Tanggapan
terhadap berita HIV/AIDS di Harian “Pakuan Raya”,
Bogor
Oleh: Syaiful
W. Harahap
[Sumber: Newsletter “infoAIDS”
edisi No 12/Januari 2007]
“Perda Penanggulangan AIDS Dibentuk.” Ini judul berita di Harian “Pakuan Raya”, 24/5-2006. Berita ini menggelitik karena ada kesan
dengan undang-undang atau peraturan daerah (Perda) epidemi HIV/AIDS dapat
ditanggulangi. Beberapa provinsi, kabupaten dan kota juga sedang menggodog
Perda AIDS. Jika persoalan yang mendasar terkait epidemi HIV/AIDS tidak
disentuh maka UU atau Perda akan sia-sia. Bak menggantang asap.
Di
saat epidemi HIV/AIDS (mulai) menjadi persoalan baru kita kalang-kabut.
Padahal, tahun 2001 Dr. Peter Piot, Direktur Eksekutif UNAIDS (Badan PBB yang
khusus menangani AIDS), sudah mengingatkan Indonesia tentang peningkatan kasus
HIV/AIDS di Kongres AIDS Internasional Asia Pasifik (ICAAP) VI di Melbourne,
Australia. Tapi, sama sekali tidak ada tanggapan positif dari Indonesia.
Akibatnya,
kasus demi kasus mulai terdeteksi sampai melewati angka 10.000. Perlu diingat
angka ini pun hanya ‘angka semu’ karena tidak menggambarkan kasus yang
sebenarnya. Epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es yaitu
kasus yang terdeteksi hanya sebagian kecil dari kasus yang sebenarnya di
masyarakat.
Menularkan HIV
Hal
itu terjadi karena tidak ada tanda, gejala atau ciri-ciri yang khas AIDS pada
fisik seseorang yang sudah tertular HIV sebelum mencapai masa AIDS (antara 5 –
10 tahun setelah tertular HIV). Tapi, yang bersangkutan sudah bisa menularkan
HIV kepada orang lain tanpa disadari melalui: (a) hubungan seks tanpa kondom di
dalam atau di luar nikah, (b) transfusi darah, (c) jarum suntik, jarum tindik,
jarum akupunktur, jarum tattoo dan alat-alat kesehatan, (d) cangkok organ
tubuh, (e) dari ibu yang HIV-positif ke anak yang dikandungnya pada saat
persalinan dan menyusui dengan air susu ibu/ASI (HIV/AIDS bukan penyakit
turunan tapi penyakit menular sehingga bisa dicegah).
Kondisi
di ataslah yang membuat epidemi HIV/AIDS kian pelik karena penularan secara
horizontal antar penduduk terjadi secara diam-diam karena tidak disadari.
Banyak penduduk yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV akhirnya
menjadi mata rantai penyebaran HIV.
Bertolak
dari fakta ini maka UU atau Perda tidak akan bisa mencegah penularan HIV yang
terjadi secara diam-diam antar penduduk karena orang-orang yang sudah tertular
HIV tidak bisa dilihat dengan mata telanjang.
Salah
satu tujuan UU atau Perda adalah ingin menjerat orang yang menularkan HIV.
Tentu saja ini sangat naïf karena banyak orang yang tidak menyadari dirinya
sudah tertular HIV sehingga dia pun tidak menyadari dirinya menjadi mata rantai
penularan HIV.
Maka,
yang dibidik UU dan Perda AIDS adalah pekerja seks komersial (PSK). Ini pun,
maaf, lagi-lagi naïf karena PSK justru tertular HIV dari laki-laki. Lalu, kalau
ada PSK yang tertular maka laki-laki yang datang mengencaninya pun berisiko
pula tertular HIV. Nah, dalam kaitan ini kalau UU atau Perda hanya menjerat PSK
maka hal itu tidak ada manfaatnya karena laki-laki yang menularkan HIV kepada
PSK tetap bebas menularkan HIV ke orang lain sebagai mata rantai.
Aspek
lain yang dibidik UU dan Perda adalah kewajiban memakai kondom di lokasi atau
lokalisasi pelacuran. Ini mengacu ke Thailand yang dikabarkan berhasil menekan
kasus baru HIV. Tapi, belakangan ada persoalan baru di Thailand. Para ‘hidung
belang’ membawa PSK ke luar dari lokasi atau lokalisasi pelacuran sehingga
mereka tidak wajib lagi memakai kondom. Tentu saja hal ini bisa menambah kasus
baru HIV.
