Tanggapan terhadap berita HIV/AIDS di Harian “FAJAR” Makassar
Oleh: Syaiful W. Harahap, direktur
eksekutif LSM (media watch) “InfoKespro” Jakarta
[Sumber: Harian ”FAJAR”, Makassar, 18 September
2007]
BERITA “Pengidap HIV/AIDS Harus Dikarantina,
Penanggulangan Belum Sentuh Penyebab Utama” yang dimuat di
Harian “Fajar” edisi 2/7/2007 merupakan langkah mundur karena yang
dikemukakan hanya mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS. Justru mitos
inilah faktor utama yang mendorong penyebaran HIV/AIDS karena masyarakat tidak
memahami HIV/AIDS sebagai fakta medis. Dalam berita disebutkan “penyebab
utamanya (maksudnya penularan HIV, penulis) adalah seks bebas dan penggunaan
narkoba” yang dikutip wartawan dari pernyataan Pengurus Dewan Pimpinan Pusat
Hizbut Thahrir Indonesia, Hj Ida Saadah.
Ini tidak akurat karena penularan HIV melalui hubungan
seks, di dalam dan di luar nikah, (bisa) terjadi kalau salah satu atau
kedua-dua pasangan yang melakukan hubungan seks HIV-positif. Sebaliknya, kalau
satu pasangan dua-duanya HIV-negatif maka tidak ada risiko penularan HIV
melalui hubungan seks biar pun dilakukan di luar nikah, zina, melacur, jajan,
selingkuh, dan homoseksual.
Penggunaan ‘seks bebas’ pun tidak akurat karena tidak
jelas apa yang dimaksud dengan seks bebas. Istilah ini merupakan terjemahan
bebas dari free sex yang tidak dikenal dalam kosa kata Bahasa Inggris. Kalau
‘seks bebas’ diartikan sebagai zina, maka lagi-lagi ngawur mengaitkan ‘seks
bebas’ dengan penularan HIV.
Penularan HIV melalui hubungan seks (bisa) terjadi
karena kondisi hubungan seks (salah satu atau dua-duanya HIV-positif), bukan
sifat hubungan seks (di luar nikah, zina, melacur, jajan, selingkuh, dan
homoseksual). Inilah yang tidak dipahami banyak orang sehingga tidak sedikit di
antara mereka yang tidak memahami fakta ini tertular HIV.
Maka, mencegah penularan HIV melalui hubungan seks
adalah jangan melakukan hubungan seks, di dalam nikah atau di luar nikah,
dengan orang yang HIV-positif. Dalam jumlah yang dapat ditularkan HIV terdapat
dalam air mani dan cairan vagina sehingga (bisa) terjadi penularan kalau penis
bergesekan langsung dengan vagina.
Seperti diketahui banyak kasus penularan HIV terjadi
tanpa disadari karena tidak ada tanda, gejala, atau ciri-ciri yang khas AIDS
pada orang-orang yang sudah tertular HIV sebelum masa AIDS (antara 5 – 10 tahun
setelah tertular HIV). Orang-orang yang (baru) tertular pun tidak menyadari
dirinya sudah tertular HIV. Tapi, pada rentang waktu itu seseorang yang
tertular HIV sudah bisa menularkan HIV kepada orang lain melalui: (a) hubungan
seks di dalam dan di luar nikah, (b) transfusi darah, (c) jarum suntik, jarum
tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo, dan cangkok organ tubuh, dan (d) air
susu ibu (ASI).
Bertolak dari fakta di atas maka pernyataan yang
menyebutkan “harus dikarantina untuk memutus rantai penyebab utama penyakit
itu” tidak objektif karena penularan HIV terjadi tanpa disadari. Biar pun semua
orang yang sudah terdeteksi HIV-positif dikarantina di masyarakat masih banyak
orang yang sudah tertular HIV tapi tidak terdeteksi. Justru mereka inilah yang
menjadi mata rantai penyebaran HIV.
Selama ini di masyarakat muncul anggapan bahwa pekerja
sekslah yang menjadi biang keladi penyebaran HIV. Ini tidak akurat karena yang
menularkan HIV kepada pekerja seks adalah laki-laki yang dalam kehidupan
sehari-hari bisa sebagai seorang suami, pacar, remaja, lajang, atau duda yang
bekerja sebagai pegawai, karyawan, pelajar, mahasiswa, sopir, tukang becak,
pencopet, dll. Tapi, karena tidak ada tanda, gejala, atau ciri-ciri yang khas
AIDS pada diri mereka maka mereka pun tidak menyadari bahwa dirinya sudah
tertular HIV. Akibatnya, mereka pun tidak menyadari sudah menularkan HIV kepada
orang lain.
Disebutkan pula penyebaran HIV/AIDS terjadi karena
“tidak menyentuh penyebab utamanya, tapi justru menyuburkan perilaku seks bebas
dan penggunaan narkoba”. Ini pun lagi-lagi tidak akurat. Pertama, tidak ada
kaitan langsung antara penularan HIV dengan ‘seks bebas’. Kedua, penularan HIV
pada penyalahguna narkoba (bisa) terjadi kalau narkoba dipakai dengan jarum
suntik secara bersama-sama dengan bergiliran dan bergantian, dan tentu saja
harus ada di antara mereka yang HIV-positif. Kalau menyalahgunakan narkoba
tanpa jarum suntik dengan bergantian maka tidak ada risiko penularan HIV.
Pernyataan dr Nur Fatmawati, yang menyebutkan
“penanggulangan HIV/AIDS selama ini tidak efektif” dengan “legalisasi kondom
yang justru memicu orang untuk seks bebas. Padahal, kondom tidak aman.”
Ditambahkan “Menurut penelitian Prof Dr Dadang Hawari, pori-pori kondom lebih
besar dari ukuran virus HIV.” Tidak ada penelitian Prof. Dr Dadang Hawari
tentang pori-pori kondom. Lagi pula kondom yang berpori-pori adalah kondom yang
terbuat dari usus hewan. Kondom ini beredar di AS dengan harga sekitar 5 dolar,
sedangkan kondom yang beredar di Indonesia adalah kondom yang terbuat dari
getah lateks yang tidak berpori-pori. Selain itu mencegah penularan HIV melalui
hubungan seks di dalam atau di luar nikah adalah dengan cara menghindarkan
pergesekan penis dengan vagina secara langsung.
Tapi, karena selama ini materi KIE (komunikasi,
informasi dan edukasi) tentang HIV/AIDS tidak mengedepankan fakta medis, maka
masyarakat pun tidak memahami cara-cara pencegahan yang akurat. Untuk memerangi
HIV/AIDS, bukan memerangi Odha (Orang dengan HIV/AIDS), masyarakat harus
memperoleh informasi yang akurat tentang cara-cara penularan dan pencegahan
HIV/AIDS. Inilah salah satu kuncinya. Bukan dengan mengarantina Odha karena di
masyarakat banyak orang yang sudah tertular HIV tapi tidak terdeteksi. Mereka
inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.