10 Juli 2017

Mitos dan Stigma dalam Informasi Narkoba

Oleh Syaiful W. Harahap
[Pemerhati HIV/AIDS dan Narkoba di LSM (media watch) “InfoKespro” Jakarta]

Materi informasi tentang Narkoba (Narkotik dan bahan-bahan berbahaya) pun mulai diselimuti oleh mitos (anggapan yang keliru). Hal ini membuat masyarakat tidak lagi melihat fakta tentang Narkoba tapi cenderung mengaitkan narkoba dengan moral dan agama. Akibatnya, muncul stigma (cap buruk) dan diskriminasi terhadap pengguna Narkoba. 6/6-2008 dibuka Pertemuan Nasional Harm Reduction (PNHR) II di Makassar.

Pemakaian kata-kata yang tidak tepat dalam informasi dan berita tentang Narkoba dapat mengaburkan fakta tentang Narkoba. Selain itu penggunaan kata-kata yang tidak pas mengganjal upaya penanggulangan penyalahgunaan Narkoba. Penyalahgunaan narkoba, khususnya dengan jarum suntik, erat kaitannya dengan epidemi HIV maka pada akhirnya penyebaran HIV melalui pengguna narkoba suntikan pun akan menjadi ‘bom waktu’ ledakan AIDS.

Kata-kata yang tidak objektif menyuburkan mitos (anggapan yang keliru) dan stigma (cap buruk) yang pada gilirannya mendorong diskriminasi terhadap pengguna Narkoba. Misalnya, sebutan pil setanuntuk ecstasy. Pemakaian kata ini tidak tepat karena manusia tidak mengenal pil yang dipakai di kalangan setan begitu pula sebaliknya. Ada pula yang menyebutkan shabu-shabu atau putauw sebagai serbuk setan. Manusia tidak mengenal serbuk yang dipakai di kalangan setan begitu pula sebaliknya.

Mitos dan Stigma

Yang lain menyebutkan pil haram untuk ecstasy dan narkoba dalam bentuk pil  serta serbuk haram untuk putauw dan shabu-shabu untuk Narkoba dalam bentuk serbuk. Ini pun tidak tepat karena tidak ada zat-zat yang haram (menurut kaidah Islam) di dalam semua jenis Narkoba. Untuk keperluan medis, seperti anestesi pada saat oprasi atau bedah, Narkoba justru dipakai. Kalau Narkoba haram tentulah orang-orang yang dioperasi sudah memakai barang haram.

Ada juga yang memakai kata obat terlarang sebagai padanan Narkoba. Ini sebuah judul berita “Obat Terlarang, Sebabkan Kelahiran Prematur.” Tidak ada obat yang terlarang selama dipakai menurut aturan medis walaupun (obat) narkotik. Lagi pula tidak jelas obat terlarang apa yang dimaksudkan berita itu.

Ada pula yang menyebut Narkoba sebagai  obat berbahaya. Ini juga tidak pas karena tidak ada obat yang berbahaya selama dipakai menurut aturan medis walaupun (obat) narkotik, seperti obat untuk anestesi (bius) yang terbuat dari narkotik. Obat yang bukan narkotik pun (bisa) berbahaya kalau pemakaiannya tidak sesuai dengan aturan pakai yang ditetapkan dokter.

Terminologi seputar Narkoba juga sering tidak pas. Misalnya, penggunaan kata naza (narkotik, alkohol dan zat adiktif) dan napza(narkotik, alkohol, obat psikotropika dan zat adiktif)  karena tidak semua zat adiktif, seperti nikotin (rokok), kafein (teh dan kopi) dan alkohol termasuk dalam kategori narkotik. Kalau mau konsekuen tetap menyebutkan zat adiktif lainnya maka perokok, peminum teh penggemar kopi, dan peminum minuman beralkohol juga termasuk pengguna Narkoba.

Penggunaan kata Napza untuk padanan kata Narkoba mengesankan penghalusan kata (eufemisme) sebagai upaya untuk meredam sikap masyarakat terhadap pengguna Narkoba. Ini tidak tepat karena pengguna narkoba sudah menjalani hukuman kurangan sana seperti pencuri, pencopet, perampok, koruptor, dll. Yang diperlukan adalah upaya mendorong masyarakat untuk melihat penyalahguna narkoba sebagai manusia. Perilaku mereka memakai Narkoba dipengaruhi oleh banyak faktor. Tidak ada di antara mereka yang menjadikan menggunakan narkoba sebagai pilihan.

Penggunaan istilah madat untuk pengganti Narkoba juga tidak tepat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) madat adalah candu (yang telah dimasak dan siap untuk diisap). Jadi, anti madat berarti anti (mengisap) candu. Kalau yang dilarang hanya mengisap candu (madat) maka tentu saja yang menggunakan Narkoba (serbuk)  dengan suntikan, ditelan dan dihirup tidak termasuk madat.

Kata madat tidak menggambarkan penggunaan Narkoba karena madat hanya terkait dengan mengisap candu. Selain candu ada daun (ganja) yang diisap, serbuk (heroin, morfin, putauwshabu-shabu, dll.) yang dihirup dan disuntikkan, dan pil (ecstasy, Rhohipnol, dll.) yang ditelan, serta yang tidak termasuk Narkoba berupa cairan (lem, bensin, dll.) yang dihirup.

