Tanggapan
terhadap Berita di Harian ”WASPADA” Medan
Oleh Syaiful
W. Harahap
[Pemerhati
masalah HIV/AIDS dan penulis buku (1) Pers Meliput AIDS, dan
(2) Kapan Anda Tes HIV?]
Sampai
30 September 2002 kasus HIV/AIDS di Sumatera Utara tercatat 49 yang terdiri
atas 28 HIV dan 21 AIDS. Secara nasional tercatat 3.374 kasus HIV/AIDS dan 40
juta kasus global. Untuk mengingatkan penduduk dunia tentang dampak epidemi HIV
maka setiap 1 Desember diperingati sebagai Hari AIDS Sedunia. Tema tahun ini
adalah Tetap Hidup dengan Tegar: Stigma dan Diskriminasi.
Berita
Harian “Waspada” edisi 28 Oktober 2002 berjudul “Fenomena Di Sumut
Seks Dianggap Hiburan, Penyakit Kelamin Tinggi” merupakan salah satu
indikasi yang menunjukkan angka kasus HIV/AIDS di Sumut tidak menggambarkan
keadaan yang sebenarnya. Kalau PMS (penyakit-penyakit menular seksual), seperti
GO (kencing nanah), sifilis (raja singa), hepatitis B, kandida, dll. sudah menggejala
di Sumut maka kasus HIV/AIDS pun tidak bisa lagi dianggap enteng.
Soalnya,
bagi orang-orang yang terinfeksi PMS maka risiko tertular HIV semakin besar
karena ada luka-luka yang disebabkan infeksi (luka-luka ini ukuran mikroskopis
artinya hanya bisa dilihat dengan mikroskop) di sekitar alat kelamin. Jika
seseorang terinfeksi PMS maka yang bersangkutan sudah melakukan hubungan seks
yang tidak aman (tidak memakai kondom) sehingga risiko tertular HIV pun sama
besarnya dengan risiko tertular PMS.
HIV
(human immunodeficiency virus) adalah sejenis retrovirus yang dapat
menggandakan diri pada sel darah manusia yang ditumpanginya, sel-sel darah
putih, yang dapat menyebabkan kondisi AIDS (Acquired Immune Deficiency
Syndrome) yaitu cacat kekebalan tubuh dapatan yang ditandai dengan
penyakit-penyakit, disebut infeksi oportunistik, seperti diare, jamur,
sariawan, TB, dll.
Seseorang
berada pada risiko tinggi tertular dan menularkan HIV jika (1) melakukan
hubungan seks (sanggama) penetrasi (penis dimasukkan ke dalam vagina)
baik heteroseks (laki-laki dengan perempuan), biseks (laki-laki dengan
perempuan dan dengan laki-laki), seks oral dan seks anal tanpa kondom
dengan pasangan yang berganti-ganti di dalam atau di luar pernikahan yang sah,
serta hubungan seks anal dan seks oral pada homoseks (laki-laki dengan
laki-laki) yang tidak aman; (2) melakukan hubungan seks penetrasi baik
heteroseks, biseks, seks oral dan seks anal tanpa kondom dengan seseorang
yang suka berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks, di dalam atau di
luar pernikahan yang sah; (3) menerima transfusi darah; dan (4) memakai jarum
suntik dan semprit secara bersama-sama dengan bergiliran dan bergantian.
Penularan Horizontal
Lagi
pula epidemi HIV/AIDS sangat erat kaitannya dengan fenomena gunung es (iceberg
phenomenon). Artinya, kasus yang terdeteksi hanya sebagian kecil dari kasus
yang sebenarnya. Tetapi, kalau ditemukan satu kasus tidak pula otomatis ada
sekian kasus lain. Fenomena ini bisa menjadi patokan kalau di satu daerah
prevalensi HIV besar (perbandingan antara yang HIV-positif dengan yang
HIV-negatif pada kalangan tertentu di masyarakat pada suatu kurun waktu).
Jumlah
kasus yang sedikit itu terjadi karena beberapa faktor, antara lain (a) dokter
dan rumah sakit tidak melaporkan kasus HIV/AIDS yang mereka deteksi, (b)
survailans (tes HIV terhadap kalangan tertentu di masyarakat pada kurun waktu
tertentu) tidak dijalankan dengan kontiniu, (c) ada penduduk lokal yang
menjalani tes di daerah lain, terutama di Jakarta, karena kerahasiaan terjamin
dan ada pula LSM yang mendukung.
