Oleh Syaiful
W. Harahap
LSM “InfoKespro” Jakarta
[Sumber:
Harian “Bali Post”, 29/6-2001]
Gagasan untuk
mendirikan lembaga pemasyarakatan (LP) khusus narkoba (narkotik dan bahan-bahan
berbahaya) sudah lama mencuat ke permukaan. Ketika menjabat Menteri Hukum dan
Perundang-undangan Yusril Ihza Mahendra mengatakan bahwa salah satu political
will pemerintah saat itu adalah mendirikan LP khusus narkoba.
Pendirian LP khusus narkoba dimaksudkan agar pembinaan narapidana (napi)
narkoba semakin terarah.
Ide
itu seakan-akan tenggelam dimakan berita-berita politik. Bahkan, Yusril sendiri
mundur dari jabatannya. Namun, ketika hasil surveilans HIV di LP Kerobokan,
Bali, menunjukkan angka HIV-positif yang tinggi yaitu dari 55 napi yang
menjalani tes surveilans hasilnya 35 positif (63,64%) gagasan untuk mendirikan
LP dan rumah tahanan (rutan) khusus narkoba pun kembali mencuat ke permukaan.
Dirjen Pemasyarakatan, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Adi Suyatno,
mengatakan tahun ini pihaknya akan membangun rumah tahanan khusus narkoba di
Bangli, Bali, dan kelak di setiap provinsi akan ada pula LP khusus narkoba.
Narkotik
sendiri baru menjadi pusat perhatian ketika penggunaan ecstasy merebak secara
luas di semua lapisan masyarakat. MUI pun mengeluarkan fatwa: ecstasy haram!
Tidak jelas apa tujuan fatwa ini karena sama sekali tidak ada zat-zat yang
haram dalam ecstasy, padahal ada obat yang mengandung alkohol (yang jelas-jelas
haram hukumnya dalam Islam) tetapi tidak dilarang beredar. Masalah narkoba pun
kian marak karena terkait pula dengan infeksi HIV dan virus hepatitis C.
Di
awal tahun 1980-an kita terlena karena angka pengguna narkoba bisa dihitung
dengan jari. Padahal, angka itu kecil karena faktor-faktor yang sangat
realistis, antara lain karena daya beli masyarakat rendah, secara geografis
Indonesia terisolir (sarana transportasi ke luar negeri sangat terbatas yang
ada hanya pesawat terbang; bandingkan dengan Malaysia yang dapat menjangkau
Thailand dengan angkutan darat). Selain itu angka kasus narkoba yang muncul ke
permukaan pun bagaikan puncak dari suatu fenomena gunung es (iceberg
phenomenon) sehingga angka yang sebenarnya jauh lebih besar dari angka
yang diumumkan.
Begitulah.
Bertahun-tahun masalah narkoba seakan-akan tenggelam. Namun, ketika kasus
penularan HIV muncul di kalangan pengguna narkoba, khususnya narkoba suntikan (injecting
drug users/IDUs), barulah kita terkesima. Bahkan, tidak sedikit di antara
IDUs yang sekaligus terinfeksi HIV dan virus hepatitis C. Semuanya bagaikan
kebakaran jenggot.
Tetapi,
semuanya sudah terlambat. Infeksi HIV dan virus hepatitis C di kalangan IDUs
terus bertambah karena penggunaan jarum suntik dan semprit secara bersama
dengan bergiliran meningkatkan risiko penularan di antara pengguna narkoba
suntikan. Sampai 30 April 2001 tercatat 354 kasus HIV/AIDS (18,76% dari kasus
secara nasional) dengan faktor risiko IDUs yang terdiri atas 256 HIVdan 98
AIDS. Jika bertolak dari masa inkubasi HIV sampai mencapai masa AIDS antara
7-12 tahun tentulah penggunaan narkoba suntikan sudah lama terjadi karena sudah
ada yang mencapai masa AIDS pada IDUs.
