Oleh: Syaiful
W Harahap
[Pemerhati HIV/AIDS melalui LSM (media
watch) “InfoKespro”, Jakarta]
Provinsi
Jawa Barat (Jabar) menempati peringkat pertama secara nasional dalam jumlah
kasus AIDS. Sampai 31/12/2008 dilaporkan 2.888 kasus AIDS. Dari jumlah
ini 2.192 terdeteksi di kalangan pengguna narkoba suntikan, serta 544 kematian.
Jika Jabar tidak serius menanggulangi penyebaran HIV maka Jabar bisa menjadi
’Afrika Kedua’.
Di
Afrika banyak desa yang tidak ada lagi penduduknya karena mati akibat penyakit
terkait HIV/AIDS. Di beberapa negara Afrika sektor pertanian tertinggal karena
tidak ada lagi penduduk yang bertani. Jumlah anak yatim piatu di Afria sangat
besar karena kedua orang tua mereka meninggal terkait AIDS. Ada pula di antara
anak-anak itu yang juga tertular HIV.
Di
Jabar pun sudah banyak anak-anak yang terdeteksi HIV. Ini menunjukkan kedua
orang tua mereka HIV-positif. Kalau orang tua mereka meninggal maka mereka pun
akan menjadi yatim piatu. Persoalan baru akan muncul karena tidak jelas siapa
yang harus bertanggung jawab terhadap anak-anak yatim piatu itu.
Departemen
Sosial (Depsos) atau dinas sosial di tingkat provinsi, kabupaten dan kota tidak
wajib menangani anak-anak itu karena mereka bukan anak jalanan. Begitu pula
dengan Departemen Kesehatan tidak menangani anak-anak itu karena tidak sakit.
Pilihan tinggal kepada keluarga. Tapi, apakah ada keluarga yang mau menampung
anak-anak yatim piatu yang ditinggal mati orang tua karena AIDS? Apakah
pesantren dan panti asuhan mau menampung anak-anak yatim piatu itu?
Menulari Istri
Banyak faktor yang mendorong penyebaran
HIV di Jabar. Salah satu di antaranya, juga terjadi di beberapa daerah lain di
Indonesia, adalah perempuan yang bekerja sebagai PSK atau tenaga kerja wanita
(TKW). Berita di “PR” (11/11-2005) menyebutkan “6.300 Wanita
Indramayu Jadi PSK di Pulau Batam”. Angka ini baru dari Indramayu, belum
terhitung dari daerah lain di Jabar yang bekerja di Batam atau daerah lain.
Batam
memang ’surga’ bagi wisatawan Singapura dan Malaysia untuk melampiaskan hasrat
seksual karena tarifnya murah dan aman. ’Gadis Priangan’ menjadi incaran mereka
di Batam. Ada ’klinik’ yang menyiapkan ’surat keterangan asal, usia, dan
keperawanan’. Para ‘hidung belang’ di Batam selalu mencari ‘gadis’ berusia di
bawah 17 tahun. Dengan tarif antara Rp 3 – Rp 5 juta mereka sudah mendapatkan
’perawan priangan’ dan hotel dua malam.
PSK
di Batam banyak yang menderita penyakit menular seksual (PMS) lebih dari satu
jenis. Ada yang mengidap sekaligus penyakit sifilis, GO, klamidia, herpes, dll.
Posisi tawar PSK untuk meminta laki-laki memakai kondom sangat rendah.
Akibatnya, mereka berisiko tinggi tertular PMS dan HIV atau kedua-duanya
sekaligus.
Andaikan
sepuluh persen dari PSK asal Indramayu itu yang tertular HIV, maka ketika
pulang kampung mereka akan menjadi mata rantai penyebaran HIV. Yang bersuami
akan menularkan HIV kepada suaminya. Suaminya pun bisa menularkan HIV kepada
perempuan lain yang menjadi pasangan seksnya. Yang tidak bersuami akan
menularkan HIV kepada laki-laki jika dia ’praktek’ di kampungnya atau di tempat
lain. Fakta inilah yang luput dari perhatian banyak pihak.
