Oleh: Syaiful
W. Harahap
[Pemerhati HIV/AIDS melalui LSM (media
watch) “InfoKespro”, Jakarta]
Dua
berita di sebuah harian di Kota Palu, yaitu “Selain PSK,
Polisi Pengidap AIDS Hasil Pendataan Dinkes” (11/4-2008) dan “Tangkal AIDS Tak Cukup Lewat Penyuluhan” (12/4-2008)
menunjukkan pemahaman yang tidak akurat di banyak kalangan. Kondisi inilah yang
memicu penyebaran HIV/AIDS secara horizontal antar penduduk karena banyak yang
tidak memahami HIV/AIDS sebagai fakta medis.
Terkait
dengan kasus HIV/AIDS yang terdeteksi di kalangan pekerja seks komersial (PSK)
ada dua fakta yang tidak dipahamai banyak orang.
Pertama, PSK yang
terdeteksi HIV-positif di Palu tertular HIV dari laki-laki penduduk Palu atau
pendatang. Kalau ini yang terjadi maka sudah ada penduduk Palu yang
HIV-positif. Ini juga menunjukkan tingkat angka prevalensi HIV (perbandingan
penduduk laki-laki dewasa yang HIV-positif dan HIV-negatif pada kurun waktu
tertentu) di Palu. Kalau fakta ini ditarik ke realitas sosial maka laki-laki
yang menularkan HIV kepada PSK dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang
suami, pacar, selingkuhan, remaja, duda, atau lajang yang bekerja sebagai
pegawai, karyawan, buruh, petani, nelayan, pelajar, mahasiswa, sopir, maling,
perampok, dll. Mereka inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV antar
penduduk.
Mata Rantai
Penyebaran
HIV terjadi tanpa disadari karena banyak orang yang sudah tertular HIV tidak
menyadari dirinya HIV-positif karena tidak ada tanda, gejala, atau ciri-ciri
yang khas AIDS pada fisiknya sebelum mencapai masa AIDS (antara 5-10 tahun
setelah tertular HIV). Tapi, pada rentang waktu itu sudah bisa terjadi
penularan HIV melalui (a) hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar
nikah, (b) transfusi darah yang tidak diskrining HIV, (c) jarum suntik, jarum
tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo, dan alat-alat kesehatan yang dipakai
secara bergantian, dan (d) air susu ibu/ASI melalui proses menyusui.
Kedua, PSK yang
terdeteksi HIV-positif di Palu itu sudah mengidap HIV ketika tiba di Palu.
Kalau ini yang terjadi maka laki-laki penduduk lokal yang melakukan hubungan
seks tanpa kondom dengan PSK berisiko tinggi tertular HIV. Laki-laki yang
kemudian tertular HIV dari PSK akan menjadi mata rantai penyebaran HIV. Bagi
yang beristri maka dia akan menularkan HIV kepada istrinya atau kepada
perempuan lain yang menjadi pasangan seksnya (horizontal). Kalau istrinya
tertular maka ada risiko penularan HIV kepada bayi yang dikandung istrinya
kelak, terutama pada saat persalinan dan menyusui dengan ASI (vertikal).
Dua
hal di ataslah yang sering luput dari perhatian sehingga penyebaran HIV terus
terjadi tanpa kita sadari. Dalam berita disebutkan “ … jika faktor penyebab
munculnya penyakit yang paling mematikan tersebut berada dari para Wanita Tuna
Susila (WTS). Maka yang harus dilakukan adalah bagaimana menghilangkan
praktik-praktik prostitusi di Kota Palu.” (12/4-2008). Yang menjadi mata rantai
penyebaran HIV bukan WTS atau PSK, tapi laki-laki yang mengidap HIV.
Maka,
yang perlu ditangani adalah laki-laki yang perilakunya berisio tertular atau
menularkan HIV yaitu: (a) laki-laki yang sering melakukan hubungan seks tanpa
kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti di Palu,
di luar Palu atau di luar negeri, dan (b) laki-laki yang sering melakukan
hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan seseorang yang
sering berganti-ganti pasangan, seperti WTS atau PSK di Palu, di luar Palu atau
di luar negeri. Orang-orang inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV.
