Oleh Syaiful
W. Harahap
[Pemerhati berita HIV/AIDS melalui LSM (media
watch) “InfoKespro” Jakarta]
Dalam Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia yang dikeluarkan Ditjen
PPM&PL, Depkes RI, tanggal 30 Januari 2008 Prov. Jawa Barat berada pada
peringkat kedua secara nasional jumlah kumulatif kasus AIDS yaitu 1.675 atau
15,04 persen dari 11.141 kasus nasional. Pada kurun waktu Oktober-Desember 2007
dilaporkan 230 kasus AIDS. Kasus ini tidak menggambarkan keadaan yang
sebenarnya karena banyak kasus yang belum atau tidak terdeteksi. Untuk itulah
diperlukan penyuluhan yang gencar untuk meningkatkan kesadaran penduduk
terhadap penanggulangan epidemi HIV.
Epidemi
HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es (iceberg phenomenon)
yaitu kasus yang terdeteksi hanya sebagian kecil dari kasus yang sebenarnya di masyarakat.
Hal ini terjadi karena banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular
HIV. Akibatnya, penularan antar penduduk secara horizontal pun terjadi tanpa
disadari.
Kondisi
itu terjadi karena orang-orang yang sudah tertular HIV tidak menunjukkan tanda,
gejala, atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisiknya sebelum masa AIDS (secara
statistik antara 5-10 tahun setelah tertular). Namun, pada rentang waktu ini
sudah bisa terjadi penularan melalui: (a) hubungan seks tanpa kondom di dalam
atau di luar nikah, (b) transfusi darah, jarum suntik, jarum tindik, jarum
akupunktur, jarum tattoo, dan cangkok organ tubuh, (c) air susu ibu melalui
proses menyusui. Orang-orang yang tertular pun tidak menyadari dirinya (baru)
tertular HIV.
Hal
itu semua terjadi karena selama ini materi KIE (komunikasi, informasi dan
edukasi) tentang HIV/AIDS dibalut dengan norma, moral, dan agama sehingga
masyarakat pun tidak memahami cara-cara penularan dan pencegahan HIV yang
akurat. Misalnya, mengait-ngaitkan penularan HIV dengan zina, pelacuran, waria,
jajan, selingkuh, ‘seks menyimpang’, ‘seks bebas’, dan homoseksual.
Padalah,
penularan HIV melalui hubungan seks bisa terjadi di dalam atau di luar nikah
kalau salah satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai
kondom setiap kali melakukan hubungan seks. Sebaliknya, kalau satu pasangan
dua-duanya HIV-negatif maka tidak ada risiko penularan HIV biar pun hubungan
seks dilakukan di luar nikah, zina, melacur, jajan, selingkuh, ‘seks
menyimpang’, ‘seks bebas’, dan homoseksual.
Pintu Masuk HIV
HIV adalah virus yang tergolong sebagai retrovirus yaitu virus yang bisa mengembangbiakkan diri di dalam sel-sel darah putih manusia. Dalam jumlah yang dapat ditularkan HIV terdapat dalam cairan darah (laki-laki dan perempuan), air mani (laki-laki, dalam sperma tidak ada HIV karena tidak ada limfosit), cairan vagina (perempuan), dan air susu ibu (perempuan).
Pintu Masuk HIV
HIV adalah virus yang tergolong sebagai retrovirus yaitu virus yang bisa mengembangbiakkan diri di dalam sel-sel darah putih manusia. Dalam jumlah yang dapat ditularkan HIV terdapat dalam cairan darah (laki-laki dan perempuan), air mani (laki-laki, dalam sperma tidak ada HIV karena tidak ada limfosit), cairan vagina (perempuan), dan air susu ibu (perempuan).
Penularan
HIV melalui darah bisa terjadi melalui transfusi darah, jarum suntik, jarum
tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo, alat-alat kesehatan, dan cangkok organ
tubuh. Penularan HIV melalui ASI bisa terjadi melalui proses menyusui.
Dalam
berita “6.300 Wanita Indramayu Jadi PSK di Pulau Batam”
(Pikiran Rakyat, Bandung, 5/11-2005), misalnya, sama sekali tidak
dikaitkan dengan epidemi HIV/AIDS. Padahal, kalau saja fakta itu dibawa ke
realitas sosial maka akan lain maknya. Andaikan 10 persen saja dari mereka yang
tertular HIV maka 630 wanita Indramayu yang menjadi PSK di Batam sudah menjadi
mata rantai penyebaran HIV secara horizontal ketika mereka kembali ke kampong
halamannya. Bagi yang bersuami akan menularkan HIV kepada suaminya dalam ikatan
pernikahan yang sah. Yang lain bisa juga melanjutkan pekerjaannya di daerahnya
atau di daerah lain jika dia pindah ‘praktek’.
Di
Singapura sendiri suami-suami yang bertugas atau rekreasi ke Kep. Riau
diwajibkan menjalani tes HIV ketika pulang ke Singapura. Kep. Riau menempati
peringkat 9 kasus AIDS secara nasional dengan jumlah 238. Data di sebuah
poliklinik di Batam menunjukkan pekerja seks di sana rata-rata tertular lebih
dari dua jenis PMS (penyakit-penyakit yang ditularkan melalui hubungan seks
tanpa kondom di dalam atau di luar nikah, seperti sifilis, GO, klamidia, dll.).
