Oleh: Syaiful
W. Harahap
(Pemerhati berita HIV/AIDS di media
massa melalui LSM (media watch) ‘InfoKespro‘,
Jakarta)
Akhirnya
Pemprov DKI Jakarta ikut juga menelurkan Perda Penanggulangan HIV/AIDS menyusul
beberapa kabupaten, kota, dan provinsi lain. Sampai Juni 2008 kasus AIDS di
Jakarta dilaporkan 3.123. Apakah Perda No. 5/2008 ini bisa menanggulangi
epidemi HIV di Jakarta? Jika disimak Perda yang sarat dengan pesan moral ini
tidak akan efektif menanggulangi penyebaran HIV/AIDS.
Pemahaman
yang akurat tentang penularan dan pencegahan HIV merupakan salah satu kunci
keberhasilan dalam upaya penanggulangan epidemi HIV/AIDS. Hal ini sejalan
dengan pasal 14 ayat 1 huruf a pada Perda AIDS Jakarta yang menyebutkan “Upaya
pencegahan HIV dan AIDS pada setiap orang dilakukan melalui (a) peningkatan
pengetahuan tentang tata cara pencegahan, penularan dan akibat yang
ditimbulkan.”
Tapi,
hal ini tidak akan tercapai kalau materi KIE (komunikasi, informasi, dan
edukasi) yang disampaikan kepada masyarakat melalui berita, ceramah, pidato,
dan peraturan, seperti Perda, tetap bermuatan norma, moral, dan agama.
Soalnya,
kalau materi KIE tentang HIV/AIDS bermuatan norma, moral, dan agama maka yang
muncul hanya mitos (anggapan yang salah). HIV/AIDS adalah fakta medis. Artinya,
HIV/AIDS dapat diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran sehingga
cara-cara pencegahannya pun dapat dilakukan secara medis.
Maka,
prinsip-prinsip mencegah penularan HIV yang diatur pada pasal 15 ayat a dan b
tidak mendukung pasal 14 ayat 1 huruf a. Pasal 15 disebutkan “Kegiatan
pencegahan dilaksanakan sejalan dengan kegiatan promosi melalui komunikasi,
informasi dan edukasi dengan memperhatikan prinsip-prinsip pencegahan HIV dan
AIDS yaitu: (a) tidak melakukan hubungan seksual bagi yang belum menikah, dan
(b) hanya melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang sah.
Alat Pencegah
Pernyataan
pada pasal 15 ayat 1 huruf a dan b mengesankan bahwa penularan HIV terjadi
karena: (a) hubungan seks sebelum menikah, dan (b) hubungan seks dengan
pasangan yang tidak sah. Ini merupakan pernyataan yang normative bukan faktual.
Juga tidak akurat karena tidak ada kaitan langsung antara penularan HIV dengan
hubungan seksual sebelum menikah dan hubungan seksual dengan pasangan yang
tidak sah.
Penularan
HIV melalui hubungan seks (bisa) terjadi di dalam atau di luar nikah kalau
salah satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai
kondom setiap kali melakukan hubungan seks. Ini fatka medis. Sebaliknya, kalau
satu pasangan dua-duanya HIV-negatif maka tidak ada risiko penularan biar pun
hubungan seks dilakukan sebelum menikah dan di luar nikah. Penularan HIV melalui
hubungan seks (bisa) terjadi karena kondisi hubungan seks (salah
satu atau kedua-duanya HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom) bukan
karena sifat hubungan seks (sebelum menikah atau di
luar nikah).
Sedangkan
pada ayat c disebutkan pula pencegahan HIV: menggunakan alat pencegah penularan
bagi pasangan yang sah dengan HIV postif.
Lagi-lagi
pernyataan ini moralistis sehingga tidak ada maknanya. Apa yang dimaksud dengan
alat pencegah?
