Tanggapan
terhadap berita HIV/AIDS di Harian “Lampu Hijau”
Oleh: Syaiful
W. Harahap
[Pemerhati berita HIV/AIDS di media
massa melalui LSM (media watch) “InfoKespro”, Jakarta]
Berita “Katanya Kota
Bebas Pelacuran, Tangerang Kok Jadi Sarang AIDS, 3 Pelacur, 1 Bencong Positif
HIV (Kumaha Atuh pak Wali …..?)” yang dimuat Harian “Lampu
Hijau” tanggal 12 Juni 2009 menunjukkan pemahaman yang sangat dangkal
terhadap HIV/AIDS.
Pertama, tidak ada
kaitan langsung antara pelacuran dengan penularan HIV. Risiko penularan HIV
melalui hubungan seks (bisa) terjadi di dalam atau di luar nikah kalau salah
satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom
setiap kali sanggama.
Kedua, yang
menularkan HIV kepada pekerja seks justru penduduk lokal dan pendatang yang
sehari-hari bisa sebagai suami, pacar, selingkuhan, remaja, atau duda.
Selanjutnya kalau laki-laki penduduk lokal yang melakukan hubungan seks tanpa
kondom dengan ada pekerja seks yang tertular HIV maka laki-laki ini pun
berisiko tertular HIV. Maka, yang menjadi mata rantai penyebaran HIV antar
penduduk adalah laki-laki bukan pekerja seks.
Ketiga, biar pun tidak
ada pelacuaran, seperti di Tangerang, tapi praktek-praktek hubungan seks yang
berisiko tertular HIV tetap ada. Bisa terjadi di rumah, kos-kosan, losmen,
hotel melati dan hotel berbintang, di alam terbuka, dll. Perilaku berisiko
tinggi tertular HIV adalah: (a) melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam
atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti (risiko terjadi karena
ada kemungkinan salah satu dari mereka HIV-positif), (b) melakukan hubungan
seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan seseorang yang sering
berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks, perempuan panggilan, pelacur
kelas atas, waria pekerja seks, ‘siswa atau mahasiswi’ yang menjadi pekerja
seks, dll. (risiko terjadi karena ada kemungkinan salah satu dari mereka
HIV-positif).
Keempat, di
negara-negara yang menjadikan kita suci sebagai UUD sehingga secara de
facto dan de jure tidak ada pelacuran tetap saja
ada kasus HIV/AIDS yang dilaporkan. Arab Saudi, misalnya, sudah melaporkan
lebih dari 10.000 kasus HIV/AIDS. Ini bisa terjadi karena penduduk negara itu
melakukan hubungan seks berisiko dengan pendatang atau di luar negeranya. Yang
tertular akan menjadi mata rantai penyebaran HIV di negaranya.
Hal
yang sama bisa terjadi di Tangerang. Biar pun tidak ada pelacuran tapi bisa
saja penduduk Tangerang melakukan perilaku berisiko tertular HIV di luar
Tangerang atau di luar negeri. Penduduk Tangerang yang tertular HIV di luar
kota akan menjadi mata rantai penyebaran HIV di Tangerang melalui (a) hubungan
seks tanpa kodom di dalam atau di luar nikah, (b) transfusi darah, (c) jarum
suntik, jarum tindik, dll., (d) cangkok organ tubuh, (e) air susu ibu/ASI
(perempuan).
Dalam
berita disebut “ ….. ditemukan empat pengidap AIDS“. Ini tidak akurat karena
tes HIV bukan menemukan penderita AIDS tapi orang-orang yang sudah tertular
HIV. Patus pula dipertanyakan apa jenis tes HIV yang dilakukan terhadap pekerja
seks yang tertangkap. Kalau yang dipakai hanya rapid test dengan ELISA maka
hasil tes itu belum akurat karena standar prosedur operasi tes HIV yang baku
mengharuskan setiap hasil tes diuji lagi dengan tes lain. Tes HIV kepada
pekerja seks hanya untuk menentukan angka prevalensi dalam kaitannya dengan
epidemi.
Jika
informasi tertang HIV tidak akurat maka inilah yang justru akan menyuburkan
epidemi HIV. Soalnya, banyak orang yang tidak memahami cara-cara penularna dan
pencegahan HIV yang akurat. Jika penanganan HIV/AIDS tidak komprehensif maka
kita tinggal menunggu ‘bom waktu’ ledakan kasus AIDS. Pada gilirannya kondisi
itu kelak akan menguras APBD untuk biaya pengobatan dan perawatan penduduk yang
sakit karena penyakit yang terkait AIDS.
Sampai
saat ini sudah ada 28 daerah mulai dari tingkat provinsi, kabupaten dan kota
yang menelurkan Perda Penanggulangan AIDS. Tapi, semuanya tidak menyentuh akar
persoalan epidemi HIV karena cara-cara pencegahan yang ditawarkan hanya dari
aspek norma, moral, dan agama. Akibatnya, kasus-kasus infeksi HIV baru tetap
saja terjadi karena masyarakat tidak mengetahui cara pencegahan yang realistis.
Teknologi kedokteran bisa dipakai untuk mencegah penularan HIV.
Jika
ingin membuat Perda yang bisa menanggulangi penyebaran HIV maka pasal yang
perlu ada adalah “Setiap penduduk, laki-laki dan perempuan, diwajibkan memakai
kondom jika melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan pasangan
yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti
pasangan.” Lalu pasal berikutnya berbunyk ““Setiap penduduk, laki-laki dan
perempuan, yang pernah atau sering melakukan hubungan seks tanpa kondom di
dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan
seseorang yang sering berganti-ganti pasangan diwajibkan menjalani tes HIV.”
***
Catatan:
pernah dimuat di https://aidsmediawatch.wordpress.com/2009/07/20/pemahaman-aids-yang-tidak-akurat/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.