10 Juli 2017

Menyibak Penyebaran HIV/AIDS di Sulawesi Utara

Oleh: Syaiful W. Harahap
[Pemerhati masalah HIV/AIDS dan penulis buku (1) Pers Meliput AIDSdan (2) Kapan Anda Tes HIV?]

Kasus HIV/AIDS di Sulawesi Utara (Sulut) sampai 30 September 2002 tercatat 15 yang terdiri atas 1 HIV dan 14 AIDS serta 5 kematian. Secara nasional tercatat 3.374 kasus dan global 40 juta. Untuk mengingatkan penduduk dunia tentang dampak epidemi HIV maka setiap 1 Desember diperingati sebagai Hari AIDS Sedunia. Tema tahun ini adalah Tetap Hidup dengan Tegar: Stigma dan Diskriminasi.

Biar pun kasus HIV/AIDS di Sulut ‘sangat kecil’ dibanding daerah lain, tetapi angka itu tidak menggambarkan kenyataan kasus yang sebenarnya karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es (iceberg phenomenon). Kasus yang terdeteksi hanya sebagian kecil dari kasus yang sebenarnya. Tetapi, kalau ada satu kasus terdeteksi tidak pula otomatis akan ada sekian kasus.

Jumlah kasus yang kecil di Sulut terjadi karena beberapa faktor, antara lain (a) banyak kasus yang terdeteksi di rumah sakit dan praktek dokter tidak dilaporkan, (b) survailans (tes HIV terhadap kalangan tertentu dalam masyarakat pada suatu kurun waktu tertentu) tidak dijalankan secara kontiniu, dan (c) banyak penduduk lokal yang memeriksakan diri ke luar daerah, terutama ke Jakarta, karena di daerah tidak ada fasilitas tes HIV, di Jakarta kerahasiaan terjamin dan ada LSM yang memberikan dukungan.

Epidemi HIV/AIDS tidak mengenal batas kota, wilayah, negara, benua, ras dan agama sehingga yang perlu diperhatikan justru kasus nasional dan global karena penularan HIV terjadi melalui perilaku yang berisiko. Di negara-negara yang ‘tertutup’ pun, seperti negara yang berasaskan agama atau ideologi, yang tidak mempunyai bioskop, hiburan malam dan lokalisasi pelacuran tetap saja ada kasus HIV/AIDS.

Perilaku Berisiko

Seseorang berada pada risiko tinggi tertular dan menularkan HIV jika:

(1) melakukan hubungan seks (sanggama)  penetrasi (penis dimasukkan ke dalam vagina) baik heteroseks (laki-laki dengan perempuan),  biseks (laki-laki dengan perempuan dan dengan laki-laki),  seks oral dan seks anal tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti di dalam atau di luar pernikahan yang sah, serta hubungan seks anal dan seks oral pada homoseks (laki-laki dengan laki-laki) yang tidak aman;

(2) melakukan hubungan seks penetrasi baik heteroseks,  biseks, seks oral dan seks anal tanpa kondom dengan seseorang yang suka berganti-ganti pasangan di  dalam atau di luar pernikahan yang sah;

(3) menerima transfusi darah; dan

(4) memakai jarum suntik dan semprit secara bersama-sama dengan bergiliran dan bergantian.

Jadi, biar pun di Sulut kasus HIV/AIDS kecil tetapi tidak tertutup kemungkinan ada penduduk lokal yang melakukan perilaku berisiko di luar daerah atau di luar negeri. Jika ada di antara mereka yang tertular HIV maka ketika kembali ke daerahnya mereka  pun akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk lokal. Bagi yang sudah beristri dia akan menularkan HIV kepada istrinya. Kalau istrinya hamil maka akan terjadi pula penularan vertical dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya (mother-to-child-transmission/MTCT) terutama pada saat persalinan dan menyusui dengan air susu ibu (ASI). Bagi yang belum beristri maka dia akan menularkannya kepada pasangan seksnya atau kepada pekerja seks.

HIV (human immunodeficiency virus) adalah sejenis retrovirus yang dapat menggandakan diri pada sel-sel darah manusia yang ditumpanginya (sel-sel darah putih yang menjadi benteng pertahanan diri) yang dapat menyebabkan kondisi AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) yaitu cacat kekebalan tubuh dapatan yang ditandai dengan penyakit-penyakit, disebut infeksi oportunistik, seperti jamur, sariawan, diare, TB, dll.

Penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk lokal tanpa disadari karena banyak orang yang perilakunya berisiko tinggi tidak menyadari kalau dirinya sudah tertular HIV. Hal ini terjadi karena sebelum mencapai masa AIDS (antara 5-10 tahun setelah tertular) seseorang yang tertular HIV tidak menunjukkan gejala yang khas.

