Oleh: Syaiful
W. Harahap
[Pemerhati Masalah HIV/AIDS dan Penulis Buku “Pers
Meliput AIDS“] dan “Kapan Anda Harus Tes HIV“]
Epidemi HIV membawa dampak langsung terhadap
kehidupan. Orang tua yang tertular HIV akan meninggalkan anak-anaknya sebagai
anak yatim-piatu, baik karena kematian maupun karena ditelantarkan. Lebih dari
90% infeksi HIV pada anak-anak tertular dari ibunya
(mother-to-child-transmission/MTCT). Setiap tahun diperkirakan hampir 600.000
bayi, atau lebih dari 1.600 setiap hari, lahir dari ibu yang HIV-postif.
Sejak awal epidemi tahun 1981 sampai akhir 2001
HIV/AIDS sudah ‘meninggalkan’ 14 juta anak-anak yatim-piatu di
bawah usia 15 tahun di seluruh dunia karena kehilangan ibu atau ayah atau
kedua-duanya yang meninggal karena terkait AIDS. Diperkirakan 80% (11 juta)
dari anak-anak yatim-piatu ini terdapat di Afrika sub-Sahara, sedangkan di Asia
Selatan dan Asia Tenggara diperkirakan ada 1,8 juta anak yatim-piatu, di Asia
Timur dan Pasifik 85.000.
Angka-angka ini akan terus bertambah karena kalau
salah satu orang tuanya tertular HIV maka kemungkinan besar yang satu lagi akan
terinfeksi karena sering terjadi mereka tidak menyadari dirinya tertular HIV
sehingga tetap melakukan hubungan seks yang tidak aman (tidak memakai kondom).
Sebelum epidemi HIV hanya 2% anak-anak di dunia
berkembang yang menjadi anak yatim-piatu. Tetapi, sejak epidemi HIV proporsi
anak yang hanya beribu atau berayah menanjak sampai 7% di beberapa negara di
Afrika, bahkan beberapa kasus menunjukkan peningkatan sampai 11%.
Epidemi HIV di banyak negara membuat semakin banyak
anak-anak yang menjadi yatim piatu. Di kawasan pedesaan di Afrika timur empat
dari sepuluh anak-anak yang kehilangan orang tua karena AIDS menjadi anak yatim
sebelum usia 15 tahun. Tahun 1997 saja sekitar 1,6 juta anak-anak di dunia
menjadi yatim piatu karena salah satu atau kedua orang tuanya meninggal karena
AIDS. Hampir 90% di antaranya terdapat di Afrika sub-Sahara.
Wanita Hamil
Sejak awal epidemi HIV diperkirakan 3,8 juta anak-anak
meninggal karena AIDS sebelum mencapai usia 15 tahun. Tahun 1999 saja
diperkirakan setengah juta anak-anak meninggal karena AIDS. Sekitar 1,3 juta
anak-anak yang lain saat ini hidup dengan HIV/AIDS dan sebagian besar di antara
mereka diperkirakan akan meninggal dunia sebelum mencapai usia remaja.
Sampai akhir 2001 jumlah kumulatif wanita yang
terinfeksi HIV secara global mencapai 18,5 juta, hampir 5 juta di antaranya
sudah meninggal karena AIDS. Dari jumlah itu 90% hidup di negara berkembang.
Peningkatan kasus infeksi HIV pada wanita tidak hanya terjadi di negara
berkembang tetapi juga terjadi di negara maju. Di Prancis, misalnya, kasus AIDS
pada wanita meningkat dari 12% pada tahun 1985 menjadi 20 persen pada sepuluh
tahun belakangan ini.
Di Spanyol meningkat dari 7% menjadi 19% pada kurun
waktu yang sama. Sedangkan di Brazil naik dari 1% pada tahun 1984 menjadi 25%
pada kurun waktu sepuluh tahun belakangan ini. Di India infeksi HIV di
kalangan wanita yang semula terjadi pada pekerja seks dan pengguna narkoba
suntikan tetapi belakangan ini penularan HIV kepada wanita justru terjadi pada
masyarakat umum. Lebih dari 1% wanita hamil di negara ini HIV-positif. Di
Afrika lebih dari 70% kematian wanita berusia antara 20-44 tahun disebabkan
AIDS.
Di Indonesia sendiri hasil surveilans terhadap wanita
bersuami menunjukkan dari 3.914 sampel yang diteliti di berbagai pusat
pelayanan kesehatan di 13 provinsi ditemukan 27 ibu rumah tangga yang
HIV-positif. Penelitian Yayasan Pelita Ilmu (YPI) Jakarta, terhadap 537
wanita hamil melalui tes sukarela dengan konseling di Jakarta (2000) juga
menunjukkan 6 HIV-positif. Surveilans terhadap wanita hamil di Riau (1998/1999)
menunjukkan angka HIV-positif 0,35%. Sedangkan dalam laporan kasus kumulatif
HIV/AIDS yang dikeluarkan Ditjen PPM&PL Depkes tanggal 2 Oktober 2001
menunjukkan sejak awal epidemi (1987) sampai tanggal 30 September 2001 tercatat
793 kasus HIV/AIDS yang terdiri atas 660 HIV dan 133 AIDS, serta tujuh di antaranya
di kalangan pengguna narkoba suntikan (injecting drug user/IDU). Di
Malaysia dan Brunei Darussalam wanita hamil menjadi salah satu target populasi
skrining rutin surveilans HIV.
