Oleh
Syaiful W. Harahap
[Pemerhati
berita HIV/AIDS di media massa melalui LSM (media watch) “InfoKespro”
Jakarta]
Berita
“Sebulan, Tiga Penderita HIV/AIDS di Dumai Tewas” di Harian “Riau
Pos” (20/5-2008) membuktikan kasus HIV/AIDS yang selama ini selalu
disangkal. Sampai 31 Maret 2008, secara nasional kasus AIDS di Riau mencapai
166 yang menempati urutan kesebelas. Kota Pekanbaru dan Kota Dumai termasuk
pula dalam daftar 100 kota/kabupaten yang mendapat perhatikan khusus terkait
dengan penanganan HIV/AIDS.
Biar
pun sudah banyak negara di dunia ini yang mengalami persoalan besar terkait
HIV/AIDS karena sebelumnya mereka menyangkal, tapi kita pun mengikutinya.
Thailand, misalnya, di awal 1990-an sudah diingatkan oleh ahli-ahli
epidemiologi agar serius menangani HIV/AIDS. Tapi, petinggi di Negeri Gaja
Putih itu menampik karena mereka menganggap HIV/AIDS bukan ancaman bagi
masyarakat yang mereka sebut beragama dan berbudaya. Tapi, apa yang terjadi
sepuluh tahun kemudian? Kasus HIV/AIDS di Thailand mendekat angka 1 juta.
Pendapatan negara itu dari sektor pariwisata tidak cukup untuk menanggulangi
HIV/AIDS.
Tidak
Disadari
Hal
itu pulalah yang terjadi di Indonesia. Bahkan, tahun 1985 ketika ada indikasi
kasus HIV/AIDS terdeteksi di sebuah rumah sakit di Jakarta Menkes, waktu itu
Dr. Suwardjono Suryaningrat, menyangkal dengan mengatakan bahwa tidak mungkin
ada AIDS di Indonesia karena Indonesia adalah negara Pancasila dan penduduknya
beragama.
Yang
terjadi kemudian adalah satu demi satu kasus HIV/AIDS terdeteksi di kalangan
penduduk. Sampai 31 Maret 2008 sudah dilaporkan 6.130 kasus HIV dan 11.868
kasus AIDS.
Angka-angka
itu tidak menggambarkan realitas karena epidemi HIV erat kaitannya dengan
fenomena gunung es. Yang terdeteksi hanya sebagian kecil dari kasus yang
sebenarnya di masyarakat. Hal ini terjadi karena banyak orang yang tidak
menyadari dirinya sudah tertular HIV karena tidak ada tanda, gejala, atau
ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik sebelum masa AIDS (antara 5-10 tahun
setelah tertular HIV). Tapi, pada kurun waktu itu sudah bisa terjadi penularan
HIV melalui: (a) hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah, (b)
transfusi darah yang tidak diskrining HIV, (c) jarum suntik, (d) cangkok organ
tubuh, dan (e) air susu ibu (ASI).
Terkait
dengan kematian enam penduduk Dumai yang menjadi persoalan bukan kematian
mereka. Yang dikhawatirkan adalah kalau mereka terdeteksi setelah masa AIDS
sehingga sebelum terdeteksi mereka sudah menularkan HIV kepada orang lain tanpa
mereka sadari. Bagi yang beristri akan menuarlan HIV kepada istirnya
(horizontal). Kalau istrinya tertular maka ada risiko penularan kepada bayi
yang dikandungnya kelak (vertical). Inilah yang menjadi mata rantai penyebaran
HIV yaitu orang-orang yang sudah tertular HIV tanpa mereka sadari.
Selama
ini muatan materi KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) tentang HIV/AIDS
selalu dibalut dengan norma, moral, dan agama sehingga yang muncul hanya mitos
(anggapan yang salah). Misalnya, penularan HIV dikait-kaitkan denan zina,
pelacuran, ‘jajan’, selingkuh, ‘seks bebas’, waria, dan homoseksual (gay).