Tidak ada keluhan karena mereka tetap hidup biasa seperti orang yang tidak tertular HIV. Tetapi, biar pun belum mencapai masa AIDS yang bersangkutan sudah dapat menularkan HIV kepada orang lain melalui perilaku berisiko. Sebaliknya, penularan akan turun kalau seseorang sudah mencapai masa AIDS karena aktivitas seks sudah terganggu. Berbagai penyakit yang muncul, dikenal sebagai infeksi oportunistik, setelah masa AIDS membuat seseorang yang HIV-positif mengalami gangguan kesehatan.

Selama ini informasi tentang HIV/AIDS selalu dibalut dengan moral dan agama sehingga yang ditangkap masyarakat  bukan fakta medis tetapi mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS. Misalnya, penularan HIV dikait-kaitkan dengan zina, pelacuran, selingkuh, jajan, dll.

Padahal, sama sekali tidak ada kaitan antara zina, pelacuran, dll. dengan penularan HIV. HIV hanya menular melalui (1) hubungan seks penetrasi yang tidak terlindungi (tidak memakai kondom) baik heteroseks, biseks, seks oral dan seks anal di dalam dan di luar nikah serta homoseks dengan seseorang yang HIV-positif; (2) transfusi darah yang tercemar HIV; (3) jarum suntik, semprit, jarum tindik, jarum tattoo, dan alat-alat kesehatan yang tercemar HIV; dan (4) dari seorang ibu yang HIV-positif kepada anak yang dikandungnya. Penularan ini merupakan fakta medis (dapat diuji di laboratorium). Jadi, sama sekali tidak ada kaitannya dengan moral dan agama.

Pekerja Seks 

Kasus HIV/AIDS di Sulut  agak khas dibandingkan dengan daerah lain karena lebih banyak kasus AIDS daripada HIV. Fakta ini menunjukkan mereka sudah lama tertular HIV sebelum terdeteksi. Mereka tidak menyadari kalau dirinya sudah tertular HIV sebelum terdeteksi. Tetapi kalau pada rentang waktu sebelum terdeteksi mereka melakukan perilaku berisiko maka sudah terjadi penyebaran HIV secara horizontal. Jadi, angka kasus HIV/AIDS yang dilaporkan di Sulut tidak menggambarkan kenyataan yang sebenarnya.

Angka itu kian tidak realistis kalau di Sulut sudah dideteksi ada pengguna narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya) dengan suntikan (injecting drug use/IDU). Penularan melalui jarum suntik dan semprit di kalangan IDU mencapai 89,5%. Risiko penularan di kalangan IDU sangat besar karena ada semacam ‘budaya’ yang mengharuskan mereka menggunakan jarum suntik dan semprit secara bersama-sama dengan bergiliran sebagai tanda setia-kawan. Kalau di antara mereka ada yang HIV-positif maka ada risiko penularan di antara mereka. Kalau ada IDU yang tertular maka orang itu pun akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal dalam masyarakat.

Penyebaran HIV di Sulut semakin mengkhawatirkan kalau kasus AIDS terdeteksi di kalangan pekerja seks. Soalnya, selama rentang waktu sebelum terdeteksi tertular HIV mereka sudah banyak melayani tamu, khususnya penduduk lokal, dari berbagai kalangan dan usia.

Memang, probabilitas (kemungkinan) tertular HIV melalui hubungan seks yang tidak aman 1:100. Artinya, dalam 100 kali hubungan seks kemungkinan tertular satu kali. Tetapi, tidak bisa diketahui kapan terjadi penularan. Apakah pada hubungan seks pertama, kedua, kelima, kelima puluh atau keseratus? Lagi pula hubungan seks sangat sering dilakukan, bahkan ada yang melakukannya dengan pasangan yang berganti-ganti, sehingga probabilitas tertular pun tambah besar.

Penyebaran HIV akan terus terjadi tanpa disadari karena orang-orang yang HIV-positif tidak bisa dilihat dengan mata telanjang. Mereka tidak menunjukkan gejala-gejala khas yang terkait dengan HIV/AIDS.

Maka, untuk melindungi diri agar tidak tertular dan menularkan HIV hindarilah perilaku berisiko. Inilah cara yang realistis untuk memutus mata rantai penyebaran HIV secara horizontal.***

Catatan: pernah dimuat di https://aidsmediawatch.wordpress.com/2009/08/21/menyibak-penyebaran-hivaids-di-sulawesi-utara/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.