Menghadapi
realitas sosial itu reaksi-reaksi yang muncul pun cenderung tidak realistis.
Misalnya, rencana membangun LP dan rutan khusus untuk narapidana narkoba.
Rencana mendirikan LP dan rutan narkoba bukan lagi sebatas gagasan. Buktinya,
Pemerintah Provinsi Bali akan segera membangun LP dan rutan khusus napi narkoba
(Bali Post, 11/5-2001). Pembangunan LP dan rutan khusus napi
narkoba dinilai mendesak karena banyak kasus yang berkaitan dengan narkoba.
Pembangunan
LP dan rutan bagi napi narkoba di Bali dikoordinasikan dengan Pimpinan RS Jiwa
Bangli. Napi narkoba dari seluruh Indonesia sendiri akan dipusatkan di rutan
Cirebon, Jawa Barat. Ada yang menilai tidak tepat pembinaan bagi napi narkoba
dicampur dengan napi kriminal.
Penanganan narkoba di Indonesia saat ini
dikoordinasikan oleh BKNN (Badan Koordinasi Narkotika Nasional). Namun, kelak
badan ini tidak hanya bersifat polisional, seperti DEA (Drug Enforcement
Adminstration) di AS, tetapi juga mencakup penanganan berbagai aspek yang
terkait dengan masalah narkoba itu sendiri. Ada tiga aspek yang ditangani BKNN
yaitu pencegahan (preventif), tindakan hukum (represif) dan
rehabilitasi (treatment). Tiga aspek berjalan bersamaan. Untuk
mendukung kerja besar ini keanggotaan BKNN pun terdiri atas berbagai unsur,
seperti polisi dan dari departemen terkait.
Perawatan Lebih Murah
Berkaitan
dengan pembangunan LP dan rutan napi narkoba, seorang pakar narkoba dari AS,
Prof. Wayne Wiebel, yang sudah beberapa kali ke Indonesia untuk keperluan
seminar dan pelatihan narkoba, mengatakan tidak ada manfaat LP khusus narkoba.
Dia menunjuk negaranya yang sudah menghabiskan ratusan juta dolar membangun LP
khusus untuk napi narkoba tetapi tetap tidak membuahkan hasil karena tidak ada
yang bisa menjamin mereka tidak lagi memakai narkoba di LP. Lagi pula, menurut
Dave Burrows, konsultan narkoba di Australia yang juga pernah ke Indonesia,
korban narkoba memerlukan rehabilitasi dan itu tidak akan pernah diperoleh napi
narkoba selama di LP.
Biaya
yang dikeluarkan untuk LP khusus narkoba pun akan sangat besar sedangkan
hasilnya sangat kecil karena tidak bisa dijamin mereka akan menghentikan
pemakaian narkoba setelah menyelesaikan masa hukuman. Bahkan, tidak tertutup
kemungkinan justru pemakaian narkoba meningkat setelah mereka ke luar dari LP
karena selama di LP mereka mendapatkan narkoba dengan kadar keaslian yang lebih
tinggi. Bisa pula terjadi mantan napi narkoba itu akan kembali masuk LP
sehingga mereka pun akan mejadi residivis.
Dunia
medis sendiri tidak mengenal istilah sembuh dalam konteks penyalahgunaan
narkoba. Maka, amatlah berlebihan kalau ada yang mengatakan dirinya bisa
menyembuhkan ketagihan terhadap narkoba karena dalam dunia medis yang dikenal
hanyalah “kemampuan mengontrol diri” bukan sembuh. Selain itu cara-cara yang
dilakukan oleh beberapa LSM dengan menampilkan pengguna narkoba yang dikatakan
sudah sembuh akan berdampak negatif terhadap peningkatan kewaspadaan nasional
terhadap penggunaan narkoba karena orang pun akan berpikir pendek: menggunakan
narkoba tidak menjadi persoalan karena bisa disembuhkan!
