Tanggapan terhadap Berita di Harian
“Suara Pembaruan”
Oleh: Syaiful
W. Harahap
[Direktur Eksekutif LSM “InfoKespro” Jakarta,
institusi media watchtentang berita HIV/AIDS]
Berita “Kasus HIV/AIDS di Jabar dalam 3 Bulan
Bertambah 129 Kasus” yang dimuat di Harian “Suara Pembaruan”
edisi 26 April 2004 menunjukkan penanganan epidemi HIV di Indonesia masih tetap
sebatas wacana. Buktinya, dalam berita itu disebutkan untuk menanggulangi
HIV/AIDS di Jawa Barat pihak Pemprov “membuat Perda”. Bagaimana sebuah Perda
(peraturan daerah) bisa menanggulangi epidemi HIV?
HIV/AIDS adalah epidemi yang tidak kasat mata.
Orang-orang yang sudah terinfeksi HIV selama bertahun-tahun tidak menyadari
dirinya sudah HIV-positif karena tidak ada gejala-gejala yang khas sebelum masa
AIDS (antara 5-10 tahun). Tapi, pda rentang waktu itu mereka sudah bisa
menularkan HIV kepada orang lain. Berbeda dengan diare, campak, cacar atau TBC
yang bisa dilihat dengan mata telanjang penderitanya menunjukkan gejala-gejala
secara fisik.
Kasus HIV/AIDS selama ini banyak terdeteksi di
kalangan pekerja seks melalui tes survailans yang melanggar asas tes HIV.
Belakangan banyak terdeteksi di kalangan pengguna narkoba suntikan karena
mereka diwajibkan menjalankan tes HIV jika akan masuk ke pusat rehabilitasi
narkoba.
Angka-angka yang dilaporkan di Jawa Barat dan Indonesia
tidak menggambarkan angka yang sebenarnya karena epidemi HIV erat kaitannya
dengan fenomena gunung es. Kasus yang tidak terdeteksi jauh lebih besar
daripada yang terdeteksi. Hal ini terjadi karena banyak orang yang tidak
menyadari dirinya sudah tertular HIV karena tidak ada gejala yang khas.
Perilaku
Berisiko
Nah, bagiamana caranya secarik kertas bisa
menanggulangi (epidemi)AIDS yang tidak kasat mata?
Terkadang kita sering terlena dan ikut-ikutan dengan
keberhasilan negara lain tanpa menyimak apa dan bagaimana program dijalankan.
Hal ini terkait dengan “Wajib Kondom 100%” yang dicanangkan Thailand. Program
itu berhasil menurunkan insiden penularan HIV dan PMS (penyakit-penyakit yang
ditularkan melalui hubungan seks yang tidak aman, seperti sifilis, GO, hepatitis
B, dll.).
Tapi, kalau hanya mencontoh program itu, seperti yang
dilakukan di Papua, dengan mentah-mentah maka hasilnya pun akan nol besar.
Soalnya, di Thailand program “Kondom 100%” sejalan dengan sosialisasi HIV/AIDS
melalui komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) yang komprehensif
sehingga masyarakat memahami HIV/AIDS sebagai fakta medis.
Berbeda dengan di Indonesia. KIE dibalut dengan moral
dan agama. Akibatnya, yang ditangkap masyarakat tentang HIV/AIDS hanyalah mitos
(anggapan yang salah).
Misalnya, HIV/AIDS dikait-kaitkan dengan zina,
pelacuran, selingkuh, jajan dan gay. Padahal, sebagai fakta medis tidak ada
kaitan langsung antara HIV/AIDS dengan zina, pelacuran, selingkuh, jajan dan
gay. HIV hanya menular jika salah satu dari pasangan yang melakukan hubungan
seks HIV-positif dan hubungan seks dilakukan tanpa menggunakan kondom di dalam
dan di luar nikah. Kalau satu pasangan HIV-negatif apa pun sifat dan jenis
hubungan seks yang mereka lakukan tidak akan pernah terjadi penularan HIV.
Karena masyarakat sudah terbuai dengan mitos maka
epidemi HIV bagaikan ‘bom waktu’ di negeri ini. Hal ini sudah terbukti.
