Oleh: Syaiful
W. Harahap
[Pemerhati masalah HIV/AIDS dan penulis
buku (1) Pers Meliput AIDSdan (2) Kapan Anda Tes HIV?]
Kasus
HIV/AIDS di Sulawesi Utara (Sulut) sampai 30 September 2002 tercatat 15 yang
terdiri atas 1 HIV dan 14 AIDS serta 5 kematian. Secara nasional tercatat 3.374
kasus dan global 40 juta. Untuk mengingatkan penduduk dunia tentang dampak
epidemi HIV maka setiap 1 Desember diperingati sebagai Hari AIDS Sedunia. Tema
tahun ini adalah Tetap Hidup dengan Tegar: Stigma dan Diskriminasi.
Biar
pun kasus HIV/AIDS di Sulut ‘sangat kecil’ dibanding daerah lain, tetapi angka
itu tidak menggambarkan kenyataan kasus yang sebenarnya karena epidemi HIV/AIDS
erat kaitannya dengan fenomena gunung es (iceberg phenomenon). Kasus
yang terdeteksi hanya sebagian kecil dari kasus yang sebenarnya. Tetapi, kalau
ada satu kasus terdeteksi tidak pula otomatis akan ada sekian kasus.
Jumlah
kasus yang kecil di Sulut terjadi karena beberapa faktor, antara lain (a)
banyak kasus yang terdeteksi di rumah sakit dan praktek dokter tidak
dilaporkan, (b) survailans (tes HIV terhadap kalangan tertentu dalam masyarakat
pada suatu kurun waktu tertentu) tidak dijalankan secara kontiniu, dan (c)
banyak penduduk lokal yang memeriksakan diri ke luar daerah, terutama ke
Jakarta, karena di daerah tidak ada fasilitas tes HIV, di Jakarta kerahasiaan
terjamin dan ada LSM yang memberikan dukungan.
Epidemi
HIV/AIDS tidak mengenal batas kota, wilayah, negara, benua, ras dan agama
sehingga yang perlu diperhatikan justru kasus nasional dan global karena
penularan HIV terjadi melalui perilaku yang berisiko. Di negara-negara yang
‘tertutup’ pun, seperti negara yang berasaskan agama atau ideologi, yang tidak
mempunyai bioskop, hiburan malam dan lokalisasi pelacuran tetap saja ada kasus
HIV/AIDS.
Perilaku Berisiko
Seseorang
berada pada risiko tinggi tertular dan menularkan HIV jika:
(1)
melakukan hubungan seks (sanggama) penetrasi (penis dimasukkan ke dalam
vagina) baik heteroseks (laki-laki dengan perempuan), biseks (laki-laki
dengan perempuan dan dengan laki-laki), seks oral dan seks anal tanpa
kondom dengan pasangan yang berganti-ganti di dalam atau di luar pernikahan
yang sah, serta hubungan seks anal dan seks oral pada homoseks (laki-laki
dengan laki-laki) yang tidak aman;
(2)
melakukan hubungan seks penetrasi baik heteroseks, biseks, seks oral dan
seks anal tanpa kondom dengan seseorang yang suka berganti-ganti pasangan
di dalam atau di luar pernikahan yang sah;
(3)
menerima transfusi darah; dan
(4)
memakai jarum suntik dan semprit secara bersama-sama dengan bergiliran dan
bergantian.
Jadi,
biar pun di Sulut kasus HIV/AIDS kecil tetapi tidak tertutup kemungkinan ada
penduduk lokal yang melakukan perilaku berisiko di luar daerah atau di luar
negeri. Jika ada di antara mereka yang tertular HIV maka ketika kembali ke
daerahnya mereka pun akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara
horizontal antar penduduk lokal. Bagi yang sudah beristri dia akan menularkan
HIV kepada istrinya. Kalau istrinya hamil maka akan terjadi pula penularan
vertical dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya (mother-to-child-transmission/MTCT)
terutama pada saat persalinan dan menyusui dengan air susu ibu (ASI). Bagi yang
belum beristri maka dia akan menularkannya kepada pasangan seksnya atau kepada
pekerja seks.
HIV
(human immunodeficiency virus) adalah sejenis retrovirus yang dapat
menggandakan diri pada sel-sel darah manusia yang ditumpanginya (sel-sel darah
putih yang menjadi benteng pertahanan diri) yang dapat menyebabkan kondisi AIDS
(Acquired Immune Deficiency Syndrome) yaitu cacat kekebalan tubuh
dapatan yang ditandai dengan penyakit-penyakit, disebut infeksi oportunistik,
seperti jamur, sariawan, diare, TB, dll.
Penyebaran
HIV secara horizontal antar penduduk lokal tanpa disadari karena banyak orang
yang perilakunya berisiko tinggi tidak menyadari kalau dirinya sudah tertular
HIV. Hal ini terjadi karena sebelum mencapai masa AIDS (antara 5-10 tahun
setelah tertular) seseorang yang tertular HIV tidak menunjukkan gejala yang
khas.