Pengalaman
di AS sendiri menunjukkan perawatan kecanduan juah lebih murah daripada
pemenjaraan (Newsletter BeritaNAZA No. 26, 16 April 2001).
Untuk merawat seorang pengguna narkoba dibutuhkan biaya kurang-lebih 4.000
dolar AS per tahun (setara dengan Rp 40 juta), sedangkan biaya yang dikeluarkan
negara untuk seorang narapidana narkoba selama di LP kurang-lebih 20.000 dolar
AS setahun (setara dengan Rp 200 juta). Pada bulan Juni1999, misalnya, di semua
LP di ASD ada 1,9 juta napi. Tentu saja AS mengeluarkan dana yang sangat besar.
Andaikan
biaya hidup napi di Indonesia (makanan dan minuman) Rp 7.500/hari dan biaya
lain, seperti listrik, sabun, pengamanan dll. Rp 2.500/hari maka pemerintah
harus mengeluarkan biaya bagi seorang napi narkoba Rp 10.000/hari. Andaikan
seorang napi narkoba dihukum antara 1 – 4 tahun, maka pemerintah harus
mengeluarkan dana antara Rp 3,65 – Rp 14,6 juta. Celakanya, jika
bebas kelak napi narkoba tadi belum tentu meninggalkan kebiasaannya menggunakan
narkoba. Bahkan, ada risiko tertular HIV dan PMS selama di LP. Jika hakim
memutuskan rehabilitasi yang rata-rata membutuhkan waktu antara 4-6 bulan
dengan biaya berkisar antara Rp 4 –Rp 12 juta maka jelas pemenjaraan bukan cara
yang terbaik untuk menangani napi narkoba jika dikaitkan dengan upaya
rahabilitasi.
Pengadilan
narkoba di negara bagian Arizona, AS, dan 40 negara bagian lainnya diarahkan
untuk memberikan hukuman dalam bentuk perawatan kepada pengguna narkoba
daripada memenjarakan mereka. Rupanya, rakyat AS kian realistis melihat
pemenjaraan napi narkoba sebagai pemborosan uang negara karena tetap tidak
berhasil menang dalam perang melawan narkoba. Jika diibaratkan dalam
peperangan, pemenjaraan napi narkoba hanyalah bagaikan merawat yang
luka-luka sedangkan perang terus berlanjut dan korban berikutnya akan terus
berjatuhan.
Hak Perawatan
Dalam
UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika pun sebenarnya ada pasal-pasal yang
mengacu ke hal itu. Pada pasal 45 disebutkan “Pecandu narkotika wajib menjalani
pengobatan dan/atau perawatan.” Selanjutnya pada pasal-pasal selanjutnya
disebutkan hakim dapat memutuskan pecandu narkotik untuk menjalani pengobatan
atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan sisial yang dihitung sebagai masa
menjalani hukuman. Pada tahun 1976 Mahkamah Agung AS memutuksan jaminan bagi
napi untuk mendapatkan perawatan kesehatan yang memadai sesuai dengan standar
perawatan bagi masyarakat.
Sikap
masyarakat terhadap narkoba sendiri mendua. Di satu sisi masyarakat yang tidak
terkait dengan narkoba menghendaki hukuman berat bagi pengguna narkoba.
Sebaliknya dengan orang-orang yang anggota keluarganya terlibat narkoba
mengharapkan perawatan. Jadi, amatlah disayangkan ketika ada orang tua yang
kaya menganjurkan agar mengukum pengguna narkoba ketika anaknya yang juga
pengguna narkoba sudah dikirimnya ke pusat rehabilitasi di luar negeri.
Begitu
pula dengan institusi pendidikan yang dengan ringan tangan mengeluarkan murid
yang terlibat dengan narkoba. Cara ini tidak mendidik karena anak-anak itu
berhak mendapatkan pendidikan dan mereka pun dapat “disembuhkan” sehingga tetap
dapat mengikuti pelajaran di kelasnya.
