Tanggapan
terhadap Berita di Harian “REPUBLIKA”
Oleh: Syaiful
W. Harahap
Direktur
Eksekutif LSM “InfoKespro” Jakarta
Berita Pelacur
Kian Menjamur yang dimuat Harian “REPUBLIKA” edisi 24
Maret 2004 di rubrik Kalam lagi-lagi memakai perspektif
laki-laki, moral dan agama sehingga yang muncul hanya antipati sehingga berita
itu tidak bernilai untuk pembinaan akhlak.
Pertanyaan
yang paling mendasar yaitu “mengapa ada pelacuran” tidak terjawab dalam berita
itu. Yang disalahkan lagi-lagi perempuan yang harkat dan martabatnya sebagai
manusia direndahkan hanya karena mereka pelacur. Padahal, yang mendatangi
mereka adalah laki-laki.
Kalau
kita jujur, siapa, sih, yang ‘pelacur’? Tanpa ada laki-laki yang mengumbar
hasrat birahi ke perempuan yang bukan istrinya tentulah tidak akan ada
perempuan yang menjadi pelacur. Ini fakta empiris. Tapi, karena, maaf, tokoh
agama lebih banyak laki-laki maka pembicaraan seputar agama dan moral yang
terkait dengan seks di luar nikah pu selalu menyudutkan perempuan. Ada majalah
yang berbasis Islam menulis kolom dengan judul “Ciri-ciri perempuan ahli
neraka”. Busyet. Apakah hanya perempuan yang mempunyai cirri-ciri ahli
neraka? Kolom itu tidak objektif.
Ada
pula pernyataan Kadiman Sitinjak, Kasi Operasi Satpol PP Sudin Tramtib dan
Linmas Jakbar, “Informan pekerja seks komersial (PSK) yang biasanya tukang ojek
lari duluan dan memberi kabar.” Lho, mengapa Anda tidak mendahuli
informan itu?
Razia
yang dilakukan berbagai kalangan selama ini jelas tidak objektif karena hanya
‘berani’ menangkap pelacur kelas teri di pinggir kali atau di tepi rel KA.
Kalau pelacuran dikategorikan sebagai zina atau hubungan seks antara laki-laki
dan perempuan di luar pernikahan, maka, “Apakah di hotel-hotel berbintang tidak
ada zina?” Kalau memang mau menegakkan syariat Islam dengan objektif, ya,
gedor, dong, semua pintu kamar hotel berbintang tanya surat
nikah pasangan yang ada di kamar.
Dalam
berita disebutkan “Selama dip anti para WBS akan diberi pembinaan mental berupa
siraman rohani dan penyuluhan sambil diawasi”. Pertanyaannya adalah “Mengapa
ada di antara mereka yang tetap menjadi pelacur setelah menerima siraman
rohani?” Jika berita itu dimaksudkan sebagai upaya untuk menyadarkan maka yang
perlu digali lebih dalam adalah jawaban atas pertanyaan tadi. Sayang, hal itu
tidak ada dalam berita.
Keterangan
foto juga merupakan opini yang ditulis dengan perspektif moral. Apakah sekarang
kode etik profesi wartawan tidak ada lagi? Wartawan tidak mempunyai hak
wartawan untuk memotret siapa pun tanpa izin yang bersangkutan. Dalam foto itu
jelas pelacur yang dipotret menutup wajah. Ini menunjukkan mereka tidak mau
difoto. Wartawan beruntung karena para pelacur itu tidak mengetahui jalur hukum
untuk menuntut wartawan karena perlakuan tidak menyenangkan.
Kalau
saja wartawan yang menulis berita itu memakai nalar dan hati nurani tentu tidak
akan mencul tulisan dan foto itu karena dampat dari foto itu sangat besar
terhadap kehidupan perempuan-perempuan yang difoto. Jika foto itu dilihat oleh
orang tua, saudara, suami atau anak mereka tentulah akan menimbulkan persoalan.
***
Catatan:
pernah dimuat di https://aidsmediawatch.wordpress.com/2009/08/27/tanggapan-terhadap-berita-di-harian-%E2%80%9Crepublika%E2%80%9D/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.