Oleh:
Syaiful W. Harahap
[Pemerhati berita HIV/AIDS di media massa melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta]
[Pemerhati berita HIV/AIDS di media massa melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta]
Biar
pun
perjalanan epidemi HIV di Indonesia sudah memasuki tahun ke 22 tapi persoalan
yang dalam menanggulangi HIV/AIDS tetap jalan di tempat bahkan bisa dikatakan
mundur. Ini dapat dilihat dari penolakan terhadap kondom dan harm reduction
sebagai salah satu upaya untuk menanggulangi HIV/AIDS. Kasus HIV/AIDS di
Indonesia termasuk yang tercepat di Asia.
Ketika
di beberapa kawasan infeksi HIV di kalangan dewasa mulai menunjukkan grafik
yang mendatar di Indonesia justru sebaliknya. Kasus-kasus HIV dan AIDS baru
terus terdeteksi. Sampai Maret 2009 sudah dilaporkan 6.668 kasus HIV dan 16.964
kasus AIDS dengan 3.492 kematian.
Pertambahan
kasus yang cepat membuat banyak kepala daerah kalang kabut. Tanggapan yang
muncul pun tidak lagi realistis sebagai upaya nyata penanggulangan AIDS. Yang
terjadi adalah perlombaan membuat peraturan darah, dikenal sebagai Perda. Sampai
Desember 2008 sudah 21 daerah mulai dari provinsi, kabupaten dan kota yang
membuat Perda penanggulangan AIDS.
Semua
Perda itu hanya mengedepankan norma, moral, dan agama sebagai cara untuk
mencegah penularan HIV. Tentu saja ini tidak akan berhasil karena penularan HIV
sama sekali tidak terkait langsung dengan moral.
Hal
lain yang diatur dalam Perda adalah penggunaan kondom. Sebagian besar Perda
tidak menyebut kondom tapi hanya menyebut ‘alat pengaman”. Lagi-lagi ini
mengesankan moralitas masuk ke ranah empiris sehingga penanggulangan epidemi
HIV tidak menggambarkan fakta medis.
Pengabaian
kata ‘kondom’ dalam Perda AIDS itu merupakan eufemisme sebagai jalan tengah
untuk meredam penolakan besar-besaran terhadap kondom.
Tapi,
mengapa terjadi penolakan terhadap kondom?
Ya,
itu terjadi karena Indonesia mengekor ke Thailand yang disebut-sebut berhasil
menekan kasus infeksi baru di kalanga dewasa. Perda yang dihasilkan pun mengacu
ke ‘program kondom 100 persen’ yang dikembangkan Thailand.
Ternyata
ada salah kaprah. ‘Program kondom 100 persen’ di Thailand merupakan bagian
terakhir dari serangkaian program. Maka, tidak mengherankan kalau kondom di
tentang karena Indonesia mulai dari ekor sehingga menjadi ‘pengekor’ dari
program penanggulangan Thailand.
Penanggulangan
AIDS secara nasional di Thailand merupakan suatu program terpadu. Program itu
jelas efektif karena dimulai dari pendidikan terhadap masyarakat luas melalui
media massa tentang upaya yang dilakukan. Dengan cara ini masyarakat di Negeri
Gajah Putih itu memahami penggunaan kondom sebagai bagian dari suatu program
terpadu.
Berbeda dengan Indonesia. Masyarakat
belum dididik dalam menghapadi epidemi HIV sebagai fakta medis, tapi mereka
sudah dicekoki dengan kondom yang selama ini selalu dikait-kaitkan dengan
moral. Akibatnya, terjadi penolakan besar-besaran terhadap kondom dari berbagai
kalangan karena mereka menganggap kondom sebagai alat yang bisa mendorong orang
melakukan zina.
Pemahaman
masyarakat terhadap HIV/AIDS sebagai fakta medis tidak komprehensif karena yang
menjadi sumber adalah media massa. Celakanya, selama ini berita HIV/AIDS di
media massa nasional tidak akurat karena dibalut dengan norma, moral, dan agama
sehingga masyarakat tidak menangkap makna dalam fakta empiris. Yang muncul dari
berita itu hanya mitos yaitu anggapan yang salah.
Celakanya,
banyak narasumber berita, termasuk kalangan medis dan pejabat, pun selalu
mengedepankan moral ketika memberikan keterangan kepada wartawan tentang
HIV/AIDS.
Selama program penanggulangan tidak
dilakukan secara terpadu maka penolakan akan terus terjadi karena masyarakat
tidak memahaminya sebagai suatu langkah yang saling terkait.
Berbagai kegiatan hanya dilakukan secara
sporadis. Banyak daerah yang tidak menjalankan program penanggulangan secara
terpadu. Mereka menganggap dengan membuat Perda masalah AIDS sudah selesai.
Penanggulangan
yang ditawarkan dalam Perda-perda AIDS itu pun paradoks karena bertentangan
dengan kenyataan. Ada pasal yang menyebutkan pencegahan dengan memakai kondom
pada hubungan seks berisiko, tapi di pasal lain ada pula larangan untuk
menyediakan industri seks.
‘Program
kondom 100 persen’ tidak akan jalan di Indonesia karena tidak ada lokalisasi
pelacuran atau rumah bordir. Hampir semua daerah di Indonesia sudah menutup
lokalisasi pelacuran. Karena tidak ada lokalisasi pelacuran atau rumah maka
program itu tidak bisa dijalankan.
Itulah
yang merupakan pradoks dalam penanggulangan epidemi HIV yang ditawarkan melalui
Perda AIDS. Pemakaian kondom dan ‘alat pengaman’ pada hubungan seks berisiko
diwajibkan, tapi tempat untuk melakukan hubungan seks berisiko ditutup.
Satu
hal yang luput dari rangkaian ‘program 100 persen kondom’ adalah penyidikan
terhadap kegiatan itu. Yang dilakukan di Thailand adalah melakukan survailans
infeksi menular seksual terhadap pekerja seks yang ada di lokalisasi atau rumah
bordir. Jika ada pekerja seks yang terdeteksi mengidap IMS maka germonya
ditindak karena itu menunjukkan ada pekerja seks yang tidak memakai kondom. Ini
relistis.
Di
Indonesia justru yang diatur dalam Perda-perda AIDS itu adalah ancaman hukuman
bagi orang yang sengaja menularkan HIV. Ini ngawur karena fakta menunjukkan
lebih dari 90 persen penularan HIV terjadi tanpa disadari karena banyak orang
yang tertular HIV tidak menyadari dirinya sudah mengidap HIV.
Selain
itu ancaman hukuman pada Perda pun tidak boleh lebih dari enam bulan. Ini jauh
dari ancaman hukuman dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Sebuah
provinsi, misalnya, membuat perda ‘anti maksiat’. Bayangkan, kalau seorang
pengacara yang piawai membawa kasus perkosaan yang didakawakan kepada kliennya
dia bawa ke perbuatan maksiat maka ancaman hukumannya hanya enam bulan.
Selama
masyarakat tidak dididik secara komprehensif tentang upaya penanggulangan
epidemi HIV yang akurat maka selama itu pula akan terjadi penolakan terhadap
kondom. Ini terjadi karena masyarakat tidak memahami program penanggulangan
yang terpadu. ***\
Catatan:
artikel ini pernah dimuat di https://aidsmediawatch.wordpress.com/2009/07/16/penanggulangan-aids-di-indonesia-%E2%80%98jalan-di-tempat%E2%80%99/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.