Mengeluarkan murid narkoba bukan
merupakan kebijakan Depdiknas sehingga amatlah gegabah sikap kepala sekolah
yang mengeluarkan murid narkoba karena tidak mengacu ke sistem pendidikan
nasional.
LP
sendiri tidak steril dari narkoba. Kenyataan menunjukkan terjadi
peredaran narkoba ilegal di LP. Infeksi HIV pun mengancam napi karena
penggunaan jarum suntik dan semprit bersama dengan bergiliran dan seks yang
tidak aman (tidak memakai kondom). Surveilans HIV di LP Kerobokan, Bali,
misalnya, menunjukkan 35 napi HIV-positif. Pada akhir1997 di AS 2,1% napi pria
dan 3,5% napi wanita HIV-positif. Sedangkan kasus AIDS dalam LP lebih
tinggi 5,5 dibandingkan dengan masyarakat. Penelitian penyakit menular terhadap
orang-orang yang pernah masuk LP pada 1996 ditemukan 17% di antara mereka
ternyata HIV-positif.
Dalam
kaitan pengguna narkoba tidak ada istilah sembuh tetapi seseorang yang
kecanduan dapat mengontrol diri dalam memakai narkoba. Suatu saat dia
akan memakainya lagi karena berbagai faktor. Seseorang yang sudah belasan tahun
meninggalkan narkoba bisa saja kembali memakai narkoba, misalnya, karena menghadapi
persoalan besar seperti perceraian. Hal yang sama terjadi pada perokok. Biar
pun sudah berhenti merokok, tetapi jika suatu saat sedang sendirian di malam
sunyi tentu ada dorongan untuk merokok lagi.
Maka,
pecandu narkoba yang dihukum di LP khusus narkoba pun kelak akan kembali
lagi ke LP itu. Bisa karena kasus narkoba atau kasus lain. Begitu seterusnya.
Hanya dengan cara pendampingan pecandu narkoba dapat mengontrol dirinya
dalam penggunaan narkoba. Pendampingan itu sendiri, lebih populer dengan isitlah
rehabilitasi, tidak harus di rumah sakit atau di pusat rehabilitasi.
Belakangan
ini pecandu narkoba banyak dari kalangan remaja. Ada remaja yang memakai
narkoba karena tidak ingin diperhatikan di sekolahnya. Ada kemungkinan hal ini
terjadi karena orang tua dan guru selalu melihat prestasi anak-anak dari sudut
pandang yang sangat sempit yaitu nilai eksakta, khususnya matematika. Seorang
murid yang mengantungi nilai menggambar 10 tidak berarti di mata guru dan orang
tua kalau angka matematikanya merah.
Selain
itu orang tua dan guru pun sering tidak fair terhadap
anak-anak. Seorang murid yang naik dari peringkat 40 ke 35 hanya dilirik dengan
sebelah mata oleh guru dan orang tua, sedangkan murid yang turun dari peringkat
1 ke peringkat 5 masih tetap dipuja-puja. Padahal, jelas ada perbedaan yang
sangat berarti. Hal ini merupakan bentuk kejahatan dan penghinaan bagi murid.
Guru pun hanya sering hanya memperhatikan murid terpandai dan terbodoh
atau terbaik dan ternakal sehingga murid-murid yang tidak termasuk kategori itu
luput dari perhatian guru. Padahal, semua anak-anak membutuhkan perhatian yang
sama dari guru.
Maka,
tidaklah mengherankan kalau kemudian ada anak-anak kita yang tidak betah duduk
di kelas karena mereka disepelekan hanya karena nilai matematikanya merah.
Inilah yang menjadi salah satu jembatan bagi mereka menuju perilaku-perilaku
yang berisiko, seperti penyalahgunaan narkoba, tawuran dan, amit-amit, kemudian
menjajakan diri atau mencuri untuk mendapatkan uang untuk membeli narkoba (bahan-bahan dari newsletter BeritaNAZA dan sumber-sumber lain).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.