Oleh: Syaiful
W Harahap*
[Sumber:
Harian “Swara Kita“, Manado, 12 Mei 2008]
“HIV/AIDS,
Sejumlah Rumah Sakit Krisis Ketersediaan Obat.” Itulah judul
berita di sebuah harian Ibu Kota (12/4-2008). Takta ini menunjukkan ada
gelombang baru yang menghadang upaya penanggulangan epidemi HIV di Tanah Air.
Sekarang pemerintah pusat dan daerah dengan dukungan dana dana dari donor
cenderung mengutamakan pengobatan terhadap Odha. Terapi adalah penang-gula-ngan
di hilir, sedangkan pencegahan merupakan penanggulangan di hulu.
Walaupun
tidak menyembuhkan tapi kehadiran obat anti-retroviral (ARV) membawa berkah
bagi orang-orang yang tertular HIV yang telah mencapai masa AIDS (Odha-Orang
dengan HIV/AIDS). Obat ini berguna untuk menekan perkembangan HIV di dalam
darah sehingga kerusakan sel-sel darah putih dapat ditekan. Selain dapat
meningkatkan kualitas hidup para Odha obat ini pun secara tidak langsung menekan
penularan karena jumlah virus kian sedikit.
Pada
awalnya harga obat ini Rp 8 juta untuk konsusmi satu bulan. Belakangan berkat
regulasi pajak harga turun hingga Rp 800.000. Sekarang obat ini gratis karena
ada dana hibah dari donor luar negeri. Masalah yang lebih besar akan muncul
ketika tidak ada lagi donor. Jika dana untuk pengadaan ARV dialokasikan dari
APBN atau APBD tentulah akan menimbulkan persoalan baru karena anggaran
kesehatan yang terbatas. Dana yang besar juga diperlukan untuk menanggulangi
epidemi penyakit menular, seperti TB, flu burung, malaria, demam berdarah, dll.
Krisis
ketersediaan obat ARV ini meningkatkan resistensi terha-dap ARV karena
pemakaian obat terputus dan Odha pun tidak bisa lagi memakai obat sesuai dengan
anjuran. Jika terjadi resistensi terhadap ARV maka obat pun harus diganti. Ini
berdampak pula pada harga obat.
MENGUSUNG MITOS
Jika
pemerintah pusat dan daerah tetap memaksakan anggaran khusus untuk sektor
HIV/AIDS maka dikhawatirkan akan menim-bulkan gejolak karena mengesankan pemerintah
hanya memper-hatikan HIV/AIDS. Apalagi penyakit ini selalu dibenturkan dengan
norma, moral, dan agama sehingga ada anggapan penularan penyakit ini erat
kaitannya dengan perilaku (yang tidak baik).
Anggapan
di atas memang salah tapi tetap saja berkembang karena tidak ada upaya untuk
memupusnya. Belakangan ini ada gejala baru yaitu perlombaan membuat peraturan
daerah (perda) tentang penanggulangan AIDS. Perda AIDS sudah ada di beberapa
daerah al. provinsi (Bali, Jawa Timur, dan Riau), kabupaten (Merauke, Puncak
Jaya, Nabire) dan kota (Jayapura, Sorong, Palembang). Upaya penanggulangan
HIV/AIDS yang ditawarkan perda-perda itu tetap saja mengusung mitos.
Perda
AIDS Prov. Riau, misalnya, menyebutkan cara mencegah penularan HIV dengan
“meningkatkan iman dan taqwa”. Bagai-mana menakar kadar iman dan taqwa yang
bisa mencegah penularan HIV? Bagaimana pula iman dan taqwa mencegah penularan
HIV melalui transfusi darah? Hal ini juga akan menyuburkan stigma dan
diskriminasi karena ada anggapan orang-orang yang tertular HIV karena tidak
beriman dan tidak bertaqwa. Di perda lain disebutkan untuk mencegah penularan
HIV adalah jangan melakukan seks menyimpang, jangan melakukan hubungan seks
dengan yang bukan istri.
Dengan
11.141 kasus AIDS, diperkirakan sebagian besar sudah memakai obat ARV,
diperlukan banyak obat. Angka ini akan terus bertambah karena ada 6.066 kasus
HIV yang kelak akan mencapai masa AIDS. Kalangan ahli memperkirakan kasus
HIV/AIDS di Indonesia antara 90.000-130.000. Kalau diambil rata-rata maka ada
110.000 penduduk Indonesia yang akan memerlukan obat ARV dan perawatan serta
pengobatan di rumah sakit.