Penyebaran
HIV di Jabar khususnya dan Indonesia umumnya kian runyam karena laki-laki tidak
mau memakai kondom jika melakukan hubungan seks yang berisiko. Akibatnya,
laki-laki yang tertular HIV, jika dia seorang suami, akan menularkan HIV kepada
istrinya (horizontal). Jika istrinya tertular maka ada risiko penularan HIV
kepada bayi yang dikandungnya (vertikal). Ini sudah terjadi di Jabar (48
Balita di Bandung Terpapar HIV/AIDS”, “PR”, 17/8-2008).
Ini
menunjukkan ada 48 laki-laki (baca: suami) dan 48 perempuan (baca: istri) yang
tertular HIV. Maka dari kasus ini saja sudah ada 144 penduduk jabar yang
HIV-positif. Mereka inilah, kecuali bayi, yang menjadi mata rantai penyebaran
HIV di masyarakat. Selain kepada istrinya mereka pun bisa menularkan HIV kepada
perempuan lain yang menjadi pasangan seksnya atau PSK. Kalau ada PSK yang
tertular HIV maka laki-laki lain yang mengencani PSK itu akan berisiko pula
tertular HIV. Laki-laki ini pun kemudian akan menjadi mata rantai penyebaran
HIV pula.
Perda AIDS
Di
Tasikmalaya disebutkan “24 Penderita HIV/AIDS Meninggal” (PR,
29/8-2008). Fakta ini seakan-akan berdiri sendiri. Padahal, sebelum meninggal
ada kemungkinan mereka sudah menularkan HIV kepada orang lain. Rentang waktu
antara tertular HIV sampai masa AIDS dan akhirnya meninggal antara 5-15 tahun.
Pada rentang waktu itulah terjadi penularan baik kepada istrinya bagi yang
beristri atau kepada perempuan lain, seperti PSK atau pasangan gelapnya. Semua
terjadi tanpa disadari.
Andaikan
24 penderita yang meninggal itu sudah beristri maka ada 24 perempuan yang
berisiko tertular HIV. Selanjutnya, ada pula 24 bayi yang berisiko tertular
HIV. Setelah suaminya meninggal jika ada yang menikah lagi maka laki-laki yang
menikahinya pun berisiko pula tertular HIV. Inilah mata rantai penyebaran HIV
yang tidak dipahami oleh banyak orang.
Di
banyak daerah epidemi HIV ditanggapi dengan cara-cara yang tidak realistis,
misalnya, dengan membuat peraturan daerah (Perda) penanggulangan HIV/AIDS.
Sampai sekarang sudah ada 21 daerah kabupaten, kota dan provinsi yang membuat
perda. Di Jabar ada dua yaitu Kabupaten Tasikmalaya dan Kota Tasikmalaya.
Perda
ini tidak menyentuh akar persoalan penyebaran dan pencegahan HIV/AIDS. Perda
AIDS Kab Tasikmalaya No. 4/2007, umpamanya, menyebutkan bahwa HIV/AIDS dapat
dicegah dengan meningkatkan ’iman dan taqwa’. Bagaimana mengukur iman dan taqwa
yang bisa mencegah HIV? Ini juga mendorong stigmatisasi (pemberian cap buruk)
dan diskriminasi terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS) karena ada kesan mereka
tertular disebabkan tidak ‘beriman dan bertaqwa’.
Untuk
menanggulangi penyebaran HIV dalam Perda AIDS harus ada pasal yang berbunyi “Setiap
orang wajib memakai kondom jika melakukan hubungan seks di dalam atau di luar
nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering
berganti-ganti pasangan, seperti PSK, di Jabar atau di luar Jabar.”
Sedangkan
untuk memutus mata rantai penyebaran HIV ada pula pasal yang berbunyi “Setiap
orang yang pernah atau sering melakukan hubungan seks di dalam atau di luar
nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering
berganti-ganti pasangan, seperti PSK, di Jabar atau di luar Jabar wajib
menjalani tes HIV dengan konseling.”
Makin banyak kasus HIV yang terdeteksi
maka kian banyak pula mata rantai penyebaran yang diputus. ***
Catatan:
pernah dimuat di https://aidsmediawatch.wordpress.com/2009/08/22/menyikapi-peringkat-jawa-barat-dalam-kasus-aids/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.