Tanggapan
terhadap berita HIV/AIDS di Harian ”Bengkulu Ekspres”
Oleh: Syaiful
W. Harahap
[Pemerhati berita HIV/AIDS di media
massa melalui LSM (media watch) “InfoKespro” Jakarta]
”Virus HIV (human immuno deficiency
virus) terus mengancam warga Provinsi Bengkulu.” Ini pernyataan pada lead berita
“21 dari 107 Pengidap HIV/AIDS, Meninggal”
di Harian ”Bengkulu Ekspres” (2/10-2007). Ini menunjukkan pemahaman
yang tidak komprehensif terhadap HIV/AIDS. Dalam laporan Ditjen PPM&PL
Depkes RI tanggal 14 April 2008 disebutkan ada 28 kasus AIDS di Bengkulu dengan
18 kasus pada pengguna narkoba dan 9 meninggal. Angka ini menempatkan Bengkulu
pada urutan ke-24 dari 33 provinsi. Perlu diingat angka ini tidak menggambarkan
kasus yang sebenarnya di masyarakat.
HIV
adalah virus yang tergolong sebagai retrovirus yaitu virus yang bisa
menggandakan diri di sel-sel darah putih manusia. Dalam jumlah yang dapat
ditularkan HIV terdapat dalam cairan darah (laki-laki dan perempuan), air mani
(laki-laki, dalam sperma tidak ada HIV), cairan vagina (perempuan), dan air
susu ibu/ASI (perempuan).
Penularan
HIV melalui darah bisa terjadi kalau darah yang mengandung HIV masuk ke dalam
tubuh melalui transfusi darah, jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur,
jarum tattoo, alat-alat kesehatan, dan cangkok organ tubuh. Penularan HIV
melalui air mani dan cairan vagina bisa terjadi kalau air mani dan cairan
vagina yang mengandung HIV masuk ke dalam tubuh ketika terjadi hubungan seks
tanpa kondom di dalam atau di luar nikah. Penularan HIV melalui ASI bisa
terjadi kalau ASI yang mengandung HIV masuk ke dalam tubuh pada proses
menyusui.
Bertolak
dari fakta di atas maka pernyataan yang menyebutkan ”Virus ini dapat menular
melalui hubungan seks bebas yang bukan dengan pasangannya” adalah salah karena
penularan HIV melalui hubungan seks bisa terjadi karena kondisi hubungan seks
(salah satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif) bukan karena sifat
hubungan seks (di luar nikah). Pernyataan yang menyebutkan penularan HIV
terjadi kalau ” …. melakukan hubungan seksual bukan dengan pasangannya” adalah
salah karena dengan pasangan yang sah pun bisa terjadi penularan kalau salah
satu HIV-positif dan laki-laki tidak memaki kondom setiap kali melakukan
hubungan seks.
Mata Rantai
Selama
ini informasi tentang HIV/AIDS sering dibalut dengan norma, moral, dan agama
sehingga yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah). Misalnya,
mengait-ngaitkan penularan HIV dengan zina, pelacuran, ’jajan’, selingkuh,
pranikah, seks menyimpang, waria, dan homoseksual. Padahal, penularan HIV
melalui hubungan seks bisa terjadi pada ikatan pernikahan yang sah kalau salah
satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif. Sebaliknya, kalau dua-duanya
HIV-negatif maka tidak ada risiko penularan HIV biar pun hubungan seks
dilakukan dengan zina, pelacuran, ’jajan’, selingkuh, pranikah, seks
menyimpang, waria, dan homoseksual.
Sedangkan
penularan HIV melalui pengguna narkoba bisa terjadi karena pengguna narkoba
dengan suntikan biasanya beramai-ramai. Mereka memakai jarum suntik secara
bersama-sama dengan bergiliran dan bergantian. Jika salah satu dari mereka
HIV-positif maka semua yang memakai jarum suntik akan berisiko tertular HIV.
Maka pernyataan ” ….. dihimbau pada masyarakat janganlah pernah untuk
mengkonsumsi Narkoba …. ” agar tidak tertular HIV tidak benar karena yang
menjadi media penularan bukan narkoba tapi jarum suntik yang dipakai
bergiliran. Orang-orang yang menjalani operasi (bedah) di rumah sakit memakai
narkoba agar tidak merasa sakit. Kalau disebut narkoba penyebab HIV/AIDS
tentulah semua orang yang pernah menjalani oprasi sudah tertular HIV/AIDS.
Disebutkan
pula penularan HIV terjadi melalui ” …. jarum suntik yang tidak steril pada
proses transfusi darah”. Ini pun tidak benar karena penularan HIV melalui
transfusi darah adalah karena darah yang ditransfusikan mengandung HIV. Untuk
itulah dianjurkan agar tidak menerima transfusi darah kalau darah yang akan
ditransfusikan tidak diskrining HIV.
