Oleh: Syaiful
W. Harahap
Pemerhati HIV/AIDS melalui LSM (media
watch) “InfoKespro”, Jakarta dan instruktur pada pelatihan
wartawan untuk penulisan berita HIV/AIDS yang komprehensif
Awal
tahun 1990-an Thailand sudah diingatkan oleh kalangan epidemiolog untuk
menanggulangi epidemic HIV agar kelak tidak menjadi masalah. Thailand menampik
dengan alasan penduduk negeri itu berbudaya dan beragama. Apa yang terjadi
sepuluh tahun kemudian? Devisa dari sektor pariwisata hanya bisa menutupui dua
pertiga biaya penanggulangan HIV/AIDS. Hal yang sama akan terjadi Indonesia.
Kasus
HIV/AIDS di Thailand terus meroket sampai awal tahun 2000-an jumlahnya mencapai
1 juta. Untunglah kalangan agamawan, dalam hal ini vihara, menjadi tulang
punggung pemerintah menangani kasus HIV/AIDS. Vihara menampung orang-orang yang
sudah mencapai masa AIDS.
Indonesia
menjadi negara ketiga tercepat pertambahan kasus HIV/AIDS di Asia setelah India
dan Cina. Tahun 2001 Dr Peter Piot, waktu itu direktur eksekutif UNAIDS, sudah
mengingatkan Indonesia di ICAAP VI, Melbourne, Australia, tentang percepatan
kasus HIV/AIDS, terutama di kalangan pengguna narkoba.
Peringatan
itu tidak ditanggapi pemerintah. Sekarang lebih dari 40 persen kasus AIDS di
Indonesia terdeteksi di kalangan pengguna narkoba. Berbagai kalangan
mulai panik menghadapi pertambahan kasus HIV/AIDS yang terus meningkat yang
dapat disimak dari berita di media massa.
Pada
priode Maret-Agustus 2008 ada 13 berita HIV/AIDS di harian ”Radar Banten”.
Luar biasa. Ini merupakan tanggung jawab sosial. ”Radar Banten” sudah
menempatkan diri sebagai agen perubahan, di sisi lain pernyataan narasumber
tidak akurat. Kemampuan wartawan untuk menulis berita HIV/AIDS yang
komprehensif pun masih rendah.
Mata Rantai
Pada
berita ”Lakukan Tes Darah Secara Intens, Antisipasi
Penyabaran HIV/AIDS” (31/3) ada fakta yang luput. Kasus
HIV/AIDS pada pekerja seks dan karyawan tempat-tempat hiburan justru merupakan
gambaran ril kasus HIV/AIDS di masyarakat lokal. Pertama, pekerja
seks yang terdeteksi HIV-positif di Banten tertular HIV dari laki-laki penduduk
lokal atau pendatang. Kalau ini yang terjadi maka konsentrasi HIV di
masyarakat, terutama laki-laki dewasa yang sering melakukan hubungan seks tanpa
kondom dengan pekerja seks, sudah tinggi. Laki-laki yang menularkan HIV kepada
pekerja seks itulah yang justru menjadi mata rantai penyebaran HIV antar
penduduk. Laki-laki ini dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai suami, pacar,
duda, lajang, perjaka, remaja yang bekerja sebagai pegawai, karyawan, sopir,
pedagang, petani, nelayan, mahasiswa, pelajar, perampok, dll.
Kedua, pekerja seks
yang terdeteksi HIV-positif di Banten sudah mengidap HIV ketika mulai ’praktek’
di Banten. Kalau ini yang terjadi maka laki-laki penduduk lokal atau pendatang
berisiko tinggi tertular HIV jika mereka tidak memakai kondom ketika melakukan
hubungan seks dengan pekerja seks. Laki-laki yang tertular HIV dari pekerja
seks itulah kelak yang akan menjadi mata rantai penyebaran HIV antar penduduk.
Penularan
HIV bisa terjadi setiap saat ketika terjadi hubungan seks tanpa kondom di dalam
atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang
yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks. Biar pun tes HIV
dilakukan setiap hari risiko penularan tetap tidak bisa dicegah. Tes yang ada
sekarang yaitu rapid test dan ELISA hanya
mencari antibody HIV bukan virus HIV. Antibody HIV baru bisa terdeteksi pada
darah seseorang yang tertular HIV setelah tiga bulan tertular.
Pada
rentang waktu sebelum terdeteksi HIV-positif (disebut masa jendela) sudah
terjadi penularan tanpa disadari. Hal ini terjadi karena tidak ada tanda,
gejala atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik orang-orang yang sudah tertular
HIV sebelum masa AIDS (antara 5-10 tahun).
Jika
sudah masa AIDS akan mulai muncul penyakit yang disebut infeksi oportunistik,
seperti diare, pnemonia, sariawan, TB, dll. Karena penyakit yang seharusnya
mudah sembuh ini tapi sangat sulit sembuh pada Odha (Orang dengah HIV/AIDS)
maka mereka akan berobat ke rumah sakit. Dokter yang jeli akan melihat kaitan
gejala itu dengan HIV/AIDS berdasarkan prilaku pasien. Di hari-hari mendatang
kasus HIV/AIDS akan terus terdeteksi di rumah sakit. Fakta ini tidak terungkap
pada berita ”RSUD Kembali Temukan Penderita HIV/AIDS” (24/7).
