Oleh: Syaiful
W. Harahap
[Pemerhati berita HIV/AIDS di media
massa melalui LSM (media watch) “InfoKespro”
Jakarta]
Dalam
laporan Ditjen PPM&PL Depkes RI tanggal 14 April 2008 tentang statistik
kasus HIV/AIDS di Indonesia pada priode Januari-Maret 2008 dilaporkan 43 kasus
AIDS (baru) di Tanah Papua. Dengan tambahan ini maka kasus AIDS di Papua
mencapai 1.382 pada peringkat 3 secara nasional dari 33 provinsi. Angka ini
tidak menggambarkan kenyataan kasus yang sebenarnya di masyarakat.
Di
kala kita masih berkutat dalam ‘debat kusir’ tentang kondom kasus AIDS kian
banyak yang terdeteksi dan infeksi HIV baru di kalangan dewasa terus bertambah.
Padalah, pada saat yang sama di beberapa negara di Afrika, Amerika Utara, Eropa
Barat dan Australia kasus infeksi baru di kalangan dewasa mulai menunjukkan
grafik yang mendatar.
Mengapa
hal di atas bisa terjadi? Kasus infeksi baru di kalangan dewasa mulai
menunjukkan grafik yang mendatar karena di negara-negara itu penduduknya sudah
mengetahui cara-cara penularan dan pencegahan HIV yang akurat. Sebaliknya, di
Indonesia umumnya dan Asia Pasifik khususnya penduduk tidak mengetahui
cara-cara penularan dan pencegahan HIV yang akurat karena selama ini masyarakat
dijejali dengan materi KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) HIV/AIDS yang
dibalut dengan norma, moral, dan agama. Hal ini membuat fakta medis tentang
HIV/AIDS tidak diketahui masyarakat yang berkembang justru mitos (anggapan yang
salah) tentang HIV/AIDS.
Misalnya,
mengait-ngaitkan penularan HIV dengan zina, pelacuran, ’seks bebas’, ’jajan’,
selingkuh, waria dan homoseksual. Padahal, penularan HIV melalui hubungan seks
(bisa) terjadi kalau salah satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif dan
laki-laki tidak memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seks. Sebaliknya,
kalau dua-duanya HIV-negatif maka tidak ada risiko penularan HIV biar pun
hubungan seks dilakukan dengan dengan zina, pelacuran, ’seks bebas’, ’jajan’,
selingkuh, waria dan homoseksual.
Narkoba
Mencegah
penularan HIV melalui hubungan seks adalah dengan cara tidak melakukan hubungan
seks, di dalam atau di luar nikah, dengan orang yang HIV-positif. Persoalan
yang muncul adalah kita tidak bisa mengenali apakah seseorang sudah tertular
HIV atau belum dengan mata telanjang karena tidak ada tanda, gejala, atau
ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik seseorang yang sudah tertular HIV. Gejala
terkait AIDS baru muncul setelah seseorang yang tertular HIV mencapai masa AIDS
(antara 5-10 tahun setelah tertular HIV). Tapi, perlu diingat pada kurun waktu
itu sudah bisa terjadi penularan HIV melalui: (a) hubungan seks tanpa kondom di
dalam atau di luar nikah, (b) transfusi darah dan cangkok organ tubuh yang
tidak diskrining, (c) jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum
tattoo, dan alat-alat kesehatan yang dipakai bergantian, (d) air susu ibu
(ASI).
Kondisi
di ataslah yang membuat penularan HIV di masyarakat terus terjadi karena banyak
orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV sehingga tanpa
disadarinya pun dia menularkan HIV kepada orang lain. Dengan 147 kasus yang
terdeteksi pada masa AIDS tentulah sebelum mereka terdeteksi mereka sudah
menularkan HIV kepada orang tanpa mereka sadari. Kasus yang terdeteksi ini
hanya sabagian kecil karena epidemi HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung
es (yang muncul ke permukaan laut hanya kecil sedangkan di dalam laut tumpukan
es jauh lebih besar).
