Oleh: Syaiful W. Harahap
[Pemerhati masalah HIV/AIDS/IMS dan
penulis buku “Pers Meliput AIDS“]
Kalau
ditilik dari aspek epidemiologi tidak ada alasan untuk menyebutkan bahwa di Kabupaten
Karo belum ditemukan kasus HIV/AIDS karena epidemi HIV tidak mengenal batas
wilayah. Sampai 30 Juni 2001 dalam data yang dikeluarkan Ditjen PPM&PL
Depkes tercatat 35 kasus HIV/AIDS di Sumatera Utara yang terdiri
atas 27 HIV dan 8 AIDS serta 3 meninggal.
Saat
ini semua negara di dunia sudah melaporkan kasus HIV/AIDS di negaranya. Sampai
akhir tahun 1999 tercatat 34,3 juta kasus HIV/AIDS secara global. Sedangkan di
Indonesia sampai 30 Juni 2001 tercatat 2.150 kasus dengan perincian 1.572 HIV
dan 578 AIDS serta 258 meninggal. Karena epidemi HIV tidak mengenal batas
wilayah maka angka kasus global dan nasional merupakan gambaran yang nyata
sehingga kita tidak melihat kabupaten “X”, kecamatan “Y”, atau propinsi “Z”
tetapi melihat angka global.
Artinya,
angka-angka itu menunjukkan epidemi sehingga risiko tertular di mana pun ada
jika seseorang melakukan kegiatan berisiko tinggi yaitu adalah:
(1)
melakukan hubungan seks (sanggama) baik heteroseks, homoseks, biseks, seks oral
dan seks anal tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti di dalam dan di
luar pernikahan yang sah,
(2)
melakukan hubungan seks (sanggama) baik heteroseks, homoseks, biseks, seks oral
dan seks anal tanpa kondom dengan seseorang yang suka berganti-ganti pasangan
di dalam dan di luar pernikahan yang sah,
(3)
menerima transfusi darah yang tidak diskrining HIV, dan
(4)
memakai jarum suntik dan semprit secara bersama-sama dengan bergiliran
dan bergantian.
Jadi,
biar pun di Kabupaten Karo belum ditemukan kasus HIV/AIDS (“Penderita HIV/AIDS Belum Ada Ditemukan di Kabupaten
Karo”, Analisa,
13/9-2001) hal itu tidak menjamin semua penduduk HIV-negatif karena bisa saja
mereka melakukan kegiatan berisiko di luar daerahnya atau di luar negeri. Lagi
pula gambaran kasus HIV/AIDS diketahui melalui tes surveilans HIV (tes yang
dilakukan secara sistematis dan rutin). Dalam kaitan ini patut dipertanyakan:
Apakah Pemkab Karo menjalankan tes surveilans HIV? Kalau jawabannya “Tidak”
maka pernyataan yang menyebutkan belum ada kasus HIV/AIDS di Karo
merupakan fakta yang semu.
Penyakit Kelamin
Soalnya,
orang yang terinfeksi HIV tidak dapat dikenali dari kondisi fisiknya. Biar pun
ada gejala-gejala klinis yang terkait dengan HIV/AIDS, seperti panas,
diare, berat badan turun, dll. tetapi gejala ini tidak hanya terkait dengan
HIV/AIDS. Ada penyakit yang juga menunjukkan gejala-gejala tersebut. Untuk itu
diperlukan surveilans tes agar dapat dilihat prevalensi (persentase orang yang
HIV-positif pada kalangan tertentu dan pada kurun waktu yang tertentu pula). Di
Malaysia, misalnya, surveilans tes HIV dijalankan secara sistematis dan
rutin terhadap pasien klinik IMS (infeksi menular seksual, seperti hepatitis B,
sifilis, GO, dll.), pengguna narkoba suntikan (injecting drug user/IDUs),
wanita hamil, polisi, narapidana, dan pasien TB. Surveilans terhadap pasien
klinik IMS dan wanita hamil sangat realistis karena mereka jelas sudah
melakukan hubungan seks yang tidak aman sehingga ada risiko tertular karena
mereka jelas tidak memakai kondom.
Surveilans
itu pulalah yang membuat angka kasus HIV/AIDS di Malaysia jauh lebih realistis
dari Indonesia. Sampai 30 Juni 2001 Indonesia yang berpenduduk 200 juta
lebih baru mencatat angka 2.150 (angka ini termasuk orang asing yang
terdeteksi di Indonesia yaitu 277, tidak diketahui 68 dan tidak disebut 47, dan
tes surveilans). Bandingkan dengan Malaysia yang berpenduduk 20 juta
sampai penghujung tahun 1999 saja sudah dilaporkan 31.126 kasus HIV/AIDS ke
Departemen Kesehatan yang terdiri atas 25.796 HIV, 3.003 AIDS dan 2.327
meninggal.
Dalam
berita itu disebutkan “Kabupaten Karo yang merupakan daerah tujuan wisata kedua
setelah Parapat, Kabupaten Simalungun Sumatera Utara, cukup rentan terhadap
penularan penyakit kelamin termasuk “HIV/AIDS”. Dalam pernyataan ini ada
beberapa hal yang tidak akurat.
Pertama,
pemakaian terminologi penyakit kelamin tidak tepat karena tidak semua infeksi
yang menular melalui hubungan seks yang tidak aman terjadi pada alat kelamin.
Misalnya, hepatitis B yang juga menular melalui hubungan seks yang tidak aman
sama sekali tidak terjadi infeksi di alat kelamin.
