV pun
tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena selama ini informasi tentang
HIV/AIDS tidak akurat. Akibatnya, masyarakat hanya menangkap mitos (anggapan
yang salah atau keliru) tentang HIV/AIDS. Masyarakat hanya mengetahui HIV menular
karena pelacuran, narkoba dan homoseksual.
Ada
beberapa nama dan istilah tidak akurat, seperti: Lembaga Global Found (yang
benar adalah Global Fund). Ada pula disebutkan “…. tempat pengobatan Voluntary
Counceling Testing (VCT)”. Ini juga tidak pas karena VCT bukan tempat
pengobatan tapi tempat untuk menjalani tes secara sukarela dengan asas rahasia
bagi yang merasa dirinya berisiko tertular HIV. Yang lain ada rafid test yang
benar adalah rapid test. *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.