Terkait
dengan epidemi HIV penularan justru banyak terjadi tanpa disadari karena banyak
orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV. Hal ini terjadi karena
selama ini materi KIE tentang HIV/AIDS dibalut dengan norma, moral, dan agama
sehingga fakta medis tentang HIV/AIDS kabur sedangkan yang muncul hanya mitos.
Misalnya, mengait-ngaitkan penularan HIV dengan zina, pelacuran, seks sebelum
menikah, seks di luar nikah, jajan, selingkuh, seks menyimpang, waria dan
homoseksual. Padahal, secara medis penularan HIV melalui hubungan seks di dalam
atau di luar nikah bisa terjadi kalau salah satu atau kedua-dua pasangan itu
HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali melakukan sanggama.
Sebaliknya, kalau dua-duanya HIV-negatif maka tidak ada risiko penularan HIV
apa pun jenis, konidisi, dan sifat hubungan seks yang mereka lakukan.
Pada
pasal 15 ayat g angka 2 terkait dengan pencegahan disebutkan: setiap penanggung
jawab tempat yang diduga berpotensi untuk terjadinya perilaku berisiko tertular
HIV wajib memeriksakan kesehatan secara berkala bagi karyawan yang menjadi
tanggung jawabnya. Pasal ini tidak sejalan dengan pasal 15 ayat c karena yang
diwajibkan memakai ‘alat pencegah’ hanya pasangan yang sah sedangkan pada
kegiatan (baca: hubungan seksual) yang berisiko terjadi penularan HIV tidak
diwajibkan memakai ‘alat pencegah’. Padahal, penularan HIV justru lebih banyak
terjadi pada kegiatan-kegiatan yang berisiko tinggi yaitu: (a) hubungan seks di
dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti, dan (b) hubungan
seks di dalam atau di luar nikah dengan seseorang yang sering berganti-ganti
pasangan, seperti pekerja seks.
Penyebutan
’tempat yang diduga berpotensi untuk terjadinya perilaku berisiko tertular HIV’
tidak akurat karena semua tempat di muka bumi ini, rumah, apartemen, kantor,
losmen, hotel, taman, pantai, ladang, hutan, dll. bisa menjadi tempat yang
berpotensi terjadi penularan HIV. Soalnya, perilaku berisiko tinggi tertular
HIV bisa terjadi di semua tempat.
Kalau
pasal ini mau ’menembak’ tempat-tempat yang menyediakan tempat untuk hubungan
seks juga tidak pas karena yang menularkan HIV kepada karyawan di tempat-tempat
itu justru laki-laki yang dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang
suami, lajang, duda, remaja yang bekerja sebagai pegawai, karyawan, mahasiswa,
pelajar, sopir, peccopet, perampok, dll.
Rapid Test
Jika
Perda ini dimaksudkan untuk memutus mata rantai penyebaran HIV secara
horizontal antar penduduk maka yang perlu diatur adalah kegiatan-kegiatan yang
berisiko tinggi tertular HIV. Harus ada pasal yang mengatur hal ini yang
berbunyi: “Setiap orang yang melakukan hubungan seks di dalam atau di luar
nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering
bergangi-ganti pasangan diwajibkan memakai kondom.” Selanjutnya disebutkan
pula: “Setiap orang yang pernah melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam
atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang
yang sering bergangi-ganti pasangan diwajibkan melakukan tes HIV.”
Sayang,
dalam Perda ini, termasuk perda-perda AIDS lain di Indonesia, tidak ada satu
pasal pun yang yang mengatur upaya-upaya pencegahan dan memutus mata rantai
penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk secara eksplisit. Semua
aturan hanya berdasarkan norma, moral, dan agama yang sangat implisit yang
justru tidak ada hubungannya secara langsung dengan penularan HIV.