Peningkatan jumlah wanita yang HIV-positif yang
terikat dalam pernikahan yang sah ini tentu saja akan menambah jumlah anak
yatim-piatu. Karena wanita-wanita yang bersuami itu tidak mempunyai pasangan
seks lain atau tidak pengguna narkoba tentulah mereka tertular dari suaminya.
Tetapi, sering terjadi suami mereka menyangkalnya. Jangankan untuk kasus
HIV/AIDS, kasus-kasus infeksi menular seksual (IMS) seperti GO, sifilis,
dll. pada wanita bersuami pun sering menimbulkan persoalan karena suami-suami
mereka juga menyangkal sebagai sumber IMS yang mereka idap. Dalam berbagai kasus
jika istri mengatakan hal itu kepada suaminya maka mereka pun akan mendapat
perlakuan kasar dari suaminya. Jalan tengah yang sering diambil dokter adalah
tidak menyebutkan IMS tetapi hanya mengatakan infeksi saluran reproduksi.
Di satu sisi hal ini menyelamatkan keluarga itu
dari pertengkaran dan perceraian tetapi di sisi lain suami-suami mereka tidak
akan pernah menyadari risiko yang mereka hadapi kalau melakukan kegiatan
berisiko. Kegiatan berisiko tertular HIV dan IMS adalah:
(1) menghindari hubungan seks (sanggama)
penetrasi (penis dimasukkan ke dalam vagina) baik heteroseks (laki-laki dengan
perempuan), biseks (laki-laki dengan perempuan dan dengan
laki-laki), seks oral dan seks anal tanpa kondom dengan pasangan yang
berganti-ganti di dalam atau di luar pernikahan yang sah, serta hubungan seks
anal dan seks oral pada homoseks (laki-laki dengan laki-laki) yang tidak aman;
(2) menghindari hubungan seks (sanggama) penetrasi
(penis dimasukkan ke dalam vagina) baik heteroseks (laki-laki dengan
perempuan), biseks (laki-laki dengan perempuan dan dengan laki-laki),
seks oral dan seks anal tanpa kondom dengan seseorang yang suka berganti-ganti
pasangan di dalam atau di luar pernikahan yang sah;
(3) menghindari transfusi darah; dan
(4) menghindari pemakaian jarum suntik dan semprit
secara bersama-sama dengan bergiliran dan bergantian.
Pendidikan dan
Keterampilan
Berkaitan dengan anak yatim yang ditinggal mati atau
ditinggalkan orang tuanya karena AIDS sudah menjadi masalah
pelik di Malaysia. Departemen Kesehatan menolak menanganinya karena
anak-anak itu tidak sakit. Artinya biar pun anak-anak itu HIV-positif tetapi
tidak ada gejala-gejala penyakit sehingga tidak ada alasan bagi Departemen
Kesehatan untuk menanganinya. Sebaliknya, Departemen Sosial juga lepas tangan
karena anak-anak itu bukan korban bencana alam.
Anak yatim-piatu di Malaysia juga terjadi karena orang
tua mereka yang HIV-positif meninggalkan desanya karena dikucilkan
masyarakat. Mereka pindah ke kota agar tidak dikenali orang lain. Tetapi, di
kota mereka justru sering pula menghadapi masalah baru. Kalau mereka berobat ke
rumah sakit pihak rumah sakit meminta kartu identitas. Mereka enggan
memberikannya karena takut dikenali.
Yayasan AIDS Malaysia, yang diketuai oleh Datin
Marina Mahatir, sudah merancang program untuk menangani anak-anak yatim-piatu
yang terlantar. Selain itu Marina pun akan mendorong pemerintahnya agar
menyediakan dana khusus untuk menangani anak-anak yatim-piatu. Karena hal yang
sama bisa terjadi di Indonesia maka sudah selayaknya kalau ada pihak yang
memikirkan hal tersebut.
Hal lain yang akan muncul kelak adalah penolakan
terhadap anak-anak yatim-piatu tersebut di masyarakat karena masyarakat
menganggap mereka otomatis HIV-positif karena orang tuanya HIV-positif. Ada
kemungkinan mereka akan ditolak bersekolah. Sampai tanggal 30 September 2002
tercatat 4 kasus AIDS pada anak-anak di bawah usia 15 tahun. Ini menjadi
pekerjaan rumah bagi Departemen Pendidikan Nasional sebelum terjadi penolakan
oleh sekolah terhadap anak-anak yang HIV-positif. Dalam Konvensi Hak-hak
Anak–UNICEF, yang sudah diratifikasi Indonesia, pendidikan dasar merupakan hak
anak.
Studi terhadap 646 anak yatim terkait AIDS dan 1.239
anak yang tidak yatim di Kenya, Afrika, akhir tahun 1990-an, Afrika,
menunjukkan 52% anak yatim terkait AIDS tidak bersekolah sedangkan anak yang
tidak yatim hanya 2% yang tidak bersekolah. Selain itu 56% anak perempuan dan
47% anak laki-laki putus sekolah setelah 12 bulan kematian orang tuanya.
Untuk mengatasi nasib anak-anak yang yatim-piatu
karena AIDS itu diperlukan upaya-upaya yang nyata seperti menghilangkan stigma
(cap buruk) dan diskriminasi (pengucilan), memberikan pendidikan dan
keterampilan agar kelak mereka tidak menjadi beban orang lain. Jika mereka
tidak dibekali dengan keterampilan yang bisa menghasilkan nafkah maka anak-anak
itu pun bisa menjadi korban eksploitasi seks, dilacurkan dan diperdagangkan.
***
Catatan:
pernah dimuat di https://aidsmediawatch.wordpress.com/2009/08/22/nasib-anak-anak-yang-menjadi-yatim-piatu-karena-aids/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.