Oleh: Syaiful
W. Harahap
[Pemerhati berita HIV/AIDS di media
massa melalui LSM (media watch) “InfoKespro”
Jakarta]
Berita seputar HIV/AIDS di media cetak
yang terbit di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) sangat sedikit. Hal ini bisa
menunjukkan ketidakpedulian atau anggap remeh terhadap epidemi HIV/AIDS. Sikap
ini umumnya terjadi di daerah atau negara ketika kasus HIV/AIDS kecil. Kasus
AIDS yang dilaporkan di NAD adalah 18. Tapi, ketika angka kasus kumulatif
HIV/AIDS mulai banyak barulah daerah atau negara tersebut kalang kabut. Kondisi
inilah yang dikhawatirkan (bisa) terjadi di NAD jika informasi yang akurat
seputar HIV/AIDS tidak sampai ke masyarakat.
Informasi
tentang HIV/AIDS terkait dengan cara-cara penularan dan pencegahan yang
akurat akan lebih efektif disampaikan ke masyarakat melalui media cetak (koran,
tabloid, dan majalan) dan media elektronik (radio dan televisi). Kalau
hanya karena kasus HIV/AIDS di NAD kecil tidak berarti berita tentang HIV/AIDS
tidak perlu digencarkan di media massa.
Lagi pula angka yang dilaporkan tidak
menggambarkan kasus yang sebenarnya di masyarakat karena epidemi HIV erat
kaitannya dengan fenomena gunung es yaitu angka yang terdeteksi hanya sebagian
kecil dari kasus yang belum atau tidak terdeteksi. Dalam laporan Depkes
disebutkan sudah 4 orang yang mati terkait HIV/AIDS di Aceh. Sebelum 4 orang
itu meninggal ada kemungkinan mereka sudah menularkan HIV kepada orang lain.
Ini terjadi tanpa disadari karena banyak orang yang tidak mengetahui dirinya
sudah tertular HIV sebelum menjalani tes HIV.
Mitos
Disebutkan
pula ada dua orang yang terdeteksi AIDS sebagai pengguna narkoba. Ini juga
perlu diperhitungkan karena seorang pengguna narkoba dengan jarum suntik
biasanya akan menyuntikkan narkoba dengan teman-temannya. Teman-temannya itu
pun mempunyai teman-teman pula. Begitu seterusnya sehingga risiko tertular
melalui pengguna narkoba ibarat deret ukur.
Ada
beberapa faktor yang membuat kasus HIV/AIDS yang dilaporkan di satu daerah
hanya sedikit.
Pertama, karena tidak
ada kegiatan survailans tes HIV yang rutin. Survailans tes HIV adalah suatu tes
dengan menggunakan sample darah pada kalangan tertentu dan pada kurun waktu
tertentu pula. Hasilnya adalah angka prevalensi yaitu perbandingan antara yang
HIV-positif dengan yang HIV-negatif. Di banyak negara survailans tes HIV
dilakukan dengan teratur antara lain terhadap ibu-ibu yang hamil, pekerja seks,
pelajar, mahasiswa, polisi, pasien TBC, pasien infeksi menular seksual
(sifilis, GO, dll.).
Kedua, penduduk suatu
kota, kabupaten atau provinsi melakukan tes HIV di Jakarta karena di Jakarta
tersedia pusat-pusat tes HIV dengan konseling dan biayanya pun gratis. Mereka
yang terdeteksi HIV-positif pun tercatat di Jakarta bukan di daerah asalnya.
Ketiga, kasus yang terdeteksi
di rumah sakit, poliklinik, klinik, atau praktek pribadi dokter tidak
dilaporkan ke pemerintah. Ini terjadi karena ada kesepakatan dengan pasien yang
menolak dipublikasikan. Dokter wajib merahasiakan identitas pasien semua jenis
penyakit karena merupakan cacatan medis (medical record). Pembeberan
identitas dan jenis penyakit hanya bisa dilakukan jika pasien mengizinkannya,
kecuali untuk penyakit-penyakit menular yang tergolong sebagai wabah.
Karena
media massa berperan dalam meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap upaya
mencegah penularan HIV maka media massa tidak perlu menunggu kasus HIV/AIDS
baru ada berita. Berita seputar HIV/AIDS yang akurat akan meningkatkan
pengetahuan masyarakat dalam upaya menanggulangi penyebaran HIV.