Tidak
ada keluhan karena mereka tetap hidup biasa seperti orang yang tidak tertular
HIV. Tetapi, biar pun belum mencapai masa AIDS yang bersangkutan sudah dapat
menularkan HIV kepada orang lain melalui perilaku berisiko. Sebaliknya,
penularan akan turun kalau seseorang sudah mencapai masa AIDS karena aktivitas
seks sudah terganggu. Berbagai penyakit yang muncul, dikenal sebagai infeksi
oportunistik, setelah masa AIDS membuat seseorang yang HIV-positif mengalami
gangguan kesehatan.
Selama
ini informasi tentang HIV/AIDS selalu dibalut dengan moral dan agama sehingga
yang ditangkap masyarakat bukan fakta medis tetapi mitos (anggapan yang
salah) tentang HIV/AIDS. Misalnya, penularan HIV dikait-kaitkan dengan zina,
pelacuran, selingkuh, jajan, dll.
Padahal,
sama sekali tidak ada kaitan antara zina, pelacuran, dll. dengan penularan HIV.
HIV hanya menular melalui (1) hubungan seks penetrasi yang tidak terlindungi
(tidak memakai kondom) baik heteroseks, biseks, seks oral dan seks anal di
dalam dan di luar nikah serta homoseks dengan seseorang yang HIV-positif; (2)
transfusi darah yang tercemar HIV; (3) jarum suntik, semprit, jarum tindik,
jarum tattoo, dan alat-alat kesehatan yang tercemar HIV; dan (4) dari seorang
ibu yang HIV-positif kepada anak yang dikandungnya. Penularan ini merupakan
fakta medis (dapat diuji di laboratorium). Jadi, sama sekali tidak ada
kaitannya dengan moral dan agama.
Pekerja Seks
Kasus
HIV/AIDS di Sulut agak khas dibandingkan dengan daerah lain karena lebih
banyak kasus AIDS daripada HIV. Fakta ini menunjukkan mereka sudah lama
tertular HIV sebelum terdeteksi. Mereka tidak menyadari kalau dirinya sudah
tertular HIV sebelum terdeteksi. Tetapi kalau pada rentang waktu sebelum
terdeteksi mereka melakukan perilaku berisiko maka sudah terjadi penyebaran HIV
secara horizontal. Jadi, angka kasus HIV/AIDS yang dilaporkan di Sulut tidak
menggambarkan kenyataan yang sebenarnya.
Angka
itu kian tidak realistis kalau di Sulut sudah dideteksi ada pengguna narkoba
(narkotik dan bahan-bahan berbahaya) dengan suntikan (injecting drug use/IDU).
Penularan melalui jarum suntik dan semprit di kalangan IDU mencapai 89,5%.
Risiko penularan di kalangan IDU sangat besar karena ada semacam ‘budaya’ yang
mengharuskan mereka menggunakan jarum suntik dan semprit secara bersama-sama
dengan bergiliran sebagai tanda setia-kawan. Kalau di antara mereka ada yang
HIV-positif maka ada risiko penularan di antara mereka. Kalau ada IDU yang tertular
maka orang itu pun akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal
dalam masyarakat.
Penyebaran
HIV di Sulut semakin mengkhawatirkan kalau kasus AIDS terdeteksi di kalangan
pekerja seks. Soalnya, selama rentang waktu sebelum terdeteksi tertular HIV
mereka sudah banyak melayani tamu, khususnya penduduk lokal, dari berbagai
kalangan dan usia.
Memang, probabilitas (kemungkinan)
tertular HIV melalui hubungan seks yang tidak aman 1:100. Artinya, dalam 100
kali hubungan seks kemungkinan tertular satu kali. Tetapi, tidak bisa diketahui
kapan terjadi penularan. Apakah pada hubungan seks pertama, kedua, kelima,
kelima puluh atau keseratus? Lagi pula hubungan seks sangat sering dilakukan,
bahkan ada yang melakukannya dengan pasangan yang berganti-ganti, sehingga
probabilitas tertular pun tambah besar.
Penyebaran
HIV akan terus terjadi tanpa disadari karena orang-orang yang HIV-positif tidak
bisa dilihat dengan mata telanjang. Mereka tidak menunjukkan gejala-gejala khas
yang terkait dengan HIV/AIDS.
Maka,
untuk melindungi diri agar tidak tertular dan menularkan HIV hindarilah
perilaku berisiko. Inilah cara yang realistis untuk memutus mata rantai
penyebaran HIV secara horizontal.***
Catatan:
pernah dimuat di https://aidsmediawatch.wordpress.com/2009/08/21/menyibak-penyebaran-hivaids-di-sulawesi-utara/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.