07 Juli 2017

Memojokkan Pelacur

Tanggapan terhadap Berita di Harian “REPUBLIKA”

Oleh: Syaiful W. Harahap
Direktur Eksekutif LSM “InfoKespro” Jakarta

Berita Pelacur Kian Menjamur yang dimuat Harian “REPUBLIKA” edisi  24 Maret 2004 di rubrik Kalam lagi-lagi memakai perspektif laki-laki, moral dan agama sehingga yang muncul hanya antipati sehingga berita itu tidak bernilai untuk pembinaan akhlak.

Pertanyaan yang paling mendasar yaitu “mengapa ada pelacuran” tidak terjawab dalam berita itu. Yang disalahkan lagi-lagi perempuan yang harkat dan martabatnya sebagai manusia direndahkan hanya karena mereka pelacur. Padahal, yang mendatangi mereka adalah laki-laki.

Kalau kita jujur, siapa, sih, yang ‘pelacur’? Tanpa ada laki-laki yang mengumbar hasrat birahi ke perempuan yang bukan istrinya tentulah tidak akan ada perempuan yang menjadi pelacur. Ini fakta empiris. Tapi, karena, maaf, tokoh agama lebih banyak laki-laki maka pembicaraan seputar agama dan moral yang terkait dengan seks di luar nikah pu selalu menyudutkan perempuan. Ada majalah yang berbasis Islam menulis kolom dengan judul “Ciri-ciri perempuan ahli neraka”. Busyet. Apakah  hanya perempuan yang mempunyai cirri-ciri ahli neraka? Kolom itu tidak objektif.

Ada pula pernyataan Kadiman Sitinjak, Kasi Operasi Satpol PP Sudin Tramtib dan Linmas Jakbar, “Informan pekerja seks komersial (PSK) yang biasanya tukang ojek lari duluan dan memberi kabar.” Lho, mengapa Anda tidak mendahuli informan itu?

Razia yang dilakukan berbagai kalangan selama ini jelas tidak objektif karena hanya ‘berani’ menangkap pelacur kelas teri di pinggir kali atau di tepi rel KA. Kalau pelacuran dikategorikan sebagai zina atau hubungan seks antara laki-laki dan perempuan di luar pernikahan, maka, “Apakah di hotel-hotel berbintang tidak ada zina?” Kalau memang mau menegakkan syariat Islam dengan objektif, ya, gedor, dong,  semua pintu kamar hotel berbintang tanya surat nikah pasangan yang ada di kamar.

Dalam berita disebutkan “Selama dip anti para WBS akan diberi pembinaan mental berupa siraman rohani dan penyuluhan sambil diawasi”. Pertanyaannya adalah “Mengapa ada di antara mereka yang tetap menjadi pelacur setelah menerima siraman rohani?” Jika berita itu dimaksudkan sebagai upaya untuk menyadarkan maka yang perlu digali lebih dalam adalah jawaban atas pertanyaan tadi. Sayang, hal itu tidak ada dalam berita.

Keterangan foto juga merupakan opini yang ditulis dengan perspektif moral. Apakah sekarang kode etik profesi wartawan tidak ada lagi? Wartawan tidak mempunyai hak wartawan untuk memotret siapa pun tanpa izin yang bersangkutan. Dalam foto itu jelas pelacur yang dipotret menutup wajah. Ini menunjukkan mereka tidak mau difoto. Wartawan beruntung karena para pelacur itu tidak mengetahui jalur hukum untuk menuntut wartawan karena perlakuan tidak menyenangkan.

Kalau saja wartawan yang menulis berita itu memakai nalar dan hati nurani tentu tidak akan mencul tulisan dan foto itu karena dampat dari foto itu sangat besar terhadap kehidupan perempuan-perempuan yang difoto. Jika foto itu dilihat oleh orang tua, saudara, suami atau anak mereka tentulah akan menimbulkan persoalan. ***


Catatan: pernah dimuat di https://aidsmediawatch.wordpress.com/2009/08/27/tanggapan-terhadap-berita-di-harian-%E2%80%9Crepublika%E2%80%9D/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.