07 Juli 2017

Menyikapi Kematian Penderita AIDS di Dumai

Oleh Syaiful W. Harahap
[Pemerhati berita HIV/AIDS di media massa melalui LSM (media watch) “InfoKespro” Jakarta]

Berita “Sebulan, Tiga Penderita HIV/AIDS di Dumai Tewas” di Harian “Riau Pos” (20/5-2008) membuktikan kasus HIV/AIDS yang selama ini selalu disangkal. Sampai 31 Maret 2008, secara nasional kasus AIDS di Riau mencapai 166 yang menempati urutan kesebelas. Kota Pekanbaru dan Kota Dumai termasuk pula dalam daftar 100 kota/kabupaten yang mendapat perhatikan khusus terkait dengan penanganan HIV/AIDS.

Biar pun sudah banyak negara di dunia ini yang mengalami persoalan besar terkait HIV/AIDS karena sebelumnya mereka menyangkal, tapi kita pun mengikutinya. Thailand, misalnya, di awal 1990-an sudah diingatkan oleh ahli-ahli epidemiologi agar serius menangani HIV/AIDS. Tapi, petinggi di Negeri Gaja Putih itu menampik karena mereka menganggap HIV/AIDS bukan ancaman bagi masyarakat yang mereka sebut beragama dan berbudaya. Tapi, apa yang terjadi sepuluh tahun kemudian? Kasus HIV/AIDS di Thailand mendekat angka 1 juta. Pendapatan negara itu dari sektor pariwisata tidak cukup untuk menanggulangi HIV/AIDS.

Tidak Disadari

Hal itu pulalah yang terjadi di Indonesia. Bahkan, tahun 1985 ketika ada indikasi kasus HIV/AIDS terdeteksi di sebuah rumah sakit di Jakarta Menkes, waktu itu Dr. Suwardjono Suryaningrat, menyangkal dengan mengatakan bahwa tidak mungkin ada AIDS di Indonesia karena Indonesia adalah negara Pancasila dan penduduknya beragama.

Yang terjadi kemudian adalah satu demi satu kasus HIV/AIDS terdeteksi di kalangan penduduk. Sampai 31 Maret 2008 sudah dilaporkan 6.130 kasus HIV dan 11.868 kasus AIDS.

Angka-angka itu tidak menggambarkan realitas karena epidemi HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Yang terdeteksi hanya sebagian kecil dari kasus yang sebenarnya di masyarakat. Hal ini terjadi karena banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena tidak ada tanda, gejala, atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik sebelum masa AIDS (antara 5-10 tahun setelah tertular HIV). Tapi, pada kurun waktu itu sudah bisa terjadi penularan HIV melalui: (a) hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah, (b) transfusi darah yang tidak diskrining HIV, (c) jarum suntik, (d) cangkok organ tubuh, dan (e) air susu ibu (ASI).

Terkait dengan kematian enam penduduk Dumai yang menjadi persoalan bukan kematian mereka. Yang dikhawatirkan adalah kalau mereka terdeteksi setelah masa AIDS sehingga sebelum terdeteksi mereka sudah menularkan HIV kepada orang lain tanpa mereka sadari. Bagi yang beristri akan menuarlan HIV kepada istirnya (horizontal). Kalau istrinya tertular maka ada risiko penularan kepada bayi yang dikandungnya kelak (vertical). Inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV yaitu orang-orang yang sudah tertular HIV tanpa mereka sadari.

Selama ini muatan materi KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) tentang HIV/AIDS selalu dibalut dengan norma, moral, dan agama sehingga yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah). Misalnya, penularan HIV dikait-kaitkan denan zina, pelacuran, ‘jajan’, selingkuh, ‘seks bebas’, waria, dan homoseksual (gay). Padahal, penularan HIV melalui hubungan seks bisa terjadi di dalam atau di luar nikah kalau salah satu dari pasangan itu HIV-positif (mengidap HIV) dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama. Sebaliknya, kalau dua-duanya HIV-negatif (tidak mengidap HIV) maka tidak ada risiko tertular HIV biar pun hubungan seks dilakukan dengan zina, pelacuran, ‘jajan’, selingkuh, ‘seks bebas’, waria, dan homoseksual.

Dalam berita itu tidak disebutkan apa saja langkah-langkah pencegahan agar tidak tertular HIV. Begitu pula dengan brosur dan stiker yang dibagi-bagikan: Apakah di dalamnya disebutkan langkah-langkah pencegahan agar tidak tertular HIV yang akurat? Soalnya, dalam banyak brosur dan stiker cara-cara pencegahan yang disampaikan tidak akurat.

Tes Sukarela

Dalam brosur yang diterbitkan KPA Kota Dumai, Prov. Riau,  misalnya, disebutkan: Cara penularan HIV dan AIDS: Berhubungan seks berganti pasangan dengan orang yang tidak tahu status HIV/AIDSnya.

Padahal, penularan HIV melalui hubungan seks (bisa) terjadi di dalam atau di luar nikah dengan orang yang sudah tertular HIV jika laki-laki tidak memakai kondom setiap kali melakukan sanggama. Biar pun hanya satu dan tidak pernah berganti-ganti pasangan kalau salah satu atau dua-duanya HIV-positif maka ada risiko penularan HIV biar pun hubungan seks dilakukan di dalam nikah apabila laki-laki tidak selalu memakai kondom setiap kali melakukan sanggama. Kalimat dalam brosur ini kalau ditarik analoginya maka tidak ada risiko penularan jika melakukan hubungan seks dengan orang yang sudah mengetahui atau diketahui status HIV-nya biar pun positif.

Dalam kaitan inilah perlu dikembangkan materi KIE  tentang HIV/AIDS yang akurat yang bertumpu pada fakta medis karena HIV/AIDS adalah fakta medis. Ini dilakukan agar masyarakat bisa melindungi dirinya sendiri secara aktif agar tidak tertular atau menularkan HIV kepada orang lain.

Di saat epidemi HIV sudah ada di tengah-tengah kita maka yang perlu dilakukan adalah mengindari perilaku berisiko tinggi tertular HIV yaitu: (a) tidak melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti karena ada kemungkinan salah satu dari mereka HIV-positif, (b) tidak melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan karena ada kemungkinan salah satu dari pasangan mereka HIV-positif.

Penduduk Dumai atau Riau yang pernah melakukan salah satu atau kedua-dua perilaku berisiko di atas, baik di Riau maupun di luar Riau, maka mereka sudah berisiko tertular HIV. Mereka yang tertular merupakan mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk tanpa mereka sadari.

Dalam kaitan inilah salah satu upaya menanggulangi penyebaran HIV di Dumai khususnya dan di Riau umumnya adalah meningkatkan penyuluhan dengan materi KIE yang akurat. Penyuluhan terutama ditujukan kepada orang-orang (laki-laki dan perempuan) yang pernah melakukan perilaku berisiko tertular HIV agar mereka mau menjalani tes HIV secara sukarela. Di beberapa daerah sudah disediakan fasilitas VCT yaitu tempat untuk menjalani tes secara sukarela yang gratis.

Semakin banyak kasus HIV/AIDS terdeteksi maka kian banyak pula mata rantai penyebaran HIV yang diputus. Mereka pun dapat pula ditangani secara medis dengan pemberian obat antiretroviral (ARV) agar kesehatan mereka tetap terjaga sehingga tetap bisa produktif. ***

Jakarta, 20/5-2008


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.