Oleh: Syaiful W.
Harahap*
[Sumber:
Harian “Swara Kita”, Mando, 20 Agustus 2009]
PEMPROV Kalimantan
Barat (Kalbar) menjadi daerah ke-30 yang menelurkan peraturan daerah (Perda)
penanggulangan AIDS melalui Perda No. 2 tanggal 15 Juni 2009 ten-tang
Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS di Provinsi Kalimantan Barat. Sudah
30 daerah, provinsi, kabupaten dan kota yang sudah mene-luarkan perda AIDS.
Apa-kah penanggulangan dan pencegahan HIV/AIDS yang ditawarkan di perda-perda
itu (bisa) bekerja? Sampai Maret 2009 Kalbar menempati peringkat keenam secara
nasional dengan 730 kasus AIDS.
Gagasan
menerbitkan perda untuk mendukung penanggulangan AIDS di Indonesia ’berkiblat’
ke Thailand. Dikabarkan insiden infeksi HIV baru di kalangan dewasa di Negeri
Gajah Putih itu mulai menurun melalui ’program wajib kondom 100 persen’. Muncul
pemikiran untuk menerapkan hal yang sama di Indonesia. Dimulai di Kabupaten
Nabire, Papua Barat, melalui Perda No 18 tahun 2003 yang disahkan tanggal 31
Januari 2003.
Daerah-darah
lain pun kemudian berlomba menelurkan perda penanggulangan AIDS.
Salah satu cara pencegahan yang
ditawarkan dalam perda-perda AIDS adalah ’penggunaan kondom 100 persen’.
Program ini di Thiland merupakan ekor dari serangkaian program penanggulangan
yang komprehensif. Celakanya, perda-perda AIDS justru mencomot ’ekor’ program
Thailand menjadi ’kepala’ program.
Mekanisme Kontrol
Program
’100 persen kondom’ bisa diterapkan di Thailand karena ada lokalisasi pelacuran
dan rumah bordir. Sedangkan di Indonesia semua lokalisasi sudah ditutup.
Bahkan, beberapa daerah membuat perda anti pelacuran, anti minuman keras, dan
anti maksiat dengan penegakan hukum yang ketat, seperti razia terhadap
pasangan-pasangan di losmen dan hotel melati. Sedangkan ’praktek pelacuran’
yang menjadi salah salah satu pemicu penyebaran HIV tidak hanya terjadi di
losmen dan hotel melati, tapi bisa saja terjadi di hotel berbintang, rumah,
tempat kos, lapangan terbuka, dll.
Penerapan
’program 100 persen kondom’ di Indonesia tidak bisa dijalankan karena tidak ada
lokasi atau lokaliasi pelacuran dan rumah bordir. Salah satu alat kontrol
program ini adalah pemeriksaan rutin terhadap pekerja seks yang bekerja di
lokasi atau lokalisasi pelacuran dan rumah bordir. Jika ada pekerja seks yang
terdeteksi mengidap IMS maka itu membuktikan ada pelanggan yang tidak memakai
kondom ketika melakukan hubungan seks dengan pekerja seks. Pengelola akan
ditindak secara bertahap sampai penutupan lokasi atau rumah bordir.
Dalam
Perda AIDS Kalbar pada pasal 15 ayat 1 disebutkan: Pencegahan HIV dan AIDS
bertujuan untuk melindungi setiap orang agar tidak tertular HIV dan tidak
menularkan kepada orang lain yang meliputi: (b) Program Pemakaian Kondom 100%
pada setiap hubungan seks berisiko. Dalam pasal 1 ayat 13 disebutkan: Perilaku
Seksual Beresiko adalah perilaku berganti-ganti pasangan seksual tanpa
menggunakan kondom.
Ada
salah paham yang besar di Indonesia karena mengaitkan berganti-ganti pasangan
dengan pelacuran yang juga disebut sebagai ’seks bebas’ (istilah ini rancu
karena merupakan terjemahan bebas dari free sex yang tidak dikenal dalam kosa
kata Bahasa Inggris). Padahal, berganti-ganti pasangan pun bisa terjadi di
dalam ikatan pernikahan yang sah (seperti kawin-cerai), perselingkuhan, ’kumpul
kebo’, kawin kontrak, dll.
Celakanya,
lelaki ’hidung belang’ biasanya tidak ganti-ganti pasangan karena mereka
mempunyai langganan atau ’pacar’ di kalangan pekerja seks. Karena tidak
berganti-ganti pasangan maka mereka mengangap tidak berisiko. Ini terjadi
karena selama ini yang disebut perilaku berisiko hanya ’melakukan hubungan seks
dengan pasangan yang berganti-ganti’. Padahal, perilaku berisiko tertular HIV
juba bisa terjadi jika melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di
luar nikah dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti
pekerja seks.
Pertanyaannya
kemudian adalah: Bagaimana mengontrol kewajiban memakai kondom pada hubungan
seks berisiko? Sayang dalam perda tidak ada mekanisme pengawasannya. Tentu saja
tidak ada karena di Kalbar tidak ada lokalisasi dan rumah bordir yang ’resmi’.
Maka, upaya untuk memutus mata rantai penyebaran HIV di masyarakat melalui
’program pemakaian kondom’ ini pun tidak akan jalan.