Yang
terjadi salama ini ada berita yang justru menyuburkan mitos (anggapan yang
salah) terhadap HIV/AIDS. Misalnya, mengait-ngaitkan zina, hubungan seks di
luar nikah, ‘seks bebas’, selingkuh, ‘jajan’, waria dan homoseksual dengan
penularan HIV. Ini tidak akurat karena penularan HIV melalui hubungan seks, di
dalam atau di luar nikah, (bisa) terjadi kalau salah satu atau kedua-dua
pasangan itu HIV-positif. Sebaliknya, kalau dua-dua HIV-negatif maka tidak ada
risiko penularan HIV biar pun hubungan seks dilakukan di luar nikah, zina,
hubungan seks di luar nikah, ‘seks bebas’, selingkuh, ‘jajan’, waria dan
homoseksual.
Mencegah
penularan HIV melalui hubungan seks adalah jangan melakukan hubungan seks, di
dalam atau di luar nikah, dengan orang yang sudah tertular HIV. Persoalannya
adalah kita tidak bisa mengenali orang-orang yang sudah tertular HIV karena
tidak ada tanda, gejala, dan ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik orang yang
sudah tertular HIV sebelum mencapai masa AIDS (antara 5-10 tahun setelah
tertular HIV). Tapi, pada rentang waktu itu sudah bisa terjadi penularan HIV
melalui (a) hubungan seks di dalam atau di luar nikah, (b) transfusi darah, (c)
jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo, dan alat-alat
kesehatan, (d) cangkok organ tubuh, dan (e) air susu ibu (ASI).
Tes Sukarela
Jika
kondisi di atas yang dihadapi yaitu orang-orang yang sudah tertular HIV tidak
bisa dikenali dari fisiknya maka mencegah penularan HIV melalui hubungan seks
di dalam atau di luar nikah adalah dengan cara menghindarkan pergesekan
langsung antara penis dan vagina. Penularan HIV melalui hubungan seks (bisa)
terjadi berdasarkan kondisi hubungan seks (salah
satu atau kedua-duanya HIV-positif) bukan berdasarkan sifat
hubungan seks (di dalam atau di luar nikah).
HIV
adalah virus yang tergolong sebagai retrovirus yaitu virus yang bisa
mengembangbiakkan diri di dalam sel-sel darah putih manusia. Dalam jumlah yang
dapat ditularkan HIV terdapat dalam cairan darah (laki-laki dan perempuan), air
mani (laki-laki, dalam sperma tidak ada HIV karena tidak ada limfosit), cairan
vagina (perempuan), dan air susu ibu (perempuan).
Penularan
HIV melalui darah bisa terjadi melalui transfusi darah, jarum suntik, jarum
tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo, alat-alat kesehatan, dan cangkok organ
tubuh. Penularan HIV melalui air mani dan cairan vagina bisa terjadi melalui
hubungan seks di dalam atau di luar nikah. Penularan HIV melalui ASI bisa
terjadi melalui proses menyusui.
Judul
berita di sebuah koran yang terbit di Banda Aceh menyebutkan “Aceh Semakin Rentan
HIV/AIDS”. Ini tidak akurat karena yang rentan bukan daerah, kota atau
negara, tapi orang per orang yang perilakunya berisiko tinggi tertular HIV.
Perilaku yang berisiko tinggi tertular HIV adalah (a) laki-laki atau perempuan
yang sering melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah tanpa pelindung
dengan pasangan yang berganti-ganti, dan (b) laki-laki atau perempuan yang
sering melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan seseorang
yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks. Mereka itulah yang
menjadi mata rantai penyebaran HIV antar penduduk. Penularan HIV terjadi tanpa
mereka sadari karena mereka juga tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV.
Salah
satu cara untuk memutus mata rantai penyebaran HIV adalah dengan meningkatkan
penyuluhan dengan materi KIE (komunikasi, informasi, dan edukasi) terntang HIV
yang akurat berdasarkan fakta medis. Kemudian menganjurkan kepada orang-orang
yang perilakunya berisiko tinggi tertular HIV agar mau menjalani tes HIV secara
sukarela.
Makin banyak kasus HIV/AIDS yang
terdeteksi maka kian banyak pula mata rantai penyebaran HIV yang dapat
diputuskan. ***
Catatan:
pernah dimuat di https://aidsmediawatch.wordpress.com/2009/07/17/menyikapi-kasus-hivaids-yang-kecil-di-nad/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.