Seperti
pada pasal 15 ayat g angka 2 yang mengatur pemeriksaan kesehatan secara berkala
sangat riskan terhadap penyebaran HIV. Seorang karyawan yang melakukan hubungan
seks tanpa kondom dengan tamu-tamunya berisiko tinggi tertular HIV karena ada
kemungkinan salah satu dari tamunya HIV-positif. Sejak karyawan tadi tertular
HIV maka sejak itu pula dia bisa menularkan HIV kepada tamu-tamunya. Nah, kalau
pemeriksaan kesehatan dilakukan setiap minggu, setiap bulan atau setiap triwulan
maka pada rentang waktu sebelum tes karyawan tadi sudah menularkan HIV kepada
tamu-tamunya.
Pemeriksaan
kesehatan berkala belum tentu bisa mendeteksi HIV pada karyawan tempat-tempat
yang diduga berpotensi terjadi perilaku berisiko tertular HIV. Soalnya, kalau
tes HIV dilakukan dengan rapid test atau ELISA maka
tes ini baru akurat kalau yang dites sudah tertular HIV lebih dari tiga bulan.
Epidemi
HIV menjadi persoalan besar karena banyak orang yang tidak menyadari dirinya
sudah tertular HIV karena tidak ada tanda, gejala, dan ciri-ciri yang khas AIDS
pada fisiknya sebelum masa AIDS (antara 5-10 tahun setelah tertular). Dalam
kaitan ini yang lebih pas untuk menanggulangi penyebaran HIV adalah orang per
orang karena perilaku berisiko tinggi tertular HIV dilakukan oleh orang per
orang.
Pada
pasal 25 ayat 1 disebutkan ”Peran masyarakat dalam penanggulangan HIV dan AIDS
dilaksanakan melalui: (a) peningkatan ketahanan agama dan keluarga untuk
mencegah penularan HIV dan AIDS serta tidak bersikap diskriminatif terhada
ODHA, (b) pengembangan perilaku pola hidup sehat dan bertanggung jawab dalam
keluarga.” Pasal ini pun sangat normatif karena tidak ada kaitan langsung
antara penularan HIV dengan agama, keluarga, diskriminasi terhadap ODHA, dan
pola hidup sehat.
Selama
informasi tentang HIV/AIDS dibalut dengan norma, moral, dan agama maka selama
itu pula yang ditangkap masyarakat hanya mitos. Akibatnya, upaya pencegahan pun
tidak akan berhasil karena fakta tentang cara-cara penularan dan pencegahan
yang konkret tidak pernah sampai ke masyarakat. ***
Catatan:
artikel ini pernah dimuat di https://aidsmediawatch.wordpress.com/2009/07/13/menakar-keampuhan-perda-aids-jakarta-menanggulangi-epidemi-hiv-di-ibu-kota/
Komentar: setahu saya warga papua wajib sunat, mengapa di
jakarta yang lebih rawan tidak diwajibkan sunat juga? karena sebenarnya jakarta
jauh lebih membahayakan.
sebagai salah satu upaya pencegahan, sebaiknya warga jakarta diwajibkan untuk sunat, mungkin dapat dilakukan pada tengah tahun pada saat selesai pemilu. irfan (irfan_junior_81@yahoo.co.id)
sebagai salah satu upaya pencegahan, sebaiknya warga jakarta diwajibkan untuk sunat, mungkin dapat dilakukan pada tengah tahun pada saat selesai pemilu. irfan (irfan_junior_81@yahoo.co.id)
Tanggapan: Sunat
bukan mencegah penularan HIV melalui hubungan seksual di dalam dan di luar
nikah, tapi menurunkan risiko. Yang mengeras karena sunat hanya kepala penis,
sedangkan batang penis tetap bisa terjadi perlukaan sehingga jadi pintu masuk
HIV. Luas permukaan kepala penis sangat kecil jika dibandingkan dengan luas
permukaan batang penis sehingga risiko tertular HIV tetap besar biar pun
disunat. Kalau memang sunat mencegah HIV, mengapa banyak laki-laki yang disunat
mengidap HIV/AIDS?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.