Oleh: Syaiful
W. Harahap
LSM “InfoKespro” Jakarta
Ketika banyak negara ‘kalang-kabut’
menghadapi kasus AIDS di awal epidemi pemimpin kita justru menampik kemungkinan
AIDS ‘masuk’ ke Indonesia dengan alasan yang moralistik. Tapi, apa yang
terjadi dua dekade kemudian? Kasus HIV/AIDS secara nasional terus meroket
menuju puncak epidemi sebagai ’bom waktu’ ledakan kasus AIDS. Secara nasional
sampai 30 September 2007 dilaporkan 16.288 kasus HIV/AIDS. Kalangan ahli
memperkirakan kasus HIV/AIDS di Indonesia berkisar dari 90.000 sampai 130.000.
Daerah pun berlomba-lomba membuat peraturan daerah (perda) penanggulangan AIDS.
Tapi, lagi-lagi hasilnya nol karena penanggulangan AIDS di perda hanya dengan
moral.
Kalau
saja peringatan Dr. Peter Piot, Direktur Eksekutif UNAIDS (badan PBB yang
khusus menangani AIDS), pada Kongres Internasional AIDS Asia Pasifik VI
(Melbourne, Australia, Oktober 2001) yang menyebutkan bahwa kasus HIV/AIDS di
Indonesia, terutama penularan melalui jarum suntik pada penyalahguna narkoba
sudah mengkhawatirkan ditanggapi dengan ikhlas mungkin penyebaran HIV melalui
IDU dapat ditekan. Faktor risiko (modus penularan) HIV melalui IDU di Indonesia
mencapai 50,31 persen. Bandingkan dengan penularan melalui hubungan seks
(heteroseksual) yang mencapai 40,30 persen.
Tapi,
lagi-lagi pemerintah tidak bergeming. Bahkan, pernyataan pejabat dan pakar
tentang HIV/AIDS di media massa nasional pun tetap mengumbar mitos (anggapan
yang salah). Ada pejabat yang menampik fakta tentang kasus AIDS di daerahnya
dengan alasan di daerahnya tidak ada lokalisasi pelacuran, penduduknya taat
menjalankan agama, masyarakatnya berbudaya, dll. Bahkan, banyak pejabat daerah
yang membusungkan dada karena tidak ada laporan kasus HIV/AIDS di daerahnya.
Pemahaman yang tidak akurat itulah yang
menjadi salah satu faktor yang membuat penanggulangan AIDS melempem. Padahal,
seseorang yang tertular HIV tidak menunjukkan gejala-gejala yang khas AIDS pada
fisiknya sebelum mencapai masa AIDS (secara statistik antara 5 – 10 tahun
setelah tertular). Tapi, pada rentang waktu itu penularan bisa terjadi tanpa
disadari. Penularan terjadi melalui cara-cara yang sangat khas, yaitu:
(a)
hubungan seks di dalam dan di luar nikah serta homoseks tanpa kondom,
(b)
transfusi darah,
(c)
jarum suntik, dan
(d)
air susu ibu (ASI).
Akibatnya,
banyak kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi. Kasus HIV/AIDS tidak pula bisa
dideteksi dengan kasat mata. Kasus HIV/AIDS hanya bisa dideteksi melalui tes
HIV dengan menggunakan darah. Itulah sebabnya epidemi HIV/AIDS erat kaitannya
dengan fenomena gunung es. Artinya, kasus yang terdeteksi hanya sebagian kecil
dari kasus yang ada. Tapi, tidak ada perbandingan yang ril antara kasus yang
terdeteksi dengan kasus yang tidak terdeteksi.
Belakangan
ini pertambahan kasus HIV/AIDS di semua daerah meningkat dengan tajam. Inilah
yang membuat banyak daerah kelabakan bak kebakaran jenggot. Padahal, penemuan
kasus yang besar itu terjadi karena ada kegiatan tes HIV yang gencar melalui
klinik-klinik VCT (voluntary counseling and testing).
Tapi,
banyak daerah yang tidak memahami hal itu dan melihatnya sebagai persoalan
besar. Maka, ramai-ramailah daerah merancang peraturan daerah (perda)
penanggulangan AIDS. Sampai sekarang sudah ada tujuh daerah (kota, kabupaten,
dan provinsi) yang menelurkan Perda AIDS yaitu: 1 Kabupaten Nabire (2003), 2
Kabupaten Merauke (2003), 3 Provinsi Jawa Timur (2004), 4 Kabupaten Puncak Jaya
(2005), 5 Provinsi Bali (2006), 6 Provinsi Riau (2006), dan 7 Kota Sorong
(2006).