Padahal, penularan HIV melalui hubungan seks bisa terjadi di dalam atau di luar
nikah kalau salah satu dari pasangan itu HIV-positif (mengidap HIV) dan
laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama. Sebaliknya, kalau
dua-duanya HIV-negatif (tidak mengidap HIV) maka tidak ada risiko tertular HIV
biar pun hubungan seks dilakukan dengan zina, pelacuran, ‘jajan’, selingkuh,
‘seks bebas’, waria, dan homoseksual.
Dalam
berita itu tidak disebutkan apa saja langkah-langkah pencegahan agar tidak
tertular HIV. Begitu pula dengan brosur dan stiker yang dibagi-bagikan: Apakah
di dalamnya disebutkan langkah-langkah pencegahan agar tidak tertular HIV yang
akurat? Soalnya, dalam banyak brosur dan stiker cara-cara pencegahan yang
disampaikan tidak akurat.
Tes Sukarela
Dalam
brosur yang diterbitkan KPA Kota Dumai, Prov. Riau, misalnya, disebutkan:
Cara penularan HIV dan AIDS: Berhubungan seks berganti pasangan dengan
orang yang tidak tahu status HIV/AIDSnya.
Padahal,
penularan HIV melalui hubungan seks (bisa) terjadi di dalam atau di luar nikah
dengan orang yang sudah tertular HIV jika laki-laki tidak memakai kondom setiap
kali melakukan sanggama. Biar pun hanya satu dan tidak pernah berganti-ganti
pasangan kalau salah satu atau dua-duanya HIV-positif maka ada risiko penularan
HIV biar pun hubungan seks dilakukan di dalam nikah apabila laki-laki tidak
selalu memakai kondom setiap kali melakukan sanggama. Kalimat dalam brosur ini
kalau ditarik analoginya maka tidak ada risiko penularan jika melakukan
hubungan seks dengan orang yang sudah mengetahui atau diketahui status HIV-nya
biar pun positif.
Dalam
kaitan inilah perlu dikembangkan materi KIE tentang HIV/AIDS yang akurat
yang bertumpu pada fakta medis karena HIV/AIDS adalah fakta medis. Ini
dilakukan agar masyarakat bisa melindungi dirinya sendiri secara aktif agar
tidak tertular atau menularkan HIV kepada orang lain.
Di
saat epidemi HIV sudah ada di tengah-tengah kita maka yang perlu dilakukan
adalah mengindari perilaku berisiko tinggi tertular HIV yaitu: (a) tidak
melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan
pasangan yang berganti-ganti karena ada kemungkinan salah satu dari mereka
HIV-positif, (b) tidak melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di
luar nikah dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan karena ada
kemungkinan salah satu dari pasangan mereka HIV-positif.
Penduduk
Dumai atau Riau yang pernah melakukan salah satu atau kedua-dua perilaku
berisiko di atas, baik di Riau maupun di luar Riau, maka mereka sudah berisiko
tertular HIV. Mereka yang tertular merupakan mata rantai penyebaran HIV secara
horizontal antar penduduk tanpa mereka sadari.
Dalam
kaitan inilah salah satu upaya menanggulangi penyebaran HIV di Dumai khususnya
dan di Riau umumnya adalah meningkatkan penyuluhan dengan materi KIE yang
akurat. Penyuluhan terutama ditujukan kepada orang-orang (laki-laki dan
perempuan) yang pernah melakukan perilaku berisiko tertular HIV agar mereka mau
menjalani tes HIV secara sukarela. Di beberapa daerah sudah disediakan
fasilitas VCT yaitu tempat untuk menjalani tes secara sukarela yang gratis.
Semakin
banyak kasus HIV/AIDS terdeteksi maka kian banyak pula mata rantai penyebaran
HIV yang diputus. Mereka pun dapat pula ditangani secara medis dengan pemberian
obat antiretroviral (ARV) agar kesehatan mereka tetap terjaga sehingga tetap
bisa produktif. ***
Jakarta,
20/5-2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.