Oleh: Syaiful
W. Harahap
[Sumber: Newsletter “infoAIDS”
edisi No. 8/Desember 2006]
Kasus HIV/AIDS
secara nasional terus meroket menuju puncak epidemi. Ketika banyak negara
‘kalang-kabut’ menghadapi kasus AIDS pemimpin kita justru menampik kemungkinan
AIDS ‘masuk’ ke Indonesia. Tapi, apa yang terjadi dua dekade kemudian? Kasus
HIV/AIDS terus bertambah dengan pasti. Secara nasional sampai 30 September 2006
dilaporkan 11.604 kasus HIV/AIDS. Kalangan ahli memperkirakan kasus
HIV/AIDS di Indonesia berkisar dari 90.000 sampai 130.000. Daerah pun
berlomba-lomba meneluarkan peraturan
daerah (perda) penanggulangan AIDS, tapi, lagi-lagi dengan moral.
Kalau
saja peringatan Dr. Peter Piot, Direktur Eksekutif UNAIDS (badan PBB yang
khusus menangani AIDS), pada Kongres Internasional AIDS Asia Pasifik VI
(Melbourne, Australia, Oktober 2001) yang menyebutkan bahwa kasus HIV/AIDS di
Indonesia, terutama penularan melalui jarum suntik pada penyalahguna narkoba (injecting
drug user/IDU) sudah mengkhawatirkan ditanggapi dengan ikhlas mungkin
penyebaran HIV melalui IDU dapat ditekan. Faktor risiko (modus penularan) HIV
melalui IDU di Indonesia mencapai 50,31 persen. Bandingkan dengan penularan
melalui hubungan seks (heteroseksual) yang mencapai 40,30 persen.
Tapi,
lagi-lagi pemerintah tidak bergeming. Bahkan, pernyataan pejabat dan pakar
tentang HIV/AIDS di media massa nasional pun tetap mengumbar mitos (anggapan
yang salah). Bahkan, banyak pejabat daerah yang membusungkan dada karena tidak
ada laporan kasus HIV/AIDS di daerahnya atau karena daerahnya tidak tercantum
dalam ‘daftar kasus AIDS berdasarkan provinsi’.
Kasus
HIV/AIDS tidak seperti demam berdarah, diare, atau flu burung karena seseorang
yang tertular HIV tidak menunjukkan gejala, tanda, atau ciri-ciri yang khas
AIDS pada fisiknya sebelum mencapai masa AIDS (secara statistic antara 5 – 10
tahun setelah tertular). Namun, pada rentang waktu itu penularan bisa terjadi tanpa
disadari. Penularan terjadi melalui cara-cara yang sangat khas yaitu (a)
hubungan seks di dalam dan di luar nikah serta homoseks tanpa kondom, (b)
transfusi darah, (c) jarum suntik, dan (d) air susu ibu (ASI).
Kasus Bertambah
Akibatnya,
banyak kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi. Kasus HIV/AIDS tidak pula bisa
dideteksi dengan kasat mata. Kasus HIV/AIDS hanya bisa dideteksi melalui tes
HIV dengan menggunakan darah. Itulah sebabnya epidemi HIV/AIDS erat kaitannya
dengan fenomena gunung es. Artinya, kasus yang terdeteksi hanya sebagian kecil
dari kasus yang ada. Tapi, tidak ada perbandingan yang ril antara kasus yang
terdeteksi dengan kasus yang tidak terdeteksi.
Belakangan
ini pertambahan kasus HIV/AIDS di semua daerah meningkat dengan tajam. Inilah
yang membuat banyak daerah kelabakan bak kebakaran jenggot. Padahal, penemuan
kasus yang besar itu terjadi karena ada kegiatan tes HIV yang gencar melalui
klinik-klinik VCT (voluntary counseling and testing) yaitu klinik yang
menyediakan sarana untuk tes HIV sesuai dengan standar prosedur operasi tes HIV
yang didanai oleh Global Fund.
Tapi,
banyak daerah yang tidak memahami hal itu dan melihatnya sebagai persoalan
besar. Maka, ramai-ramailah daerah merancang peraturan daerah (perda)
penanggulangan AIDS. Sampai sekarang sudah ada tujuh daerah (kota, kabupaten,
dan provinsi) yang menelurkan Perda yaitu 1 Kabupaten Nabire (2003), 2
Kabupaten Merauke (2003), 3 Provinsi Jawa Timur (2004), 4 Kabupaten Puncak Jaya
(2005), 5 Provinsi Bali (2006), 6 Provinsi Riau (2006), dan 7 Kota Sorong
(2006).