Angka
di atas akan terus bertambah karena banyak orang yang tidak menyadari
perilakunya berisiko tinggi tertular HIV. Mata rantai penyebaran HIV secara
horizontal antar penduduk dilakukan oleh laki-laki dan perempuan: (a) yang
sering atau pernah melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar
nikah dengan pasangan yang berganti-ganti karena ada kemungkinan salah satu
dari pasangan itu HIV-positif, (b) yang sering atau pernah melakukan hubungan
seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan seseorang yang sering
berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks, karena ada kemungkinan salah
satu dari pekerja seks itu HIV-positif.
PENULARAN DIAM-DIAM
Dengan
kasus AIDS yang dilaporkan saja yaitu 11.141 dana untuk membeli ARV setiap
bulan mencapai Rp 8.912.800.000 dengan catatan harga Rp 800.000. Jika kasus
pada angka 110.000 maka dana yang diperlukan mencapai Rp 88 miliar per bulan.
Angka itu belum termasuk biaya pengobatan (obat, dokter, dan rumah sakit) untuk
penyakit-penyakit infeksi oportunistik yang muncul pada masa AIDS. Bagi yang
mampu tidak ada masalah, namun bagi yang tidak mampu tentulah akan menjadi
beban. Kalau kemudian pemerintah mengatasinya dengan asuransi kesehatan untuk
rakyat miskin maka dana yang diperkukan untuk mengobati Odha pun akan
membengkak pula.
HIV/AIDS
merupakan epidemi yang harus ditanggulangi karena terkait dengan kesehatan
masyarakat maka semua Odha mem-peroleh ARV gratis. Untuk jangka panjang perlu
dipikirkan untuk menerapkan subsidi silang karena jika tidak ada lagi dana
hibah dari donor tentulah pemerintah akan kelabakan menyediakan biaya untuk
pembelian obat ARV.
Pemberian
ARV merupakan upaya penanggulangan di sek-tor hilir. Karena penularan HIV
terjadi secara diam-diam tanpa disada-ri maka kasus penularan HIV akan terus
bertambah. Ini terjadi karena banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah
tertular HIV karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik. Akibatnya,
mereka pun menularkan HIV kepada orang lain tanpa mereka sadari. Antara lain
melalui hubungan seks tanpa kodom di dalam dan di luar nikah, serta melalui
jarum suntik yang dipakai bergantian pada pe-nyalahguna narkoba (narkotik dan
bahan-bahan berbahaya). Ada pula yang menularkan HIV kepada pekerja seks.
Pekerja seks yang tertular kemudian menularkan HIV kepada laki-laki yang datang
mengencaninya tanpa memakai kondom.
Banyak
kasus HIV/AIDS di Indonesia terdeteksi sudah pada masa AIDS. Ini menunjukkan
sebelum terdeteksi mereka sudah menularkan HIV kepada orang lain yaitu pada
kurun waktu antara 5-10 sejak mereka tertular HIV. Inilah mata rantai
penyebaran HIV yang merupakan sektor hilir pada epidemi HIV. Tapi, hal ini
tidak menjadi perhatian utama dalam penanggulangan HIV/AIDS saat ini. Penduduk
yang sudah tertular HIV tapi tidak terdeteksi akan menjadi mata rantai
penyebaran HIV.
Kalau
di sektor hilir tidak ada upaya yang konkret untuk mencegah penularan HIV maka
kasus AIDS akan terus bertambah. Ini artinya beban pemerintah untuk menyediakan
obat ARV gratis pun akan melon-jak pula. Pengeluaran masyarakat untuk berobat,
khususnya keluarga Odha, pun meningkat pula karena pada masa AIDS Odha akan
memerlukan pengobatan dan perawatan di rumah sakit. Kelak kalau dana hibah dari
donor asing tidak ada lagi maka APBN dan APBD pun akan digerogoti untuk membeli
atau menyubsidi ARV dan memberikan dana bantuan pengobatan bagi pasien Odha
yang miskin.
Akankah
kita menunggu kondisi itu atau sejak hari ini kita menyingsingkan lengan baju
menyebarluaskan informasi yang akurat tentang HIV/AIDS agar masyarakat bisa
melindingi diri secara aktif agar tidak tertular HIV. Pilihan ada di tangan
kita. (*Penulis adalah Pemerhati masalah HIV/AIDS dan direktur eksekutif LSM
media watch InfoKespro Jakarta).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.