Tanggapan
terhadap Berita di Harian “Radar Bali”
Oleh: Syaiful W. Harahap
[Pemerhati
HIV/AIDS di LSM “InfoKespro”
Jakarta]
Ada
tiga berita HIV/AIDS dan lokaliasi pelacuran di “Radar
Bali” (2007). Tiga berita yang saya baca (1) Wagub Usul Lokalisasi PSK, Ada Siswa SMP Terjangkit
HIV/AIDS (4/10), (2) Dewan
Isyaratkan Setuju Lokalisasi, Lokasi Tengah Kota, Biar Pelanggan Malu (5/10),
dan (3) PSK Perlu Surat Bebas
HIV/AIDS (7/10).
Tiga
berita itu menunjukkan pemahaman yang tidak akurat terhadap
HIV/AIDS. Pada berita 4/10 disebutkan “ …. mengingat 20 – 30 persen
ODHA datang dari kelompok PSK.” Fakta ini mengambang karena tidak dibawa ke
realitas sosial.
Kemungkinan
pertama, PSK yang beroperasi di Bali sudah tertular HIV sebelum ke Bali. Kalau
ini yang terjadi maka penduduk Bali yang melakukan hubungan seks tanpa kondom
dengan PSK berisiko tinggi tertular HIV.
Kemungkinan
kedua, PSK yang beroperasi di Bali tertular HIV di Bali. Mereka bisa saja
ditulari penduduk asli (lokal) atau wisatawan. Kalau ini yang terjadi maka di
masyarakat lokal sudah ada penduduk yang tertular HIV tapi tidak terdeteksi.
Mengapa
kedua hal di atas bisa terjadi? Hal itu bisa terjadi karena tidak ada tanda,
gejala, atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik orang-orang yang sudah
tertular HIV. Maka, penularan HIV pun terjadi tanpa disadari.
Maka,
yang menjadi mata rantai penularan HIV bukan PSK tapi laki-laki yang menularkan
HIV kepada PSK dan laki-laki yang tertular HIV dari PSK. Dalam kehidupan
sehari-hari mereka itu bisa sebagai seorang suami, pacar, lajang, remaja, atau
duda yang bekerja sebagai pegawai, karyawan, pelajar, mahasiswa, sopir, petani,
nelayan, pencopet, perampok, dll.
Tidak
ada kaitan langsung antara (lokalisasi) pelacuran dengan penularan HIV. Di Arab
Saudi yang memakai Alquran sebagai UUD yang tidak ada industri hiburan dan
tidak ada lokalisasi pelacuran tetap saja ada kasus HIV/AIDS. Sampai awal tahun
ini sudah dilaporkan lebih dari 10.000 kasus HIV/AIDS. Mengapa hal ini bisa
terjadi. Ini bisa terjadi karena penduduk Arab Saudi melakukan hubungan seks,
di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti di luar
negaranya.
Hal
itu pula yang bisa terjadi terhadap (penduduk) Bali. Maka, membuat lokalisasi
di tengah kota, seperti dianjurkan anggota DPRD Bali, agar pelanggan malu tidak
relevan. Bisa saja orang Bali melakukan hubungan seks, di dalam atau di luar
nikah, yang berisiko (tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti atau
dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK) di luar Bali
atau di luar negeri. Jika dia tertular HIV (ini terjadi tanpa disadarinya) maka
dia akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk.
Melokalisir
PSK (membuat lokalisasi pelacuran) erat kaitannya dengan (kesehatan)
masyarakat. Kita tidak bisa menutup mata terhadap kenyataan bahwa ada laki-laki
penduduk lokal yang pernah atau sering melakukan hubungan seks dengan PSK. Ini
fakta. Dengan mengontrol PSK maka masyarakat dapat diselamatkan. Secara rutin
kesehatan PSK diperiksa dan mereka dididik agar bisa menolak laki-laki yang
tidak mau memakai kondom. Germo dipaksa pun untuk melindungi PSK yang memaksa
tamunya memakai kondom.
Ketika
di banyak negara kasus infeksi HIV baru di kalangan dewasa mulai menunjukkan
grafik yang mendatar kita malah bertengkar soal pelacuran dan kondom. Maka,
tidak heran kalau pertambahan kasus infeksi HIV baru di Indonesia merupakan
yang tercepat ketiga di Asia setelah Cina dan India.
Penularan
terus terjadi karena banyak di antara kita yang tidak memahami HIV/AIDS sebagai
fakta medis. Banyak orang, termasuk pejabat dan pakar, mengait-ngaitkan
penularan HIV melalui hubungan seks dengan norma, moral, dan agama. Ini keliru
karena penularan HIV melalui hubungan seks bisa terjadi di dalam atau di luar
nikah kalau salah satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif dan suami atau
laki-laki tidak memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seks. Sebaliknya,
kalau dua-duanya HIV-negatif maka tidak ada risiko penularan biar pun hubungan
seks dilakukan dengan zina, mealcur, jajan, selingkuh, ‘seks bebas’, seks
pranikah, ‘seks menyimpang’, dan homoseksual.
Pernyataan
dalam berita “PSK Perlu
Surat Bebas HIV/AIDS” (7/10) lagi-lagi menunjukkan pemahaman
yang tidak akurat terhadap HIV/AIDS. Misalnya, tanggal 7 Oktober 2007 pukul
08.00 semua PSK di Bali menjalani tes HIV. Andaikan 90 persen negatif. Berarti
ada 10 persen yang positif. Tapi, tunggu dulu. Tes HIV akurat kalau yang dites
sudah tertular tiga bulan sebelumnya. Maka, di antara yang 90 persen itu masih
ada kemungkinan yang sudah tertular tapi tidak terdeteksi dengan tes HIV.
Baiklah.
Tes HIV dilakukan dengan PCR yang sangat akurat. Diperoleh angka 80 persen
negatif. Tapi, lagi-lagi ingat. Tes bukan vaksin. Sesaat setelah dites bisa
saja mereka melakukan hubungan seks tanpa kondom dengan pelanggan. Kalau
pelanggan HIV-positif maka mereka pun berisiko tertular HIV. Maka, surat bebas
HIV/AIDS tidak ada manfaatnya karena setiap saat setiap orang yang perilaku
seksnya berisiko bisa tertular HIV. Lalau, apakah Pemprov Bali akan mengetes
setiap orang setiap saat?
Selama
materi KIE (komunikasi, informasi, dan edukasi) tentang HIV/AIDS dibalut dengan
norma, moral, dan agama maka selama itu pula akan terjadi penularan HIV karena
banyak orang yang tidak memahami HIV/AIDS dengan benar. Soalnya, selama ini
masyarakat hanya mengetahui mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS. ***
Catatan:
pernah dimuat di https://aidsmediawatch.wordpress.com/2009/08/22/tanggapan-terhadap-berita-di-harian-%E2%80%9Cradar-bali%E2%80%9D/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.