Oleh: Syaiful
W. Harahap
[Pemerhati berita HIV/AIDS di media
massa melalui LSM (media watch) “InfoKespro” Jakarta]
“Penyebaran
HIV/AIDS Meningkat, Sumut Peringkat Lima.” Itulah judul berita
di sebuah harian yang terbit di Kota Medan. Berita itu sama sekali tidak
memberikan gambaran tentang epidemi HIV/AIDS di Sumut khususnya dan di
Indonesia umumnya. Yang diperlukan adalah upaya mencegah agar tidak ada lagi
yang tertular HIV. Ini bisa dilakukan dengan meningkatkan penyuluhan yang
berisi materi HIV/AIDS yang akurat.
Di
kala banyak negara di dunia, termasuk negara-negara di Afrika yang
porak-poranda karena epidemi HIV/AIDS, sudah bisa mengendalikan penularan HIV
yang ditandai dengan penemuan kasus infeksi HIV baru di kalangan dewasa yang
menunjukkan grafik yang mendatar. Tapi, di negara-negara Asia Pasifik, termasuk
Indonesia, yang terjadi justru sebaliknya. Kasus infeksi HIV baru di kalangan
dewasa meroket.
Mengapa
kedua hal itu bisa terjadi? Di negara-negara yang sudah bisa mengendalikan
penularan HIV karena penduduk diberikan materi KIE (komunikasi, informasi, dan
edukasi) HIV/AIDS yang akurat dengan mengedepankan fakta medis sehingga
penduduk bisa melindungi diri agar tidak tertular HIV. Sebaliknya, di
negara-negara Asia Pasifik materi KIE HIV/AIDS dibalut dengan norma, moral, dan
agama sehingga fakta medis hilang sedangkan mitos (anggapan yang salah)
menguat.
Di
Indonesia penularan HIV melalui hubungan seks selalu dikait-kaitkan dengan
zina, pelacuran, ‘seks bebas’, ‘jajan’, ‘seks menyimpang’, dan homoseksual.
Penularan HIV melalui hubungan seks tanpa kondom di dalam dan di luar nikah
(bisa) terjadi kalau salah satu atau kedua-duanya HIV-positif. Sebaliknya,
kalau satu pasangan dua-duanya HIV-negatif maka tidak ada risiko penularan HIV
biar pun hubungan seks dilakukan tanpa kondom melalui zina, pelacuran, ‘seks
bebas’, ‘jajan’, ‘seks menyimpang’, dan homoseksual.
Satu
hal lagi yang sering menjadi mitos adalah ada kesan yang menyebarkan HIV/AIDS
adalah pekerja seks. Ini salah karena yang menularkan HIV kepada pekerja seks
adalah laki-laki yang dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami,
lajang, duda atau remaja. Mereka bekerja sebagai pegawai, karyawan, sopir,
pedagang, guru, dosen, sopir, nelayan, pelajar, mahsiswa, pencopet, perampok,
dll. Kemudian, kalau ada pekerja seks yang tertular HIV maka laki-laki yang
kemudian menggaulinya tanpa kondom berisiko pula tertular HIV. Laki-laki yang
menularkan HIV kepada pekerja seks dan laki-laki yang tertular HIV dari pekerja
sekslah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV.
Deteksi Kasus
Dalam
berita disebutkan “Dari 193.000 korban HIV/AIDS di Indonesia, …. “. Ini tidak
akurat karena angka itu hanyalah estimasi (perkiraan) berdasarkan faktor-faktor
yang terkait dengan penularan HIV, seperti jumlah laki-laki pelanggan pekerja
seks, pengguna narkoba, dll. Secara nasional kasus yang dilaporkan sampai
31/12-2007 adalah 11.141. Angka ini tidak menggambarkan jumlah kasus yang
sebenarnya di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena
gunung es. Bandingkan dengan Malaysia yang sudah melaporkan lebih dari 60.000
kasus HIV/AIDS.
Sampai
Maret 2008 Sumut berada pada peringkat tujuh secara nasional dengan 424 kasus
AIDS. Sebanyak 198 kasus terdeteksi di kalangan penyahguna narkoba (narkotik
dan bahan-bahan berbahaya). Selain itu beberapa kabupaten dan kota di Sumut
masuk pula dalam daftar 100 kota/kabupaten prioritas penangangan. Daerah
tersebut adalah kabupaten-kabupaten (dalam kurung jumlah kasus AIDS): Madina
(2), Tapanuli Selatan (1), Tapanuli Utara (3), Toba Samosir (39), Labuhan Batu
(3), Simalungun (1), Deli Serdang (3), Tanjung Balai Asahan, dan Langkat, serta
kota-kota: Pematang Siantar (4), Tebing Tinggi (1), Medan (360), dan Serdang
Bedagai.
Banyak
orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena tidak ada tanda,
gejala, ciri-ciri yang khas AIDS pada fisiknya dan tidak ada pula keluhan
kesehatan terkait AIDS sebelum masa AIDS (antara 5-10 tahun setelah tertular
HIV). Namun, pada rentang waktu itu sudah bisa terjadi penularan HIV tanpa
disadari melalui: (a) hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah,
(b) transfusi darah dan cangkok organ tubuh yang tidak diskrining HIV, (c)
jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo, dan alat-alat
kesehatan yang dipakai secara bergiliran, dan (d) air susu ibu (ASI).
