Tanggapan
terhadap berita HIV/AIDS di Harian “WAWASAN” Semarang
Oleh: Syaiful
W. Harahap
[Pemerhati berita HIV/AIDS di media
massa melalui LSM (media watch) “InfoKespro” Jakarta]
Berita “Empat penderita AIDS meninggal” di Harian “WAWASAN”
Semarang edisi 1 Oktober 2007 menunjukkan pembahasan HIV/AIDS masih saja
berkutat seputar moral. Akibatnya, informasi tentang HIV/AIDS hanya
mengnasilkan mitos (anggapan yang salah). Padahal, HIV/AIDS adalah fakta medis.
Disebut
fakta medis karena HIV/AIDS dapat diuji di laboratorium dengan teknologi
kedokteran. Maka, pencegahannya pun dapat dilakukan dengan cara-cara yang
realistis berdasarkan teknologi kedokteran. Tapi, karena selama ini materi KIE
(komunikasi, informasi, dan edukasi) tentang HIV/AIDS dibalut dengan norma,
moral, dan agama maka yang muncul hanya mitos sehingga masyarakat tidak
mengetahui cara-cara penularan dan pencegahan HIV.
Dalam
berita disebutkan “Selain itu para pemuda hendaknya jangan melakukan hubungan
seks sebelum menikah dan jangan berganti-ganti pasangan seks.” Ini jelas mitos
karena tidak ada kaitan penularan HIV dengan hubungan seks sebelum menikah.
Apakah kalau sudah menikah tidak akan tertular HIV melalui hubungan seks?
Apakah hanya pemuda yang berisiko tertular HIV kalau berganti-ganti pasangan?
Penularan
HIV melalui hubungan seks bisa terjadi di dalam atau di luar nikah (sifat
hubungan seks) kalau salah satu atau dua-dua pasangan itu HIV-positif dan
laki-laki tidak memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seks. Ini fakta.
Sebaliknya, kalau dua-dua HIV-negatif (kondisi hubungan seks) maka tidak ada
risiko penularan HIV melalui hubungan seks biar pun mereka melakukan hubungan
seks itu sebagai zina, melacur, jajan, selingkuh, sebelum menikah, seks oral
dan seks anal, serta homoseksual. Ini pun fakta. Maka, penularan HIV melalui
hubungan seks tergantung kepada kondisi hubungan seks bukan sifat hubungan
seks.
Disebutkan
“ …. melakukan berbagai langkah untuk mencegah penularan penyakit mematikan
tersebut“. Ini tidak akurat karena yang mematikan bukan HIV/AIDS tapi penyakit
yang menyerang pada masa AIDS (antara 5 – 10 tahun setelah tertular HIV).
Seseorang yang sudah mencapai masa AIDS akan mudah tertular penyakit, disebut
infeksi oportunistik, karena sistem kekebalan tubuhnya sudah dirusak HIV.
Langkah
untuk mencegah penularan HIV disebutkan antara lain “ …. lewat sosialisasi dan
zero survey pada kalangan resiko tinggi terjangkit penyakit ini, yakni kalangan
narapidana (napi) dan PSK”. Ini juga terjadi karena pemahaman yang tidak
komprehensif terhadap HIV/AIDS.
Yang
menularkan HIV kepada PSK adalah laki-laki yang dalam kehidupan sehari-hari
bisa sebagai seorang suami, pacar, lajang, remaja, atau duda yang bekerja
sebagai pegawai, karyawan, sopir, pedagang, mahasiswa, pelajar, perampok, dll.
Mereka inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal. Begitu
pula dengan laki-laki yang kemudian mengencani PSK yang sudah tertular HIV maka
kalau laki-laki ini tertular maka mereka pun akan menjadi mata rantai
penyebaran HIV pula. Fakta inilah yang selama ini tidak dikemukakan sehingga
orang hanya melihat PSK sebagai biang keladi penyebaran HIV.
Penyuluhan
terhadap PSK tentang pemakaian kondom bagi pelanggannya pun hasilnya nol besar
karena PSK tidak mempunyai posisi tawar yang kuat. Pelanggannya akan mencari
PSK yang tidak memaksa memakai kondom, atau pelanggan mendatangi germo sehingga
PSK terpaksa mengalah meladeni ‘hidung belang’ yang tidak mau memakai kondom
ketika sanggama.