Belakangan ini kasus HIV/AIDS mulai terdeteksi di berbagai kalangan, seperti
ibu-ibu rumah tangga, anak-anak dan remaja. Ini menunjukkan HIV sudah masuk ke
populasi.
Siapa yang menjadi mata rantai penyebaran HIV ke
populasi? Ya, tentu saja laki-laki yang perilakunya berisiko tinggi tertular
HIV yaitu orang-orang yang sering melakukan hubungan seks yang tidak memakai
kondom di dalam dan di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau
orang-orang yang sering melakukan hubungan seks yang tidak memakai kondom di
dalam dan di luar nikah dengan seseorang yang sering berganti-gnati pasangan
(seperti pekerja seks).
Kegiatan yang berisiko ini tidak hanya terjadi di
lokalisasi pelacuran. Tapi, perda yang dibuat di Papua hanya menjerat pelanggan
pekerja seks di lokalisasi. Lalu, laki-laki yang berperilaku berisiko yang
tidak melakukannya di lokalisasi pun aman tenteram karena tidak bisa dijerat
dengan perda. Tapi, perlu diingat mereka inilah yang menjadi mata rantai
penyebaran HIV seacara horizontal.
Memupus Mitos
Mereka tidak menyadari kalau dirinya sudah tertular
HIV karena mereka sudah termakan mitos yang menyebutkan HIV/AIDS terkait dengan
pelacuran. Mereka tidak melakukan hubungan seks di lokalisasi dan tidak pula
dengan pekerja seks. Mereka melakukannya di rumah atau di hotel dengan ‘cewek
baik-baik’, ‘anak SMA’ atau ‘mahasiswi’. Tapi, hal ini tetap sebagai perilaku
berisiko tinggi tertular HIV.
Mitos itu pulalah mungkin yang ‘menjerat, tentara kita
yang tertular HIV di Kamboja saat bertugas sebagai pasukan perdamaian PBB.
Kerena di benak banyak orang sudah terpatri mitos AIDS terkait dengan pelacur,
maka mereka pun ‘main’ dengan ‘ibu-ibu rumah tangga’ atau perempuan di luar
lokalisasi.
Padahal, prevalensi HIV (perbandingan antara yang
HIV-positif dan HIV-negatif) di kalangan ibu-ibu rumah tangga di Kamboja juga
tinggi sehingga risiko tertular pun besar. Tentara Belanda tidak ada yang
tertular HIV atau PMS. Mengapa? Ya, tentara kita cuma dibekali dengan wejangan
sedangkan tentara Belanda selain membawa bedil juga dipersenjatai dengan
kondom.
Jadi, hal yang paling mendasar dalam menanggulangi
HIV/AIDS di negeri ini adalah memupus mitos yang selama ini berkembang di
masyarakat. Ini pekerjaan berat karena mulai dari menteri sampai dokter pun
tetap membicarakan HIV/AIDS dari aspek moral dan agama. Ironis. Dokter membahas
HIV sebagai fakta medis dari sudut moral dan agama. Wartawan pun mewawancarai
agamawan. Di negara-negara yang menjadikan agama sebagai dasar negara pun
banyak kasus HIV/AIDS yang dilaporkan ke WHO/UNAIDS. Padahal, di sana
tidak ada industri seks, seperti bar, lokalisasi pelacuran, dll.
Salah satu cara realistis yang dapat dilakukan untuk
memutus mata rantai penyebaran HIV secara vertikal di Jawa Barat adalah dengan
menganjurkan tes HIV sukarela kepada orang-orang yang berperilaku berisiko
tinggi tertular HIV.
Jika ada yang HIV-positif maka mereka dapat dibimbing
agar tidak menulari orang lain. Selain itu dapat pula ditangani secara medis,
misalnya, pemberian obat antiretroviral (obat yang dapat menekan pertumbuhan
HIV di dalam darah) sehingga mereka tetap bisa bekeja dengan produktif seperti
orang yang HIV-negatif. ***
Catatan:
pernah dimuat di https://aidsmediawatch.wordpress.com/2009/08/28/tanggapan-terhadap-berita-di-harian-%E2%80%9Csuara-pembaruan%E2%80%9D/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.