Oleh Syaiful
W. Harahap
[Pemerhati HIV/AIDS dan Narkoba di LSM (media
watch) “InfoKespro” Jakarta]
Materi informasi tentang Narkoba
(Narkotik dan bahan-bahan berbahaya) pun mulai diselimuti oleh mitos (anggapan
yang keliru). Hal ini membuat masyarakat tidak lagi melihat fakta tentang
Narkoba tapi cenderung mengaitkan narkoba dengan moral dan agama. Akibatnya,
muncul stigma (cap buruk) dan diskriminasi terhadap pengguna Narkoba. 6/6-2008
dibuka Pertemuan Nasional Harm Reduction (PNHR) II di Makassar.
Pemakaian
kata-kata yang tidak tepat dalam informasi dan berita tentang Narkoba dapat
mengaburkan fakta tentang Narkoba. Selain itu penggunaan kata-kata yang tidak
pas mengganjal upaya penanggulangan penyalahgunaan Narkoba. Penyalahgunaan
narkoba, khususnya dengan jarum suntik, erat kaitannya dengan epidemi HIV maka
pada akhirnya penyebaran HIV melalui pengguna narkoba suntikan pun akan menjadi
‘bom waktu’ ledakan AIDS.
Kata-kata
yang tidak objektif menyuburkan mitos (anggapan yang keliru) dan stigma (cap
buruk) yang pada gilirannya mendorong diskriminasi terhadap pengguna Narkoba.
Misalnya, sebutan pil setanuntuk ecstasy. Pemakaian
kata ini tidak tepat karena manusia tidak mengenal pil yang dipakai di kalangan
setan begitu pula sebaliknya. Ada pula yang menyebutkan shabu-shabu atau putauw sebagai serbuk
setan. Manusia tidak mengenal serbuk yang dipakai di kalangan setan begitu
pula sebaliknya.
Mitos dan Stigma
Yang
lain menyebutkan pil haram untuk ecstasy dan
narkoba dalam bentuk pil serta serbuk haram untuk putauw dan shabu-shabu untuk
Narkoba dalam bentuk serbuk. Ini pun tidak tepat karena tidak ada zat-zat yang
haram (menurut kaidah Islam) di dalam semua jenis Narkoba. Untuk keperluan
medis, seperti anestesi pada saat oprasi atau bedah, Narkoba justru dipakai.
Kalau Narkoba haram tentulah orang-orang yang dioperasi sudah memakai barang
haram.
Ada
juga yang memakai kata obat terlarang sebagai padanan
Narkoba. Ini sebuah judul berita “Obat Terlarang, Sebabkan Kelahiran Prematur.”
Tidak ada obat yang terlarang selama dipakai menurut aturan medis walaupun
(obat) narkotik. Lagi pula tidak jelas obat terlarang apa yang dimaksudkan
berita itu.
Ada
pula yang menyebut Narkoba sebagai obat berbahaya. Ini juga
tidak pas karena tidak ada obat yang berbahaya selama dipakai menurut aturan
medis walaupun (obat) narkotik, seperti obat untuk anestesi (bius) yang terbuat
dari narkotik. Obat yang bukan narkotik pun (bisa) berbahaya kalau pemakaiannya
tidak sesuai dengan aturan pakai yang ditetapkan dokter.
Terminologi
seputar Narkoba juga sering tidak pas. Misalnya, penggunaan kata naza
(narkotik, alkohol dan zat adiktif) dan napza(narkotik, alkohol,
obat psikotropika dan zat adiktif) karena tidak semua zat adiktif,
seperti nikotin (rokok), kafein (teh dan kopi) dan alkohol termasuk dalam
kategori narkotik. Kalau mau konsekuen tetap menyebutkan zat adiktif lainnya
maka perokok, peminum teh penggemar kopi, dan peminum minuman beralkohol juga
termasuk pengguna Narkoba.
Penggunaan
kata Napza untuk padanan kata Narkoba mengesankan penghalusan kata (eufemisme)
sebagai upaya untuk meredam sikap masyarakat terhadap pengguna Narkoba. Ini
tidak tepat karena pengguna narkoba sudah menjalani hukuman kurangan sana
seperti pencuri, pencopet, perampok, koruptor, dll. Yang diperlukan adalah
upaya mendorong masyarakat untuk melihat penyalahguna narkoba sebagai manusia.
Perilaku mereka memakai Narkoba dipengaruhi oleh banyak faktor. Tidak ada di
antara mereka yang menjadikan menggunakan narkoba sebagai pilihan.
Penggunaan
istilah madat untuk pengganti Narkoba juga tidak tepat.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) madat adalah candu
(yang telah dimasak dan siap untuk diisap). Jadi, anti madat berarti anti
(mengisap) candu. Kalau yang dilarang hanya mengisap candu (madat) maka tentu
saja yang menggunakan Narkoba (serbuk) dengan suntikan, ditelan dan
dihirup tidak termasuk madat.
Kata
madat tidak menggambarkan penggunaan Narkoba karena madat hanya terkait dengan
mengisap candu. Selain candu ada daun (ganja) yang diisap, serbuk (heroin,
morfin, putauw, shabu-shabu, dll.) yang dihirup dan
disuntikkan, dan pil (ecstasy, Rhohipnol, dll.) yang ditelan, serta
yang tidak termasuk Narkoba berupa cairan (lem, bensin, dll.) yang dihirup.