Begitu
pula dengan pengguna narkoba. Tidak bisa dipastkan apakah mereka tertular
melalui penggunaan jarum suntik atau seks karena mereka pun melakukan hubungan
seks. Pengguna narkoba yang terdeteksi HIV-positif pun akan menjadi mata rantai
pula dalam penyebaran HIV. Bagi yang beristri akan menularkan HIV kepada
istrinya, pacarnya atau PSK. Yang tidak beristri akan menularkan HIV kepada
pasangan seksnya atau PSK.
Dalam
berita disebutkan terjadi peningkatan kasus HIV/AIDS di Palu. Disebutkan dari
2001-2007 sudah terdeteksi 32 kasus yang terdiri atas 25 AIDS dan 7 HIV. Perlu
diingat angka ini tidak menggambarkan kasus yang sebenarnya di masyarakat
karena yang terdeteksi hanya sebagian kecil dari kasus yang ada di masyarakat.
Epidemi HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Yang muncul ke permukaan
hanya bagian kecil.
Mencegah HIV
Kasus-kasus
HIV dan AIDS yang terdeteksi tahun 2007 merupakan insiden penularan yang
terjadi beberapa bulan atau tahun sebelumnya. Kalau seseorang terdteksi HIV
maka miminal dia sudah tertular tiga bulan sebelum tes HIV. Jika seseorang
terdeteksi HIV sudah pada masa AIDS maka minimal dia sudah tertular lima tahun
sebelumnya.
Peningkatan
jumlah kasus yang terdeteksi terjadi karena ada kegiatan survailans tes HIV
(tes tanpa nama untuk mendapatkan angaka prevalensi di kalangan tertentu dan
pada kurun waktu yang tertentu), orang-orang yang tertular HIV sudah mencapai
masa AIDS sehingga memerlukan pengobatan. Ketika berobat dokter akan melihat
riwayat pasien. Dari diagnisis ada yang terdeteksi HIV-positif. Pada masa AIDS
mulai muncul berbagai penyakit yang disebut infeksi oportunistik, seperti
diare, sariawan, TB, dll. Infeksi ini terjadi karena sistem kekebalan tubuh
orang yang tertular HIV sudah sangat rendah. Kekebalan menurun karena HIV
merusak sel-sel darah putih ketika HIV menggandakan diri di dalam darah.
Perihal cara mencegah HIV dalam berita
disebutkan “ …. berpuasa berhubungan seks.” Ini tidak akurat karena cara
mencegah penularan HIV melalui hubungan seks di dalam atau di luar nikah adalah
jangan melakukan hubungan seks tanpa kondom dengan orang yang HIV-positif. Ini
fakta medis.
Berita
polisi yang terdeteksi HIV-positif terlalu dibesar-besarkan sehingga menjadi
sensasi. Padahal, di kalangan lain tidak tertutup kemungkinan ada juga kasus
HIV/AIDS. Hanya saja belum terdeteksi. Yang menularkan HIV kepada WTS atau PSK
di Palu tentulah penduduk Palu dari berbagai kalangan.
Dalam
berita juga ada pernyataan “….sangat prihatin karena Palu yang dikenal sebagai
kota religius ini dengan sarana-sarana keagamaan, justru penderita HIV terus
meningkat ….” Tidak ada kaitan langsung antara norma, moral, dan agama dengan
penularan HIV karena penularan HIV melalui hubungan seks bisa terjadi di dalam
atau di luar nikah. Penularan HIV pun bisa terjadi melalui transfusi darah. Di
Malaysia seorang perempuan guru mengaji tertular HIV melalui transfusi darah di
rumah sakit pemerintah. Arab Saudi, yang memakai Alquran sebagai UUD, sudah
melaporkan lebih dari 10.000 kasus HIV/AIDS.
Banyak
kepala daerah seperti ‘kebakaran jenggot’ kalau di daerahnya ditemukan kasus
HIV/AIDS. Ini reaksi negatif yang sangat merugikan penanggulangan HIV/AIDS
karena kemudian temuan kasus-kasus itu disembunyikan. Padahal, penemuan kasus
HIV/AIDS justru baik karena mulai dari orang-orang yang terdeteksi HIVitu mata
rantai penyebaran HIV diputus.
Makin
banyak kasus yang terdeteksi maka kian banyak pula mata rantai yang diputus.
***
Catatan:
pernah dimuat di https://aidsmediawatch.wordpress.com/2009/07/16/menyikapi-kasus-hivaids-di-palu-2/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.