Survailans
tes HIV pada kalangan tertentu dan pada kurun waktu yang tertentu untuk
mendapatkan angka prevalensi (perbandingan antara yang HIV-positif dan
HIV-negatif) juga tidak banyak artinya kalau tidak dijabarkan secara
komprehensif. Selama ini survailans di kalangan PSK hanya sebatas publikasi
angka kasus HIV. Padahal, angka kasus HIV di kalangan PSK merupakan refleksi
dari kasus HIV di masyarakat karena PSK tertular HIV dari laki-laki yang
merupakan bagian dari masyarakat.
Angka-angka
kasus HIV/AIDS hanyalah sebagian kecil dari kasus yang sebenarnya. Epidemi
HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunug es. Yang muncul di permukaan
hanya puncak dari gunung es (kasus HIV/AIDS yang terdeteksi), sedangkan bagian
terbesar justru di dalam air laut (kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi di
masyarakat).
Kalau
ingin mendapatkan angka kasus HIV yang mendekati kenyataan maka perlu dilakukan
survailans tes HIV rutin. Misalnya, terhadap perempuan hamil dan pengidap
penyakit IMS (sifilis, GO, dll) karena mereka ini melakukan hubungan seks.
Perempuan hamil dengan suaminya. Nah, kalau ada perempuan hamil terdeteksi
HIV-positif maka kemungkinan besar dia ditulari oleh suaminya jika statusnya
menikah. Pasien IMS juga jelas terular melalui hubungan seks. Kalau orang yang
menularkan IMS itu juga HIV-positif maka ada kemungkinan terjadi penularan IMS
dan HIV secara bersamaan.
Ada
fakta yang luput dari perhatian yaitu kasus kematian pada Odha (Orang dengan
HIV/AIDS). Odha yang meninggal tentu saja sudah tertular HIV antara 5 – 10
tahun sebelumnya. Selama kurun waktu itu mereka tidak menyadari dirinya sudah
tertular HIV karena tidak ada tanda, gejala, atau ciri-ciri yang khas AIDS pada
fisik mereka. Tapi, pada rentang waktu itu mereka sudah bisa menularkan HIV
kepada orang lain tanpa mereka sadari melalui: (a) hubungan seks tanpa kondom
di dalam dan di luar nikah, (b) transfusi darah, jarum suntik, jarum tindik,
jarum akupunktur, jarum tattoo, alat-alat kesehatan, dan cangkok organ tubuh,
(c) air susu ibu pada proses menyusui. Yang ditulari pun tidak menyadari
dirinya sudah tertular HIV karena juga tidak ada tanda-tanda yang khas pada
diri seseorang ketika tertular HIV.
Sebelum
meninggal empat Odha itu paling tidak sudah menularkan HIV kepada istrinya,
kalau mereka laki-laki dan mempunyai istri. Kalau di antara mereka ada pula
yang sering ke lokalisasi pelacuran tentulah mereka menularkan HIV kepada PSK.
Sedangkan PSK yang terdeteksi HIV-positif sudah meladeni banyak laki-laki.
Semua laki-laki ini berisiko tertular HIV.
Dari
paparan di atas jelas bahwa HIV/AIDS adalah fakta medis yang dapat
ditanggulangi dengan cara-cara yang realistis. Tapi, karena selama ini yang
diketahui masyarakat tentang HIV/AIDS hanya sebatas mitos maka banyak orang
yang tidak menyadari perilakunya berisiko tertular HIV.
Seseorang
(laki-laki dan perempuan) berisiko tinggi tertular HIV jika dia pernah
melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan
pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering bergani-ganti
pasangan, seperti PSK.
Maka,
bagi yang pernah melakukan hal di atas dianjurkan untuk menjalani tes HIV
sukarela. Dengan mengetahui status HIV maka seseorang dapat diajak untuk
memutus mata rantai penularan HIV mulai dari dirinya. Mereka dianjurkan untuk
selalu memakai kondom jika melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah.
***
Catatan:
pernah dimuat di https://aidsmediawatch.wordpress.com/2009/07/16/moralitas-aids-menyuburkan-mitos/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.