Ketika
Indonesia gencar mengadopsi program kondom ini di Thailand justru mulai terjadi
kontra produktif terhadap program ini. Banyak lelaki ’hidung belang’ yang
membawa pekerja seks ke luar dari lokalisasi pelacuran atau rumah bordir
sehingga mereka tidak lagi terikat dengan kewajiban memakai kondom.
Mendeteksi HIV
Pasal 15 ayat 1 huruf disebutkan:
Pencegahan HIV dan AIDS bertujuan untuk melindungi setiap orang agar tidak
tertular HIV dan tidak menularkan kepada orang lain yang meliputi: (e)
Pelayanan Pencegahan Penularan dari ibu ke anak (PMTCT/Prevention Mother
Transmittion to Child Transmission).
Pertanyaannya
adalah: Bagaimana mekanisme mendeteksi HIV di kalangan ibu-ibu hamil? Dalam
perda ini tidak ada cara yang ditawarkan. Pasal ini akan berguna jika ada
mekanisme untuk mendeteksi HIV di kalangan ibu-ibu hamil. Malaysia, misalnya,
menerapkan skrining rutin terhadap terhadap perempuan hamil.
Pada
bagian ketujuh tentang pemutusan mata rantai penularan ditujukan kepada orang
yang sudah mengetahui dirinya HIV-positif. Misalnya, pasal 20 ayat a
disebutkan: Setiap orang yang telah mengetahui dirinya terinfeksi HIV dan AIDS
wajib melindungi pasangan seksualnya dengan melakukan upaya pencegahan dengan
menggunakan kondom.
Persoalannya
adalah lebih dari 90 persen orang-orang yang sudah tertular HIV tidak
menyadarinya karena tidak ada tanda, gejala atau ciri-ciri yang khas AIDS pada
fisiknya sebelum mencapai masa AIDS (secara statistik antara 5-15 tahun setelah
tertular HIV). Pada rentang waktu ini terjadi penyebaran HIV tanpa disadari
oleh orang-orang yang sudah HIV-positif.
Lagi-lagi
pada pasal 23 disebutkan: Setiap orang yang melakukan hubungan seks beresiko
wajib melakukan upaya pencegahan yang efektif dengan cara menggunakan kondom.
Kalau dikaitkan dengan pasal 1 ayat 13 maka tidak jelas kepada siapa pasal ini
ditujukan. Pasal ini akan bekerja jika berbunyi: Setiap orang yang melakukan
hubungan seks, di dalam atau di luar nikah di wilayah Kalimantan Barat atau di
luar Kalimantan Barat, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan
seseorang yang sering berganti-ganti pasangan wajib memakai kondom.
Salah
satu cara yang efektif memutus mata rantai penyebaran HIV secara horizontal
antara penduduk adalah dengan mendeteksi kasus-kasus HIV di masyarakat dengan
menambahkan pasal yang berbunyi: Setiap orang yang sudah pernah melakukan
hubungan seks, di dalam atau di luar nikah di wilayah Kalimantan Barat atau di
luar Kalimantan Barat, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan
seseorang yang sering berganti-ganti pasangan tidak memakai kondom diwajibkan
menjalani tes HIV secara sukarela.
Orang-orang
yang sudah tertular HIV di masyarakat yang belum terdeteksi akan menjadi mata
rantai penyebaran HIV secara horizontal, al. melalui hubungan seks tanpa
kondom, tanpa mereka sadari. Kasus HIV di masyarakat dapat dilihat dari deteksi
di klinik VCT atau rumah sakit dan skrining darah donor di PMI.
Dibandingkan
dengan perda-perda yang sudah ada Perda AIDS Kalbar selangkah lebih maju. Tapi,
perda ini juga bisa mendorong stigmatitasi (pemberian cap buruk) dan
diskriminasi (pembedaan perlakuan) terhadap Odha karena memasukkan ’iman dan
taqwa’ sebagai bagian dari kebijakan pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS
(pasal 37 ayat i). Ini mengesankan orang-orang yang tertular HIV ’tidak beriman
dan tidak bertaqwa’.
Perda
ini juga merendahkan harkat dan martabat manusia dengan menyebutkan pelacur
atau pekerja seks sebagai penjaja seks. Pekerja seks tidak menjajakan seks
(diri). Yang mendatangi pekerja seks justru laki-laki. Maka, yang menularkan
HIV kepada pekeja seks adalah laki-laki penduduk lokal atau pendatang yang
dalam kehidupan sehari-hari ada yang sebagai suami, duda, lajang atau remaja.
Laki-laki inilah yang justru menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat.
Lagi-lagi tanpa mereka sadari.
Untuk
itulah diperlukan penyuluhan yang terus-menerus dengan materi KIE yang akurat
agar penduduk memahami cara-cara penularan dan pencegahan HIV sehingga mereka
bisa menimbang-nimbang perilakunya. Pada akhirnya diharapkan penduduk yang
menyadari perilakunya berisiko tertular HIV agar menjalani tes HIV secara
sukarela. (*Penulis adalah kontributor Swara Kita untuk berita-berita khusus
kesehatan di Jakarta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.