Hasilnya?
Nol besar. Buktinya, kasus HIV/AIDS di daerah-daerah yang sudah menelurkan
Perda itu tetap meroket. Bahkan, di Papua yang menelurkan empat Perda kasus
HIV/AIDS di kalangan ibu rumah tangga lebih banyak daripada di kalangan pekerja
seks.
Mengapa
hal itu terjadi? Ya, karena penularan HIV secara horizontal antara penduduk
terjadi tanpa disadari. Hal ini terjadi karena banyak orang yang tidak (mau)
menyadari dirinya sudah tertular HIV. Selama ini materi KIE (komunikasi,
informasi, dan edukasi) tentang HIV/AIDS dibalut dengan moral dan agama sehingga
yang muncul hanya mitos. Misalnya, penularan HIV dikait-kaitkan dengan zina,
pelacuran, ‘seks bebas’, selingkuh, jajan, waria, dan homoseks.
Padahal,
penularan HIV melalui hubungan seks di dalam atau di luar nikah serta homoseks
bisa terjadi kalau salah satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif dan
laki-laki tidak memakai kondom setiap kali hubungan seks. Sebaliknya, kalau
dua-duanya HIV-negatif maka tidak akan terjadi penularan HIV biar pun hubungan
seks dilakukan dengan zina, melacur, ‘seks bebas’, jajan, selingkuh atau
homoseks.
Perda Mitos
Ternyata
dalam Perda pun yang ditonjolkan sebagai upaya penanggulangan dan pencegahan
justru mitos. Tidak ada cara-cara yang realistis ditawarkan sebagai upaya
pencegahan dalam Perda. Dalam Perda Kab Puncak Jaya No 14/2005, misalnya,
disebutkan pada Pasal 5 ayat 1 “Pencegahan HIV/AIDS dan IMS dilakukan melalui
cara (a) Tidak melakukan hubungan seksual secara menyimpang dan berganti-ganti
pasangan seks.” Ini jelas moral karena tidak ada kaitan langsung antara seks yang
menyimpang dengan penularan HIV.
Pada
Perda Prov Jawa Timur No. 5/2004 disebutkan pada pasal 3 ayat 3 c “Melaksanakan
penanggulangan penyakit menular seksual (PMS) secara terpadu dan berkala di
tempat-tempat perilaku beresiko tinggi, termasuk didalamnya keharusan
penggunaan kondom 100%”. Nah, ini juga mitos. Tidak ada kaitan langsung
penularan HIV dengan “tempat-tempat perilaku beresiko tinggi”. Lagi pula ini
eufemisme. Sebut saja tempat pelacuran, lokasi atau lokalisasi pelacuran!
Perda
Prov Bali No 3/2006 juga sarat moral. Pasal 9 disebutkan “Setiap orang yang
melakukan hubungan seksual berisiko wajib melakukan upaya pencegahan”. Mengapa
tidak memakai kalimat yang denotative? Pasal ini akan lebih bermakna kalau
berbunyi “Setiap orang, laki-laki atau perempuan, yang melakukan hubungan seks
di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan
seseorang yang sering berganti-ganti pasangan wajib memakai kondom.”
Perda
Prov Riau No. 4/2006 juga mengedepankan moral dalam mencegah HIV/AIDS. Pasal 5
disebutkan cara-cara mencegah HIV yaitu (a) Meningkatkan Iman dan Taqwa, (b)
Tidak melakukan hubungan seksual diluar perkawinan yang sah. (c) Setia pada
pasangan tetap dan atau tidak melakukan seks bebas. Tiga cara ini jelas salah
nalar karena tidak ada kaitannya secara langsung dengan penularan HIV. Bahkan,
Perda ini menyuburkan stigma (cap buruk) kepada orang yang tertular HIV karena
dikategorikan sebagai orang yang ‘tidak beriman dan tidak bertaqwa’.
Kalau
penanggulangan HIV/AIDS tetap mengusung mitos maka epidemi HIV akan menjadi
‘bom waktu’ ledakan AIDS di masa yang akan datang. Maka, apakah kita akan tetap
mengedepankan moral dan agama dalam penanggulangan AIDS di negari yang agamis
ini dan berbudaya tinggi ini? *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.