Kedua,
tidak ada daerah atau kelompok yang rentan terhadap epidemi HIV karena sebagai
virus HIV yang terdapat dalam darah, sperma dan cairan vagina hanya menular
melalui cara-cara yang sangat khas (spesifik) yaitu:
(1)
melalui hubungan seks (sanggama), baik heteroseks (laki-laki dengan perempuan),
homoseks (gay), biseks, seks oral dan seks anal tanpa kondom dengan seseorang
yang HIV-positif di dalam dan di luar pernikahan yang sah,
(2)
melalui transfusi darah yang sudah tercemar HIV,
(3)
melalui jarum suntik dan alat-alat kesehatan yang tercemar HIV, dan
(4)
dari seorang wanita yang HIV-positif kepada bayi yang dikandungnya terutama
saat persalinan dan menyusui.
Jadi,
risiko tertular HIV bukan karena daerah itu menjadi tujuan wisata tetapi sangat
dipengaruhi oleh kegiatan penduduk. Apakah mereka melakukan kegiatan yang
berisiko baik di daerahnya atau di luar daerahnya? Kalau jawabannya “Ya” maka
ada risiko tertular.
Persoalannya
adalah seseorang yang terinfeksi HIV tidak mengetahui dirinya sudah tertular
karena tidak ada gejala-gejala yang khas. Kalau pun kelak ada gejala baru
terjadi setelah 5-7 tahun sejak terinfeksi. HIV adalah sejenis retrovirus yang
dapat menggandakan diri pada sel-sel yang ditumpanginya (sel-sel darah putih
yang biasanya menjadi bala tentara melawan bakteri, kuman atau virus yang masuk
ke tubuh). Jika sel-sel darah putih sudah banyak yang dirusak HIV maka sistem
kekebalan tubuh seseorang pun turun sehingga sangat mudah diserang penyakit.
Kondisi inilah yang disebut masa AIDS.
Pencegahan
Biar
pun epidemi HIV terkait dengan fenomena gunung es (iceberg phenomenon), artinya
kasus yang terdeteksi merupakan bagian kecil dari kasus yang tidak terdeteksi
(lihat gambar). Tetapi, hal ini hanya untuk keperluan epidemiologi, misalnya,
untuk merancang program pencegahan, penyediaan obat, fasilitas kesehatan, dll.
Jadi, kalau ada satu kasus, misalnya, seperti di Pematang Siantar (“Seorang Pengidap AIDS Positif Ditemukan di
Pematang Siantar”, Analisa,
17/9-2001), tidak otomatis di Siantar pasti ada 100 kasus. Tetapi, bisa juga
lebih kalau penduduknya melakukan kegiatan berisiko di daerah atau negara lain
yang prevalensi HIV-nya tinggi.
Ketika
tentara kita dikirim sebagai pasukan perdamaian ke Kamboja setelah pulang
mereka menjalani tes HIV dan 11 HIV-positif (Majalah GATRA, 5/8-2000). Hal ini
bisa terjadi karena pada saat itu prevalensi HIV di kalangan pekerja seks 21-64
persen. Artinya, dari 100 pekerja seks antara 21-64 di antaranya HIV-positif.
Maka, jika seseorang melakukan kegiatan berisiko dengan pekerja seks maka
probabilitas (kemungkinan) tertular pun sangat besar apalagi hubungan seks
dilakukan beberpa kali. Kemungkinan tertular HIV dari seorang wanita yang
HIV-positif ke laki-laki melalui sanggama tanpa kondom berkisar antara 0,03-5,6
persen setiap kali sanggama. Biar pun angka ini kecil tetapi karena prevalensi
HIV di kalangan pekerja seks tinggi dan sanggama dilakukan berulang kali maka
risiko tertular pun otomatis besar pula.
Di
bagian lain disebutkan “Tidak hanya bagi kalangan masyarakat “nakal” saja, tapi
juga orang baik baik dapat tertular, misalnya melalui transfusi darah dan lain
sebagainya berkaitan dengan persentuhan darah.” Pernyataan ini merupakan mitos
(anggapan yang keliru) karena HIV tidak memilih-milih orang nakal atau tidak,
zina atau tidak.
Kemungkinan
HIV menular melalui sanggama jika salah satu pasangan HIV-positif dan sanggama
dilakukan tanpa kondom. Ini fakta. Sebaliknya, kalau kedua pasangan itu
HIV-negatif biar pun sanggama dilakukan dalam ikatan pernikahan yang sah tetap
ada risiko tertular kalau sanggama tidak memakai kondom.
Dari
3.914 sampel wanita yang diteliti di berbagai pusat pelayanan kesehatan di 13
provinsi di Indonesia, misalnya, ditemukan 27 ibu rumah tangga yang positif
HIV. Penelitian Yayasan Pelita Ilmu (YPI) terhadap 537 wanita hamil melalui tes
sukarela dengan konseling di rumah sakit, klinik bersalin, klinik keluarga dan
puskesmas di Jakarta (2000) menunjukkan 6 di antaranya positif HIV. Ini
menunjukkan suami mereka melakukan kegiatan berisiko tinggi.
Di
saat epidemi HIV sudah masuk ke populasi yang antara lain ditandai dengan
infeksi HIV di kalangan ibu-ibu rumah tangga dan anak-anak maka upaya untuk
melindungi diri agar tidak tertular HIV dapat dilakukan secara aktif dengan
menghindarkan diri dari kegiatan berisiko. Ini pilihan yang realistis karena
jika seseorang tertular HIV maka harga obat antiretroviral (obat untuk menekan
laju pertumbuhan HIV di dalam darah) sekitar Rp 5 juta/bulan. Jumlah ini belum
termasuk biaya dokter, rumah sakit dan obat-obatan lain. ***
Catatan:
pernah dimuat di https://aidsmediawatch.wordpress.com/2009/08/22/menyikapi-epidemi-hivaids-di-sumatera-utara/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.