Berita tentang Narkoba juga sering menyuburkan mitos dan stigma. Coba simak judul berita ini: “Narkoba Harus Dilawan  dengan Piranti Moral”. Ini menggiring masyarakat ke suatu kondisi yang menghujat pemakai Narkoba karena ada kesan pengguna narkoba adalah orang-orang yang tidak bermoral. Tidak ada kaitan langsung antara moral dengan penyalahgunaan Narkoba. Secara medis  ada orang yang memerlukan Narkoba untuk mendukung kehidupannya sehari-hari.

Yang menjadi persoalan adalah penggunaan Narkoba di luar keperluan medis karena hal itu dapat menimbulkan kecanduan yang akhirnya sampai pada tahap ketergantungan. Karena dipakai di luar keperluan medis maka Narkoba pun menimbulkan dampak yang buruk terhadap kesehatan dan psikososial pemakainya. Namun, perlu diingat bahwa yang disalahgunakan bukanlah obat, tapi zat di dalam obat tersebut. Obat-obat yang mengandung narkotik disalahgunakan dengan pemakaian di luar medis. Badan Kesehatan Dunia PBB (WHO) menyebutnya dengan substance abuse (penyalahgunaan zat).

Poster dan spanduk tentang Narkoba juga banyak yang rancu. “Tanpa Narkoba Dunia Damai.” “Narkoba, bloon or dead.” “Sekali pakai mati.” “Narkoba Kado dari Neraka.” “Pelajar Ikut Perangi Narkoba.” Ini semua mitos. Bayangkan, dunia tanpa Narkoba. Berapa ummat manusia yang mati di meja operasi setiap hari?

Penjara Narkoba

Orang-orang yang memakai Narkoba berkali-kali akan mengomentari poster yang menyebutkan “Sekali pakai mati”: “Gue puluhan kali make nggak koit!” Soalnya, yang bisa mematikan bukan Narkoba tapi penggunaan yang overdosis. Ini fakta. Poster itu mitos! Di jembatan penyeberangan di depan kantor BNN, Cawang, Jakarta Timur, ada pula spanduk: Cinta Rosul, Basmi Narkoba. Masya Allah. Ini ‘kan tidak tepat karena kalau tidak ada Narkoba tentulah sudah puluhan bahkan ratusan orang yang mati setiap hari di meja operasi. Apa iya Rosul menginginkan hal ini. Yang benar “Basmi Penyalahgunaan Narkoba.”

Dalam UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika pada pasal 45 disebutkan “Pecandu narkotika wajib menjalani pengobatan dan/atau perawatan.”  Penanganan Narkoba sendiri terkait dengan tiga aspek yaitu pencegahan (preventif), tindakan hukum (represif) dan rehabilitasi (treatment). Hakim dapat memutuskan apakah seorang pengguna Narkoba termasuk kategori korban yang harus dihukum penjara atau dikirim ke pusat rehabilitasi untuk memenuhi pasal 45. Sayang, pasal ini belum pernah dipakai dalam mengadili pengguna narkoba.

Di saat ada negara menutup ‘penjara narkoba’ di Indonesia malah membangun lapas narkoba. Kalau dihitung-hitung biaya yang dipakai pengguna narkoba di lapas bisa dipakai untuk rehabilitasi. Apakah pengguna narkoba yang menjalani masa hukuman di lapas narkoba menjalani rehabilitasi? Seperti diketahui pengguna narkoba suntikan merupakan salah satu mata rantai penyebaran HIV.

Upaya memutus mata rantai penyebaran HIV melalui pengguna narkoba adalah dengan menerapkan harm reduction yaitu menyediakan layanan penyediaan jarum suntik steril, terapi oral pengganti (metadon), serta pengobatan dan perawatan HIV yang diintegrasikan ke dalam sistem kesehatan masyarakat.

Berita Narkoba juga sering tidak fair karena hanya menyudutkan remaja. Simak judul berita ini “Pelaku Narkoba Didominasi Remaja.” Pertanyan: Apakah di kalangan dewasa tidak ada pengguna Narkoba?

Kita juga bersikap mendua dalam masalah Narkoba. Di satu sisi sekolah mengeluarkan anak murid dan mahasiswa yang memakai Narkoba. Tapi, di pihak lain kita menerima orang-orang dewasa yang menggunakan Narkoba, bahkan ada yang sudah pernah menjadi narapidana  tapi karena mereka artis tidak dipersoalkan. Mereka tetap menjadi artis dan presenter.

Berbeda dengan yang bukan artis. Ketika mereka terpapar sebagai pengguna Narkoba maka stigma dan diskriminasi melekat seumur hidup. Tidak bisa melamar pekerjaan, ditolak melanjutkan sekolah dan kuliah.

Ketika kasus HIV/AIDS muncul di kalangan pengguna Narkoba media massa pun memberitakannya dengan gencar. Namun, banyak berita yang tidak pas. Simak pernyataan dalam berita ini: “Dua yang lain diduga tertular (maksudnya tertular HIV-red.) karena Narkoba.” Ini jelas tidak pas karena Narkoba tidak menularkan HIV. Penularan HIV bisa terjadi kalau Narkoba digunakan dengan mamakai jarum suntik secara bersama-sama dan bergiliran. Itu pun kalau di antara mereka ada yang HIV-positif. Kalau semua pengguna Narkoba suntikan HIV-negatif maka tidak ada risiko penularan HIV di antara mereka biar pun jarum suntik dan semprit dipakai bersama-sama dengan bergiliran.***

Catatan: pernah dimuat di https://aidsmediawatch.wordpress.com/2009/08/21/mitos-dan-stigma-dalam-informasi-narkoba/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.