Berita
tentang Narkoba juga sering menyuburkan mitos dan stigma. Coba simak judul
berita ini: “Narkoba Harus Dilawan dengan Piranti Moral”. Ini menggiring
masyarakat ke suatu kondisi yang menghujat pemakai Narkoba karena ada kesan
pengguna narkoba adalah orang-orang yang tidak bermoral. Tidak ada kaitan
langsung antara moral dengan penyalahgunaan Narkoba. Secara medis ada
orang yang memerlukan Narkoba untuk mendukung kehidupannya sehari-hari.
Yang
menjadi persoalan adalah penggunaan Narkoba di luar keperluan medis karena hal
itu dapat menimbulkan kecanduan yang akhirnya sampai pada tahap ketergantungan.
Karena dipakai di luar keperluan medis maka Narkoba pun menimbulkan dampak yang
buruk terhadap kesehatan dan psikososial pemakainya. Namun, perlu diingat bahwa
yang disalahgunakan bukanlah obat, tapi zat di dalam obat tersebut. Obat-obat
yang mengandung narkotik disalahgunakan dengan pemakaian di luar medis. Badan
Kesehatan Dunia PBB (WHO) menyebutnya dengan substance abuse (penyalahgunaan
zat).
Poster
dan spanduk tentang Narkoba juga banyak yang rancu. “Tanpa Narkoba Dunia
Damai.” “Narkoba, bloon or dead.” “Sekali pakai mati.” “Narkoba Kado dari
Neraka.” “Pelajar Ikut Perangi Narkoba.” Ini semua mitos. Bayangkan, dunia
tanpa Narkoba. Berapa ummat manusia yang mati di meja operasi setiap hari?
Penjara Narkoba
Orang-orang
yang memakai Narkoba berkali-kali akan mengomentari poster yang menyebutkan
“Sekali pakai mati”: “Gue puluhan kali make nggak koit!”
Soalnya, yang bisa mematikan bukan Narkoba tapi penggunaan yang overdosis. Ini
fakta. Poster itu mitos! Di jembatan penyeberangan di depan kantor BNN, Cawang,
Jakarta Timur, ada pula spanduk: Cinta Rosul, Basmi Narkoba. Masya Allah. Ini
‘kan tidak tepat karena kalau tidak ada Narkoba tentulah sudah puluhan bahkan
ratusan orang yang mati setiap hari di meja operasi. Apa iya Rosul menginginkan
hal ini. Yang benar “Basmi Penyalahgunaan Narkoba.”
Dalam
UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika pada pasal 45 disebutkan “Pecandu
narkotika wajib menjalani pengobatan dan/atau perawatan.” Penanganan
Narkoba sendiri terkait dengan tiga aspek yaitu pencegahan (preventif),
tindakan hukum (represif) dan rehabilitasi (treatment). Hakim
dapat memutuskan apakah seorang pengguna Narkoba termasuk kategori korban yang
harus dihukum penjara atau dikirim ke pusat rehabilitasi untuk memenuhi pasal
45. Sayang, pasal ini belum pernah dipakai dalam mengadili pengguna narkoba.
Di
saat ada negara menutup ‘penjara narkoba’ di Indonesia malah membangun lapas
narkoba. Kalau dihitung-hitung biaya yang dipakai pengguna narkoba di lapas
bisa dipakai untuk rehabilitasi. Apakah pengguna narkoba yang menjalani masa
hukuman di lapas narkoba menjalani rehabilitasi? Seperti diketahui pengguna
narkoba suntikan merupakan salah satu mata rantai penyebaran HIV.
Upaya
memutus mata rantai penyebaran HIV melalui pengguna narkoba adalah dengan
menerapkan harm reduction yaitu menyediakan layanan
penyediaan jarum suntik steril, terapi oral pengganti (metadon), serta
pengobatan dan perawatan HIV yang diintegrasikan ke dalam sistem kesehatan
masyarakat.
Berita
Narkoba juga sering tidak fair karena hanya menyudutkan
remaja. Simak judul berita ini “Pelaku Narkoba Didominasi Remaja.” Pertanyan:
Apakah di kalangan dewasa tidak ada pengguna Narkoba?
Kita
juga bersikap mendua dalam masalah Narkoba. Di satu sisi sekolah mengeluarkan
anak murid dan mahasiswa yang memakai Narkoba. Tapi, di pihak lain kita
menerima orang-orang dewasa yang menggunakan Narkoba, bahkan ada yang sudah
pernah menjadi narapidana tapi karena mereka artis tidak dipersoalkan.
Mereka tetap menjadi artis dan presenter.
Berbeda dengan yang bukan artis. Ketika
mereka terpapar sebagai pengguna Narkoba maka stigma dan diskriminasi melekat
seumur hidup. Tidak bisa melamar pekerjaan, ditolak melanjutkan sekolah dan
kuliah.
Ketika
kasus HIV/AIDS muncul di kalangan pengguna Narkoba media massa pun
memberitakannya dengan gencar. Namun, banyak berita yang tidak pas. Simak
pernyataan dalam berita ini: “Dua yang lain diduga tertular (maksudnya tertular
HIV-red.) karena Narkoba.” Ini jelas tidak pas karena Narkoba tidak menularkan
HIV. Penularan HIV bisa terjadi kalau Narkoba digunakan dengan mamakai jarum
suntik secara bersama-sama dan bergiliran. Itu pun kalau di antara mereka ada
yang HIV-positif. Kalau semua pengguna Narkoba suntikan HIV-negatif maka tidak
ada risiko penularan HIV di antara mereka biar pun jarum suntik dan semprit
dipakai bersama-sama dengan bergiliran.***
Catatan:
pernah dimuat di https://aidsmediawatch.wordpress.com/2009/08/21/mitos-dan-stigma-dalam-informasi-narkoba/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.