Nah,
kalau aturan Thailand itu dipakai sebagai acuran untuk UU dan Perda di Indonesia
maka lagi-lagi pekerjaan itu ‘bak menggantang asap’ karena secara de
jure tidak ada lokasi atau lokalisasi pelacuran di Indonesia.
Sedangkan dalam perda pemakaian kondom diwajibkan bagi ‘hidung belang’. Maka,
di mana atau kepada siapa kewajiban memakai kondom itu mengikat secara hukum?
Mitos AIDS
Lagi
pula di daerah yang sudah ada Perda AIDS, seperti Papua, Jawa Timur, Bali, dan
Riau tidak menunjukkan kemajuan yang nyata dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS.
Lagi pula, biar pun di daerah-daerah itu kegiatan ‘seks bebas’ (istilah
ini ngawur tapi selalu dipakai) tidak ada secara de
facto dan de jure, tapi bisa saja penduduk daerah atau
kota tersebut tertular di daerah atau kota lain bahkan di luar negeri. Ketika
dia kembali ke daerah atau kotanya maka dia akan menjadi mata rantai penyebaran
HIV. Ini semua terjadi tanpa disadari.
Di
negara yang menetapkan agama dan kitab suci sebagai dasar negara pun tetap saja
ada kasus HIV/AIDS biar pun secara de factodan de jure tidak
ada lokalisasi pelacuran. Di Arab Saudi, misalnya, sampai Maret 2006 dilaporkan
lebih dari 9.000 kasus HIV/AIDS. Bahkan, 84 bayi dirawat di rumah sakit di sana
karena penyakit terkait AIDS. Begitu pula dengan di Nangro Aceh Darussalam
(NAD) yang sudah menerapkan syariat Islam sebagai hukum tetap saja ada kasus
HIV/AIDS yang dilaporkan.
Maka,
yang penting adalah upaya meningkatkan pemahaman penduduk tentang cara-cara
pencegahan HIV yang bernalar (logis, realistis) bukan dengan balutan moral dan
agama.
Di kawasan Eropa Barat, Amerika Utara,
Australia dan Afrika kasus infeksi HIV baru di kalangan dewasa mulai
menunjukkan grafik yang mendatar. Mengapa hal ini bisa terjadi? Tentu saja
bukan karena obat atau vaksin tapi masyarakat di sana memahami cara-cara
pencegahan HIV yang realistis yang mengedepankan aspek medis.
Sebaliknya,
di kawasan Asia Pasifik kasus infeksi baru di kalangan dewasa justru meningkat
tajam. Indonesia sendiri merupakan salah satu dari tiga negara yang percepatan
kasus HIV-nya paling cepat setelah India dan Cina. Mengapa hal ini terjadi? Ya,
karena materi KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) tentang HIV/AIDS selalu
dibalut dengan moral dan agama sehingga yang muncul hanya mitos (anggapan yang
salah). Misalnya, mengaitkan penularan HIV dengan zina, pelacuran, selingkuh,
jajan, waria dan gay.
Padahal,
tidak ada kaitan langsung penularan HIV dengan zina, pelacuran, selingkuh,
jajan, waria dan gay. Penularan HIV melalui hubungan seks, di dalam atau di
luar nikah, (bisa) terjadi kalau salah satu atau dua-duanya HIV-positif dan
laki-laki tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan seks. Sebaliknya,
kalau dua-duanya HIV-negatif maka tidak akan pernah terjadi penularan HIV
melalui hubungan seks biar pun dilakukan dengan zina, pelacuran, selingkuh,
jajan, waria dan gay.
Untuk
memutus mata rantai penyebaran HIV antar penduduk perlu ditingkatkan penyuluhan
yaitu mengajak penduduk (laki-laki dan perempuan) yang pernah melakukan
hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang
bergani-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan,
seperti PSK, untuk menjalani tes HIV secara sukarela. Semakin banyak kasus
HIV/AIDS terdeteksi maka kian banyak pula mata rantai penyebaran HIV yang dapat
diputuskan.
Nah,
mengapa kita tetap ngotot (tidak mau mengalah) merancang
perda yang menghabiskan jutaan rupiah uang rakyat tanpa hasil yang nyata bagi
kesehatan masyarakat? *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.