Realitas
di balik fakta kematian Odha juga sering tidak muncul. Berita ”Sudah 27
Orang Penderita yang Meninggal Dunia, Fenomena Penyebaran Virus AIDS/HIV di
Banten” (20/4) tidak muncul realitas terkait kematian Odha. Begitu pula
pada berita ”33 Warga Meninggal Terjangkit AIDS, 63 Dinyatakan Positif HIV”
(28/6). Sebelum 27 dan 33 Odha itu meninggal tanpa disadari mereka sudah
menularkan HIV kepada orang lain. Ini mata rantai penyebaran HIV secara
horizontal antar penduduk. Bagi yang beristri akan menularkan HIV kepada
istrinya, pasangan seksnya atau pekerja seks. Kalau istrinya tertular maka ada
risiko penularan terhadap anak yang dikandungnya (vertikal) terutama pada saat
melahirkan dan menyusui dengan air susu ibu (ASI).
Realitas
sosial terkait epidemi HIV juga tidak muncul pada berita ”76 Kantung
Positif HIV/AIDS” (26/4). Celakanya, pernyataan Arif Mulyawan, Program
Officer KPAP Banten, juga tidak akurat. Dalam berita dia mengatakan tidak
mengetahui indentitas pendonor yang darahnya HIV-positif karena dia tidak tahu
asal donor. Ini ngawur. Di Unit-unit Transfusi Darah (UTD) PMI berlaku unliked
anonymouskarena yang diskrining bukan donor tapi darah donor. Tidak ada identitas
pada darah donor yang diskrining HIV.
Tes Konfirmasi
Fakta
ini menujukkan di masyarakat umum, di luar kalangan pekerja seks, waria, dan
karyawan tempat hiburan, sudah ada kasus HIV/AIDS. Mereka tidak terdeteksi.
Mereka inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV karena mereka tidak
menyadari dirinya sudah tertular HIV.
Persoalan
lain yang sering tidak akurat adalah tentang angka HIV/AIDS. Ada kasus HIV yang
terdeteksi dari survailans tes untuk mencari prevalensi (angka perbandingan
antara yang HIV-positif dan HIV-negatif pada kalangan tertentu dan pada kurun
waktu yang tertentu pula). Ada kasus HIV yang terdeteksi pada skrining darah
donor di UTD PMI. Kasus-kasus ini belum positif sebagai HIV karena ada
ketentuan setiap tes HIV harus dikonfirmasi dengan tes lain. Hasil tes ini
tidak perlu dikonfirmasi karena data itu hanya untuk keperluan epidemiologi,
seperti merancang kegiatan penanggulangan, penyediaan obat, dll. Tes di PMI pun
tidak dikonfirmasi karena hanya untuk keperluan transfusi.
Angka
kasus HIV dan AIDS yang valid adalah tes HIV yang sudah dikonfirmasi. Misalnya,
tes pertama dengan rapid test atau ELISAdikonfiramsi
dengan tes Western blot. Bisa juga tes dilakukan tiga kali dengan ELISA tapi
dengan cara dan reagen yang berbeda. Ini dilakukan jika sudah ada gejala
terkait AIDS atau riwayat perilaku yang bersangkutan berisiko tertular HIV.
Wartawan sering tidak jeli tentang angka ini. Narasumber pun tidak pula
semuanya paham.
Ketika
di banyak negara kasus infeksi HIV baru di kalangan dewasa mulai menunjukkan
grafik yang mendatar di Indonesia justru sebaliknya. Kasus HIV/AIDS terus
muncul. Komentar pun muncul. Ada berita ”Penyebaran HIV/AIDS Harus Ditekan”
(5/8). Tapi, Hezi F Zebua, Ketua Komisi B DPRD Lebak, sebagai narasumber justru
menyampiakan mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS. Hezi mengatakan: ”….
peningkatan jumlah penyakit ini, sebagian besar akibat seks bebas ….” Ini tidak
akurat karna tidak ada kaitan langsung antara penularan HIV dengan seks bebas
dan narkoba. Penularan HIV melalui hubungan seks, di dalam atau di luar nikah,
bisa terjadi kalau salah satu dari pasangan itu HIV-positif dan laki-laki tidak
memakai kondom setiap sanggama.
Salah
satu faktor yang membuat epidemi HIV/AIDS menjadi persoalan besar adalah karena
selama ini materi KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) tentang HIV selalu
dibalut dengan norma, moral, dan agama. Akibatnya, yang muncul hanya mitos.
Padahal, HIV/AIDS adalah fakta medis sehingga pencegahannya pun dapat dilakukan
dengan teknologi kedokteran.
Upaya
menekan laju penyebaran HIV melalui hubungan seks adalah dengan menganjurkan
agar laki-laki yang melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan
pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti
pasangan selalu memakai kondom. Sedangkan melalui jaum suntik pada pengguna
narkoba dilakukan dengan program metadhon yaitu mengganti narkoba suntikan
dengan narkoba cair sintetis yang ditelan.
Laki-laki
dan perempuan yang pernah melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah
dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering
berganti-ganti pasangan agar menjalani tes HIV. Semakin banyak kasus HIV/AIDS
terdeteksi maka kian banyak pula mata rantai penyebaran HIV yang diputus. ***
Catatan:
pernah dimuat di https://aidsmediawatch.wordpress.com/2009/07/16/menekan-laju-penyebaran-hiv-di-banten-2/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.