Tanggapan
terhadap berita HIV/AIDS di Harian “Kedaulatan Rakyat”, Yogyakarta
Oleh: Syaiful
W. Harahap
[Pemerhati berita HIV/AIDS di media
massa melalui LSM (media watch) “InfoKespro” Jakarta]
Berita “Jumlah PSK
di Cilacap Meningkat; Tinggi, Potensi Ancaman Penyakit AIDS” di
Harian “Kedaulatan Rakyat”, Yogyakarta, edisi 3 Oktober 2007 lagi-lagi
menyuburkan mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS. Akibatnya, masyarakat
tidak memahami HIV/AIDS sebagai fakta medis sehingga banyak orang yang tidak
mengetahui cara-cara penularan dan pencegahan HIV yang realistis.
Memang,
selama ini materi KIE (komunikasi, informasi, dan edukasi) tentang HIV/AIDS
salalu dibalut dengan norma, moral, dan agama. Misalnya, mengait-ngaitkan zina,
pelacuran dan homoseksual dengan penularan HIV. Padahal, penularan HIV melalui
hubungan seks, di dalam dan di luar nikah, (bisa) terjadi kalau salah satu atau
dua-dua pasangan itu HIV-positif (kondisi hubungan seks). Sebaliknya, kalau
dua-duanya HIV-negatif maka tidak ada risiko penularan melalui hubungan seks
biar pun mereka lalukan dengan zina, melacur, dan homoseksual (sifat hubungan
seks).
Karena
enularan HIV melalui hubungan seks di dalam atau di luar nikah (bisa) terjadi
karena kondisi hubungan seks bukan karena sifat hubungan seks, maka tidak ada
kaitan langsung antara jumlah PSK di Cilacap dengan ‘pontensi ancaman penyakit
AIDS’. Di negara-negara yang tidak ada industri hiburan malam dan prostitusi
pun, seperti Arab Saudi, tetap saja ada kasus HIV/AIDS. Sampai akhir tahun
lalu, misalnya, Arab Saudi sudah melaporkan lebih dari 10.000 kasis HIV/AIDS.
Mengapa
hal itu bisa terjadi? Biar pun di negaranya tidak ada indstri hiburan malam dan
prostitusi penduduknya bepergian ke luar negeri. Kalau ada penduduk yang
tertular HIV di luar negeri maka mereka akan menjadi mata rantai penyebaran HIV
secara horizontal antar penduduk. Yang punya istri akan menularkan HIV kepada
istrinya. Begitu pula dengan Cilacap bisa saja terjadi penduduk daerah ini
tertular di luar daerah atau di luar negeri.
Celakanya,
penularan HIV terjadi tanpa disadari karena banyak orang yang tidak menyadari
dirinya sudah tertular HIV. Hal ini terjadi karena tidak ada tanda, gejala,
atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik seseorang yang sudah tertular HIV
sebelum masa AIDS (secara statistik masa AIDS terjadi antara 5 – 10 tahun
setelah tertular HIV). Pada kurun waktu itulah seseorang menularkan HIV kepada
orang lain tanpa disadarinya.
Dalam
berita disebutkan “ …. jumlah PSK Cilacap yang diduga terjangkit IMS sebanyak
114 orang, HIV 40 orang dan AIDS 2 orang.” Wah, ini angka yang fantastis. Tapi,
tunggu dulu sumber yang diwawancarai wartawan “KR” yaitu Kepala Satpol
PP Cilacap Paulus Triyanto jelas tidak berkompeten. Survai yang dilakukan
terhadap PSK bukan untuk mencari kasus HIV/AIDS tapi untuk memperoleh prvalensi
yaitu perbandingan antara yang HIV-positif dan HIV-negatif di kalangan PSK tadi.
Tes yang dipakai tidak untuk diagnosis tapi hanya sebatas survailans.
Dalam
standar prosedur operasi tes HIV setiap hasil tes harus dikonfirmasi dengan tes
lain. Maka, hasil tes pada survailans tidak menunjukkan hasil HIV-positif
sebagai diagnosis. Tapi, baiklah. Kalau benar ada 40 PSK yang HIV-positif di
Cilacap maka yang menjadi persoalan besar bukanlah PSK-nya, tapi penduduk
Cilacap.
Pertama, yang
menularkan HIV kepada PSK adalah laki-laki yang dalam kehidupan sehari-hari
bisa sebagai suami, pacar, lajang, duda yang bekerja sebagai pegawai, karyawan,
mahasiswa, pelajar, petani, penganggur,dll. Mereka inilah yang menjadi mata
rantai penyebaran HIV bukan PSK.
Kedua, pertanyaan
yang sangat mendasar adalah: Siapa-(siapa) pelanggan utama PSK di Cilacap?
Kalau
jawabannya penduduk lokal maka hal itu merupakan ‘lampu merah’ karena ada
kemungkinan penduduk lokal yang menjadi pelanggan PSK yang menularkan HIV
kepada PSK. Memang, bisa juga PSK yang datang sebagai ‘barang baru’ di Cilacap
sudah mengidap HIV. Kalau ini yang terjadi maka tetap saja ‘lampu merah’ bagi
Cilacap karena penduduk lokal yang melakukan hubungan seks tanpa kondom dengan
PSK berisiko tinggi tertular HIV.
Di
saat epidemi HIV sudah ada di pelupuk mata sudah saatnya pula kita mengubah
cara berpikir. Bukan lagi ‘membasmi’ tempat maksiat, seperti lokalisasi
pelacaran, tapi memberikan materi KIE yang akurat kepada masyarakat tentang
cara-cara mencegah penularan HIV. Karena tidak satu pun tempat di muka bumi ini
yang terbebas dari HIV/AIDS. Bisa saja penduduk Cilacap melakukan hubungan seks
berisiko yaitu dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang
sering berganti-ganti pasangan, di dalam dan di luar nikah, di luar Cilacap.
Belakangan
ini ada kelatahan merancang peraturan daerah (Perda) HIV/AIDS yang merupakan
‘jiplakan’ dari ‘program kondom 100 persen’ di Thailand. Sudah ada tiga
kabupaten (Merauke, Jayapura, Nabire), satu kota (Jayapura), dan tiga provinsi
(Jawa Timur, Bali, dan Riau) yang mempunyak Perda Penanggulagan AIDS.
Tapi,
apa yang terjadi? Hasilnya nol besar. Kasus HIV/AIDS tetap saja kian banyak.
Hal ini terjadi karena perda itu tidak menangkap realitas penularan HIV tapi
moralitas. Perda AIDS Riau, misalnya, menyebutkan bahwa cara mencegah HIV/AIDS
adalah dengan ‘meningkatkan iman dan taqwa’. Bagaimana mengukur (kadar)
keimanan dan ketaqwaan yang bisa mencegah penularan HIV? Lagi pula ini akan
menyuburkan stigma (cap buruk) dan diskriminasi terhadap Odha (Orang dengan
HIV/AIDS) karena muncul anggapan bahwa Odha adalah orang yang ‘tidak beriman
dan tidak bertaqwa’.
Salah
satu cara untuk memutus mata rantai penyebaran HIV/AIDS adalah melalui
penyuluhan yang komprehensif dengan mengedepankan HIV/AIDS sebagai fakta medis
sehingga masyarakat memahami cara-cara penularan dan pencegahan yang realistis.
***
Catatan:
pernah dimuat di https://aidsmediawatch.wordpress.com/2009/07/17/memahami-hivaids-sebagai-fakta-medis/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.