Infeksi PMS ini merupakan luka-luka mikroskopis di alat kelamin yang menjadi
‘pintu masuk’ bagi HIV.
Mata
rantai itu baru dari satu daerah, bagaimana dengan daerah lain? Kasus
penyebaran HIV di Jabar khususnya dan di Indonesia umumnya didorong pula oleh
penduduk lokal yang melakukan perilaku berisiko tinggi tertular HIV di luar
daerahnya atau di luar negeri. Mereka adalah penduduk: (a) laki-laki atau
perempuan yang sering melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah tanpa
kondom dengan pasangan yang berganti-ganti, dan (b) laki-laki atau perempuan
yang sering melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan
seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks.
Deteksi AIDS
Data
Depkes tadi menunjukkan dari 1.675 kasus AIDS di Jabar ternyata 1.356 kasus
AIDS ada di kalangan pengguna narkoba suntikan. Data ini juga merupakan ‘lampu
merah’ bagi Jabar karena pengguna narkoba suntikan biasanya menyuntikkan
narkoba dengan beberapa temannya. Andaikan setiap orang dari 1.675 pengguna
narkoba yang terdeteksi AIDS itu mempunyai teman menyuntik 5 maka sudah ada
8.375 orang yang berisiko tertular HIV.
Angka
terakhir ini akan terus membengkak bak deret ukur karen mereka pun mempunyak
teman menyuntuk pula. Begitu seterusnya. Bagi yang beristri mereka menularkan
HIV kepada istrinya, selingkuhannya, atau pekerja seks (horizontal). Kalau
istrinya tertular maka ada risiko penularan HIV kepada bayi yang dikandungnya
(vertikal) terutama saat persalinan dan menyusui dengan ASI. Yang tidak
beristri akan menularkan HIV kepada pasangan seksnya, pacarnya atau pekerja
seks.
Selain
itu disebutkan pula sudah ada 330 Odha (Orang dengan HIV/AIDS) yang mati. Angka
ini juga ‘lampu merah’ bagi Jabar karena sebelum meninggal mereka sudah
menularkan HIV kepada orang lain. Soalnya, kematian pada Odha terjadi setelah
masa AIDS yang secara statistik antara 5-10 tahun setelah tertular HIV. Pada
rentang waktu ini banyak Odha yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV
karena tidak ada tanda, gejala, atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisiknya.
Namun, penularan sudah bisa terjadi melalui: (a) hubungan seks tanpa kondom di
dalam atau di luar nikah, (b) transfusi darah, (c) jarum suntik, jarum tindik,
jarum akupuktur, jarum tattoo, dan cangkok organ tubuh, (d) air susu ibu.
Untuk
memutus mata rantai penyebaran HIV perlu ditingkatkan upaya untuk mendorong
agar orang-orang yang perilakunya berisiko tinggi tertular HIV mau menjalani
tes HIV sukarela. Mereka itu adalah penduduk yang pernah melakukan perilaku
berisiko tinggi tertular HIV yaitu (a) laki-laki atau perempuan yang sering
melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah tanpa kondom dengan
pasangan yang berganti-ganti, dan (b) laki-laki atau perempuan yang sering
melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan seseorang yang
sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks. Mereka inilah sebenarnya
yang menjadi mata rantai penyebaran HIV antar penduduk, termasuk kepada pekerja
seks. Penularan HIV terjadi tanpa mereka sadari karena mereka juga tidak
menyadari dirinya sudah tertular HIV.
Di
Indonesia tidak ada mekanisme yang bisa mendeteksi kasus HIV/AIDS di
masyarakat. Berbeda dengan di Malaysia yang mempunyai mekanisme untuk
mendeteksi kasus HIV di masyarakat yaitu melalui tes HIV rutin kepada pasien
penyakit PMS (sifilis, GO, dll.), pengguna narkoba suntikan, perempuan hamil,
polisi, narapidana, donor darah, dan pasien TBC. Survai khusus dilakukan kepada
pekerja seks, homoseksual, serta pelajar dan mahasiswa.
Yang
menjadi ‘sasaran tembak’ untuk tes HIV di Indonesia hanya pekerja seks dan
waria. Padahal, yang menularkan HIV kepada pekerja seks dan waria adalah
laki-laki yang dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai suami, pacar, atau
selingkuhan yang bekerja sebagai pegawai, karyawan, pelajar, mahasiswa, sopir,
pedagang, pencopet, perampok, dll.
Makin banyak kasus HIV/AIDS yang
terdeteksi maka kian banyak pula mata rantai penyebaran HIV yang dapat
diputuskan. ***
Catatan:
pernah dimuat di https://aidsmediawatch.wordpress.com/2009/07/17/menyikapi-%E2%80%98peringkat%E2%80%99-kasus-aids-jawa-barat/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.