Disebutkan ” …. di Kota Bengkulu, virus
ini pertama kali ditemukan pada tahun 2001 yang menyerang 3 wanita di
lokalisasi”. Fakta ini mengandung dua kemungkinan.
Pertama, ketiga wanita
itu ditulari oleh penduduk lokal yang menjadi pelanggan wanita di lokalisasi.
Laki-laki yang menularkan HIV kepada tiga wanita itu dalam kehidupan
sehari-hari bisa sebagai seorang suami, pacar, selingkuhan, duda, remaja atau
jejaka yang bekerja sebagai pegawai, karyawan, buruh, tani, nelayan, sopir,
pelajar, mahasiswa, perampok, dll. Mereka inilah yang menjadi mata rantai
penyebaran HIV antar penduduk. Persoalannya adalah banyak orang yang tidak
menyadari dirinya sudah tertular HIV karena tidak ada tanda, gejala, atau
ciri-ciri yang khas AIDS pada fisiknya sebelum mencapai masa AIDS (antara 5-10
tahun setelah tertular). Maka, kasus HIV/AIDS tidak banyak yang terungkap bukan
karena mereka malu atau menutup-nutupi kasusnya tapi karena tidak mengetahui
dirinya sudah tertular HIV. Tapi, pada rentang waktu ini sudah bisa terjadi
penularan HIV lagi-lagi tanpa disadari malalui (a) hubungan seks tanpa kondom
di dalam atau di luar nikah, (b) transfusi darah, (c) jarum suntik, jarum
tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo, alat-alat kesehatan dan cangkok organ
tubuh, (d) ASI.
Perilaku Berisiko
Kedua, ketiga wanita
itu sudah HIV-positif (mengidap HIV) ketika mereka pertama kali datang ke
lokalisasi. Kalau ini yang terjadi maka penduduk lokal yang pernah melakukan
hubungan seks tanpa kondom di lokalisasi tadi berisiko tinggi tertular HIV.
Kalau ada laki-laki yang tertular, lagi-lagi mereka tidak menyadarinya, maka
laki-laki itulah kemudian yang menjadi mata rantai penyebaran HIV secara
horizontal antar penduduk. Bagi yang beristri akan menularkan HIV tanpa
disadarinya kepada istrinya (horizontal). Kalau istrinya tertular maka ada
risiko penularan kepada bayi yang dikandung istrinya kelak (vertikal). Perlu
diingat HIV bukan penyakit turunan tapi penyakit menular sehingga bisa dicegah.
Yang tidak beristri akan menularkan HIV kepada pasangan seksnya atau pekerja seks.
Hasil
survai perlu dicermati karena hasil HIV-positif tes pada survailans tidak
otomatis HIV-positif karena setiap hasil tes HIV harus dikonfirmasi dulu dengan
tes lain. Tes HIV dengan rapid test atau ELISA bisa
menghasilkan positif palsu (HIV tidak ada dalam darah tapi terdeteksi positif)
atau negatif palsu (HIV sudah ada dalam darah tapi tidak terdeteksi). Keabsahan
hasil tes HIV baru bisa kuat kalau tes dilakukan minimal tiga bulan setelah
tertular HIV.
Terkait
dengan kasus yang kian banyak ditemukan terjadi karena kegiatan survailans tes
HIV semakin gencar. Selain itu sebagian dari yang tertular HIV pun sudah
mencapai masa AIDS. Pada masa AIDS sudah mulai ada penyakit, yang disebut
infeksi oportunistik, seperti diare, sariawan, jamur, TB, dll. sehingga mereka
berobat. Jika penyakitnya susah disembuhkan maka dokter akan menganjurkan untuk
menjalani tes HIV apalagi diketahui kalau perilaku pasien berisiko tinggi
tertular HIV.
Perilaku
berisiko tinggi tertular HIV adalah (a) melakukan hubungan seks tanpa kondom di
dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti, (b) melakukan
hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan seseorang yang
sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks, (c) menerima transfusi
darah dan cangkok organ tubuh yang tidak diskrining HIV, (d) memakai jarum
suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo, alat-alat kesehatan.
Untuk
itulah dianjurkan kepada orang-orang (laki-laki dan perempuan) yang pernah
melakukan perilaku berisiko untuk menjalani tes HIV secara sukarela. Makin
banyak penduduk yang terdeteksi HIV-positif maka kian banyak pula mata rantai
penyebaran HIV yang diputus karena mereka diajak untuk tidak menularkan HIV
kepada orang lain. ***
Catatan:
pernah dimuat di https://aidsmediawatch.wordpress.com/2009/07/17/memahami-hivaids-untuk-melindungi-diri/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.