Yang
memprihatinkan adalah dari 147 kasus AIDS itu ternyata 115 terdeteksi di
kalangan pengguna narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya) dengan jarum
suntik yang dipakai secara bergiliran dengan bergantian. Pengguna narkoba
suntikan ini biasanya menyuntik ramai-ramai. Andaikan satu kelompok ada lima,
maka kemungkinan ada 575 (115×5) pengguna narkoba suntikan yang berisiko
tertular HIV. Kalau yang 575 ini pun mempunyak kelompok lain maka kian banyak
pengguna narkoba yang berisiko tertular HIV.
Celaknya,
pengguna narkoba juga berinteraksi dengan masyarakat sehingga terjadilah
penyebaran HIV ke masyarakat. Bagi pengguna narkoba yang beristri dia akan menularkan
HIV kepada istrinya (horizontal). Kalau istrinya tertular maka ada pula risiko
penularan HIV kepada bayi yang kelak dikandungnya (vertikal). Bisa pula dia
menularkan HIV kepada pasangan seks selain istrinya atau kepada pekerja seks.
Sedangkan bagi yang tidak beristri dia akan menularkan HIV kepada pasangan
seksnya atau kepada pekerja seks. Kalau ada pekerja seks yang tertular HIV maka
laki-laki yang mengencaninya tanpa kondom akan berisiko pula tertular HIV.
Inilah salah satu mata rantai penyebaran HIV antar penduduk.
Tes Sukarela
Seseorang
(laki-laki dan perempuan) berisiko tinggi tertular HIV jika pernah melakukan
perilaku berisiko yaitu melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di
luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang
sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks. Bagi orang-orang yang
pernah melakukan perilaku berisiko ini maka mereka sudah ada kemungkinan
tertular HIV tanpa mereka sadari.
Dalam
kaitan inilah perlu digalakkan penyuluhan yang terus-menerus dengan materi KIE
yang akurat yaitu mengedepankan fakta medis. HIV/AIDS adalah fakta medis
artinya dapat diuji di laboratorium dengan teknololgi kedokteran sehingga
cara-cara pencegahannya pun dapat dilakukan dengan medis.
HIV
adalah virus yang tergolong sebagai retrovirus yaitu virus yang bisa
menggandakan diri di sel-sel darah putih manusia. Dalam jumlah yang dapat
ditularkan HIV terdapat dalam (a) darah (laki-laki dan perempuan), (b) air mani
(laki-laki, dalam sperma tidak ada HIV), (c) cairan vagina (perempuan), dan (d)
air susu ibu (perempuan).
Penularan
melalui darah bisa terjadi kalau darah yang mengandung HIV masuk ke dalam tubuh
melalui transfusi darah, jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum
tattoo, dan alat-alat kesehatan. Penularan HIV melalui hubungan seks, di dalam
atau di luar nikah, bisa terjadi kalau air mani dan cairan vagina yang
mengandung HIV masuk ke dalam badan saat melakukan hubungan seks tanpa kondom.
Penularan HIV melalui ASI bisa terjadi kalau ASI yang mengandung HIV masuk ke
dalam tubuh melalui proses menyusui.
Fakta
(medis) di atas terkait penularan HIV menunjukkan tidak ada kaitan langsung
antara penularan HIV dengan norma, moral, dan agama. Untuk itulah dalam
memberikan penyuluhan HIV/AIDS diutamakan fakta medis agar masyarakat menangkap
fakta bukat mitos.
Orang-orang
yang merasa pernah melakukan perilaku berisiko diajak untuk memeriksakan diri
dengan menjalani tes HIV secara sukarela. Penduduk yang terdeteksi sudah
tertular HIV dapat ditangani secara medis, misalnya, melalui pemberian obat
antiretroviral (ARV). Obat ini memperlambat perkembangan HIV di dalam darah
sehingga kondisi kesehatan tetap terjaga. Selain itu melalui orang-orang yang
terdeteksi HIV mata rantai penyebaran HIV diputus sehingga penularan bisa
ditekan. Semakin banyak kasus HIV terdteksi maka kian banyak pula mata rantai
penyularan HIV yang dapat diputus. ***
Catatan:
pernah dimuat di https://aidsmediawatch.wordpress.com/2009/07/16/menghentikan-penyebaran-hivaids-di-tanah-papua/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.