Celakanya,
di Indonesia tidak ada mekanisme yang bisa mendeteksi penduduk yang sudah
tertular HIV. Di Malaysia ada mekanisme yang bisa mendeteksi penduduk yang
tertular HIV yaitu melalui skirining rutin terhadap pasien klinik penyakit
kelamin, pengguna narkoba, perempuan hamil, polisi, narapidana, donor darah,
dan pasien TB. Ada pula survai khusus terhadap pekerja seks, homoseksual,
pelajar dan mahasiswa. Maka, angka yang terdeteksi di Malaysia pun lebih
realistis daripada di Indonesia.
Disebutkan
pula “ …. HIV/AIDS bukan hanya permasalahan kesehatan, tetapi juga merupakan
masalah sosial, pendidikan, dan …. “. Anggapan ini terjadi karena mitos yang
menyelimuti HIV/AIDS selama ini. HIV/AIDS adalah fakta medis. Artinya dapat
diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran sehingga cara-cara pengobatan
dan pencegahannya pun dapat dilakukan secara medis. Epidemi HIV/AIDS berdampak
ke sektor sosial, ekonomi dll.
Secara
sosial muncul stigmatisasi (pemberian cap buruk atau negatif) dan diskriminasi
(membeda-bedakan). Ini muncul karena mitos. Diskriminasi yang paling dominan
terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS) justru terjadi di sarana kesehatan. Pemerintah
pun ikut pula menyuburkan stigma. Di Prov. Riau, misalnya, Dalam Perda
Penanggulangan AIDS disebutkan bahwa cara mencegah penularan HIV/AIDS adalah
dengan ‘iman dan taqwa’. Pertama, bagaimana mengukur iman dan taqwa yang bisa
mencegah penularan HIV? Kedua, orang-orang yang tertular HIV dikesankan sebagai
orang yang tidak beriman dan tidak bertaqwa. Bayangkan orang-orang yang
tertular dari transfusi darah atau dari suaminya. Apakah mereka ini tidak
beriman dan tidak bertaqwa?
Penangangan Hulu
Ada
pula kutipan “Artinya penyakit ini bukan hanya penyakit yang menyentuh
perseorangan, tetapi sudah masuk ke dalam keluarga. … “ HIV adalah virus yang
menular dari seseorang yang HIV-positif ke seseorang melalui cara-cara yang
sangat spesifik. Kalau di satu keluarga suami HIV-positif maka ada risiko
penularan ke istrinya (horizontal). Kalau istrinya tertular maka ada pula
risiko penularan ke anak yang dikandungnya kelak terutama pada saat persalinan
dan menyusui dengan ASI.
Tentang
‘guru agama dan keluarganya termasuk tiga anaknya sudah terjangkit HIV/AIDS’
perlu dipertanyakan. Apakah keluarga di sini termasuk saudara suami atau istri?
Kalau yang dimaksud keluarga adalah keluarga inti maka ada kemungkinan ketiga
anak itu lahir setelah istrinya tertular. Kalau anak yang sudah lahir sebelum
istrinya tertular maka risiko tertular dalam keluarga sangat kecil.
Kemungkinannya hanya melalui darah.
Belakangan
ini penanggulangan HIV/AIDS lebih ditujukan kepada pengobatan Odha. Dana dari
APBD lebih banyak untuk keperluan penanganan Odha. Ini artinya yang ditangani
adalah hilir. Berapa pun dana yang disedikan tidak akan cukup kalau masalah di
hulu (penularan) tidak diatasi karena, misalnya, ketika terdeteksi 10 Odha tapi
pada saat yang sama lebih dari 10 orang yang tertular HIV. Penanganan pada Odha
memutus mata rantai penyebaran HIV serta menjaga kesehatan Odha dengan
memberikan obat antiretroviral yaitu obat yang dapat menghambat laju
pertumbuhan HIV di dalam darah.
Untuk
menanggulangi penyebaran HIV yang diperlukan adalah penanganan di hulu.
Artinya, upaya untuk mencegah penyebaran HIV antar penduduk lebih ditingkatkan
agar jumlah yang orang yang tertular tidak bertambah (lagi).
Dalam
kaitan inilah diperlukan penyuluhan dengan materi KIE yang akurat. Yang perlu
dianjurkan kepada masyarakat untuk melindungi diri agar tidak tertular HIV
adalah tidak melakukan perilaku berisiko tinggi tertular HIV yaitu: (a)
menghindarkan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan
pasangan yang berganti-ganti, (b) menghindarkan hubungan seks tanpa kondom di
dalam atau di luar nikah dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan,
seperti pekerja seks atau perempuan panggilan.
Sedangkan
bagi yang sudah pernah melakukan perilaku berisiko dianjurkan agar menjalani
tes HIV sukarela. Semakin banyak kasus HIV/AIDS yang terdeteksi maka kian
banyak pula mata rantai penyebaran HIV yang diputuskan. ***
Catatan:
pernah dimuat di https://aidsmediawatch.wordpress.com/2009/07/16/menyikapi-peringkat-kasus-hivaids-sumut/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.