Tanggapan
terhadap Berita di Harian “Lampung Post”
Oleh: Syaiful W. Harahap
[Pemerhati
masalah HIV/AIDS dan direktur eksekutif LSM (media
watch) “InfoKespro”
Jakarta]
Berita
“Pengidap AIDS 5.000-an Orang”
di Harian “Lampung Post” edisi
16/11-2007 menggelitik. Biar pun angka itu estimasi atau perkiraan, tapi
signifikan dengan realitas sosial. Dengan angka 144 yang terdeteksi sudah
saatnya Pemprov. Lampung meningkatkan penyuluhan agar masyarakat memahami
cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS.
Selama
ini informasi tentang HIV/AIDS yang sampai ke masyarakat tidak akurat karena
dibumbui dengan norma, moral, dan agama sehingga banyak orang yang tidak
menyadari dirinya sudah tertular HIV. Misalnya, mengait-ngaitkan penularan HIV
dengan zina di pelacuran. Padahal, penularan HIV melalui hubungan
seks, di dalam atau di luar nikah, bisa terjadi kalau salah satu dari pasangan
itu HIV-positif. Kalau dua-duanya HIV-negatif maka tidak ada risiko penularan
HIV biar pun zina, pelacuran, jajan, selingkuh, waria, dan homoseksual.
Fakta
di ataslah yang sering tidak sampai ke masyarakat. Akibatnya, masyarakat tidak
menyadari perilakunya berisiko tertular HIV karena mereka tidak melakukan zina
di pelacuran tapi dengan ’perempuan baik-baik’, ’anak sekolah’, dan ’ayam
kampus’ di hotel, rumah, apartemen, dll.
Dalam
berita juga disebutkan estimasi berdasarkan ’ …. faktor peredaran narkoba serta
seks bebas.’ Penggunaan kata ’seks bebas’ ini rancu dan ngawur karena merupakan
terjemahan bebas dari free sex yang
justru tidak ada dalam kosa kata bahasa Inggris. Lagi pula kalau yang dimaksud
dengan ’seks bebas’ adalah zina atau melacur maka lagi-lagi salah kaprah karena
tidak ada kaitan langsung antara penularan HIV dengan zina dan pelacuran.
Di
bagian lain disebutkan pula “Sedikitnya jumlah orang dengan HIV/AIDS yang
tercatat disebabkan kini masih banyaknya stigma yang salah dari masyarakat
terhadap para penderita.” Pernyataan ini tidak pas. Jumlah kasus HIV/AIDS yang
terdeteksi kecil karena banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah
tertular HIV karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik seseorang
yang sudah tertular HIV sebelum masa AIDS (antara 5 – 10 tahun setelah tertular
HIV). Pada kurun waktu inilah terjadi penularan horizontal antar penduduk tanpa
disadari. Orang-orang inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV melalui:
(a)
hubungan seks di dalam atau di luar nikah,
(b)
transfusi darah,
(c)
jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo, dan alat-alat
kesehatan, (d) cangkok organ tubuh, dan
(e)
air susu ibu.
Pemberitaan
di media massa tidak sepenuhnya kesalahan wartawan karena sumber berita pun
sering menyampaikan informasi yang salah. Misalnya, penggunaan istilah atau
terminologi terkait HIV/AIDS yang tidak pas. Contohnya, penggunaan kata seks
bebas. Yang benar adalah seks yang tidak aman yaitu hubungan seks, di dalam
atau di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti tanpa kondom. Begitu
pula dengan angka kasus. Sering terjadi hasil survailans tes HIV di kalangan
tertentu dipublikasikan sebagai kasus HIV/AIDS padahal hasil survailans dipakai
untuk prevalensi (perbandingan antara yang HIV-positif dan HIV-negatif di
kalangan tertentu pada kurun waktu yang tertentu pula). Angka prevalensi
diperlukan untuk keperluan epidemiologis, misalnya, untuk merangcang
langkah-langkah penanggulangan, penyediaan obat, dll.
Upaya
mendekatkan fasilitas tes HIV melalui voluntary
counseling test/VCT (tes HIV secara sukarela dengan konseling)
kepada masyarakat juga tidak akan bermanfaat kalau pemahaman masyarakat
terhadap HIV/AIDS tidak akurat. Pengalaman di banyak daerah menunjukkan target
VCT lebih ditujukan kepada pekerja seks. Padahal, yang menjadi mata rantai
penyebaran HIV bukan pekerja seks tapi laki-laki yang menjadi pelanggan pekerja
seks.
Yang
menularkan HIV kepada pekarja seks justru laki-laki. Kalau ada pekerja seks
yang tertular HIV maka laki-laki lain yang mengencani pekerja seks tadi
berisiko pula tertular HIV. Kalau laki-laki tadi tertular HIV maka dia akan
menjadi mata rantai penyebaran HIV. Yang beristri akan menularkan HIV kepada
istrinya. Kalau istrinya tertular maka ada risiko penularan HIV kepada bayi
yang dikandung istrinya kelak. Yang tidak beristri akan menularkan HIV kepada
pacaranya, pasangan seksnya atau pekerja seks lain.
Disebutkan
pula ” …. nantinya kami membuka klinik-klinik mobile di
mal-mal agar masyarakat bisa secara dekat dan nyaman untuk memeriksakan …..”
Tes HIV tidak semudah tes gula darah atau hepatitis karena menyangkut stigma
dan diskriminasi. Orang-orang yang mendatangi klinik itu akan menjadi tontonan.
Risiko
penularan HIV pada pengguna narkoba suntikan terjadi karena mereka memakai
jarum suntik secara bersama-sama dengan bergiliran. Kalau ada di antara mereka
yang HIV-positif maka yang lain akan berisiko tertular HIV karena darah yang
memakai jarum suntik bisa masuk ke dalam jarum suntik dan tabungnya.
Belakangan
ini banyak kasus HIV/AIDS yang terdeteksi dari kalangan pengguna narkoba
suntikan. Hal ini terjadi karena pengguna narkoba, terutama remaja, diwajibkan
menjalani tes HIV jika hendak mengikui program rehabilitasi. Sebaliknya,
orang-orang yang tertular melalui hubungan seks tidak bisa dideteksi karena
tidak ada mekanisme yang membuat mereka wajib menjalani tes HIV.
Selain
itu karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik orang-orang yang
sudah tertular HIV maka banyak di antara mereka yang tidak menyadari dirinya
sudah tertular HIV. Untuk itulah penyuluhan denan materi KIE (komunikasi,
informasi dan edukasi) HIV/AIDS yang akurat harus digencarkan agar masyarakat
menyadari perilakunya: berisiko atau tidak berisiko.
Orang-orang
yang perilakunya berisiko tinggi tertular HIV adalah yang pernah melakukan
hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti
atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja
seks. Mereka inilah yang perlu dibujuk agar mau menjalani tes HIV secara
sukarela.
Semakin
banyak orang yang terdeteksi HIV-positif maka kian banyak pula mata rantai
penyebaran HIV yang diputus. Pada gilirannya angka kasus baru infeksi HIV pun
dapat ditekan. ***
Catatan:
pernah dimuat di https://aidsmediawatch.wordpress.com/2009/08/22/tanggapan-terhadap-berita-di-harian-%E2%80%9Clampung-post%E2%80%9D/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.