Hasilnya?
Nol besar. Sama sekali tidak ada cara-cara pencegahan yang konkret yang
ditawarkan perda-perda itu. Penanggulangan ditawarkan melalui cara-cara yang
sangat moralistik. Padahal, HIV/AIDS adalah fakta medis sehingga pencegahannya
pun dapat dilakukan dengan teknologi kedokteran.
Penularan
HIV secara horizontal antara penduduk terjadi tanpa disadari karena banyak
orang yang tidak (mau) menyadari dirinya sudah tertular HIV. Selama ini materi
KIE (komunikasi, informasi, dan edukasi) tentang HIV/AIDS dibalut dengan moral
dan agama sehingga yang muncul hanya mitos. Misalnya, penularan HIV
dikait-kaitkan dengan zina, pelacuran, ‘seks bebas’, selingkuh, jajan, waria,
dan homoseks.
Padahal,
penularan HIV bisa terjadi melalui hubungan seks di dalam atau di luar nikah
serta homoseks kalau salah satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif dan
laki-laki tidak memakai kondom setiap kali hubungan seks. Sebaliknya, kalau
dua-duanya HIV-negatif maka tidak akan terjadi penularan HIV biar pun hubungan
seks dilakukan dengan zina, melacur, ‘seks bebas’, jajan, selingkuh atau
homoseks. Sayang, fakta ini tidak pernah muncul sehingga masyarakat tidak
memahani penularan HIV sebagai fakta medsi dengan akurat.
Ternyata dalam Perda pun yang ditonjolkan
sebagai upaya penanggulangan dan pencegahan justru mitos. Tidak ada cara-cara
yang realistis ditawarkan sebagai upaya pencegahan dalam Perda.
Dalam
Perda Kab Puncak Jaya No 14/2005, misalnya, disebutkan pada Pasal 5 ayat 1
“Pencegahan HIV/AIDS dan IMS dilakukan melalui cara (a) Tidak melakukan
hubungan seksual secara menyimpang dan berganti-ganti pasangan seks.” Ini jelas
moral karena tidak ada kaitan langsung antara seks yang menyimpang dengan
penularan HIV.
Pada
Perda Prov Jawa Timur No. 5/2004 disebutkan pada pasal 3 ayat 3 c “Melaksanakan
penanggulangan penyakit menular seksual (PMS) secara terpadu dan berkala di
tempat-tempat perilaku beresiko tinggi, termasuk didalamnya keharusan
penggunaan kondom 100%”. Nah, ini juga mitos. Tidak ada kaitan langsung
penularan HIV dengan “tempat-tempat perilaku beresiko tinggi”. Lagi pula ini
eufemisme. Sebut saja tempat pelacuran, lokasi atau lokalisasi pelacuran!
Perda
Prov Bali No 3/2006 juga sarat moral. Pasal 9 disebutkan “Setiap orang yang
melakukan hubungan seksual berisiko wajib melakukan upaya pencegahan”. Mengapa
tidak memakai kalimat yang denotative? Pasal ini akan lebih bermakna kalau
berbunyi “Setiap orang, laki-laki atau perempuan, yang melakukan hubungan seks
di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan
seseorang yang sering berganti-ganti pasangan wajib memakai kondom.”
Perda
Prov Riau No. 4/2006 juga mengedepankan moral dalam mencegah HIV/AIDS. Pasal 5
disebutkan cara-cara mencegah HIV yaitu (a) Meningkatkan Iman dan Taqwa, (b)
Tidak melakukan hubungan seksual diluar perkawinan yang sah. (c) Setia pada
pasangan tetap dan atau tidak melakukan seks bebas. Tiga cara ini jelas salah
nalar karena tidak ada kaitannya secara langsung dengan penularan HIV. Bahkan,
Perda ini menyuburkan stigma (cap buruk) kepada orang yang tertular HIV karena
dikategorikan sebagai orang yang ‘tidak beriman dan tidak bertaqwa’.
Kalau
penanggulangan HIV/AIDS tetap mengusung mitos maka epidemi HIV akan menjadi
‘bom waktu’ ledakan AIDS di masa yang akan datang. ***
Catatan:
pernah dimuat di https://aidsmediawatch.wordpress.com/2009/08/22/menanggulangi-aids-dengan-mengusung-mitos-2/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.