Jadi,
jumlah kasus yang sedikit bukan kebanggaan tetapi bisa menjadi bumerang dan bom
waktu karena penduduk akan lengah dan tidak menghindari perilaku berisiko.
Persoalan kian pelik kalau kasus HIV/AIDS yang tercatat di Sumut terdeteksi di
kalangan pekerja seks karena laki-laki yang menjadi pelanggan pekerja seks itu
berisiko tertular HIV. Kalau ada pelanggan yang tertular maka mereka akan
menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk lokal.
Mereka
akan menularkan HIV kepada istrinya bagi yang sudah beristri. Jika istrinya
tertular maka akan terjadi pula penularan vertikal dari ibu ke anak yang
dikandungnya (mother-to-child-transmission/MTCT) terutama pada saat persalinan
dan menyusui dengan air susu ibu (ASI). Bagi yang belum beristri mereka akan
menularkannya kepada pasangannya atau kepada pekerja seks.
Memang,
probabilitas (kemungkinan) tertular HIV melalui hubungan seks yang tidak aman
1:100. Artinya, dalam 100 kali hubungan seks kemungkinan tertular satu kali.
Tetapi, tidak bisa diketahui kapan terjadi penularan. Apakah pada hubungan seks
pertama, kedua, kelima, kelima puluh atau keseratus? Jadi, karena tidak bisa
diketahui kapan HIV (akan) menular maka tidak ada pilihan lain selain
menghindari perilaku berisiko.
Jumlah
kasus HIV/AIDS di Sumut kian tidak mendekati kenyataan kalau di daerah ini
dideteksi pengguna narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya) melalui jarum
suntik ke urat nadi (injecting drug use/IDU). Risiko penularan di
kalangan IDU sangat tinggi (89,5%) karena darah yang mengadung HIVdi dalam
jarum suntik dan semprit langsung disuntikkan ke urat nadi.
Tidak Disadari
Ada
semacam ‘budaya’ di kalangan IDU untuk memakai jarum suntik dan semprit secara
bersama-sama dengan bergiliran sebagai tanda setia kawan. Kalau di antara
mereka ada yang HIV-positif maka semua yang memakai jarum suntik dan semprit
bersiko besar tertular HIV.
Belakangan
diketahui banyak pula IDU yang tertular virus hepatitis B (HBV) dan virus
hepatitis C (HCV). Bahkan, ada yang sekaligus terinfeksi HIV dan HCV. IDU ini
pun akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk
lokal. Bagi yang beristri akan menularkannya kapada istrinya, sedangkan yang
belum beristri akan menularkannya kapada pasangannya atau kepada pekerja seks.
Jadi,
melihat kenyataan perilaku di Sumut seperti yang diberitakan “Waspada”
maka jumlah kasus HIV/AIDS yang dilaporkan itu tidak bisa dijadikan patokan.
Persoalan kian pelik karena banyak orang yang berperilaku berisiko tinggi tertular
HIV tidak menyadari kalau dirinya sudah tertular HIV karena tidak ada
gejala-gejala yang khas dan kesehatan pun tidak terganggu.
Kehidupan
seseorang yang HIV-positif mulai terganggu setelah mencapai masa AIDS karena
sudah mulai muncul berbagai penyakit berupa infeksi oportunistik. Penyakit
inilah yang dapat menyebabkan kematian karena tidak ada lagi benteng yang
menjadi pertahanan diri. Pada kondisi ini sel-sel darah putih yang menjadi
benteng yang melawan penyakit tidak kuat lagi karena sudah dirusak oleh HIV.
Tetapi,
biar pun belum mencapai masa AIDS (antara 5-10 tahun setelah terinfeksi) dan
belum ada gejala-gejala yang terkait dengan AIDS seseorang HIV-positif sudah
dapat menularkan HIV kepada orang lain melalui perilaku berisiko.
Kondisi
inilah yang bisa menjadi ‘bom waktu’ epidemi HIV. Tanpa disadari seseorang
menjadi mata rantai penyebaran HIV. Untuk itulah diperlukan KIE (komunikasi,
informasi dan edukasi) yang objektif, akurat dan jujur tentang HIV/AIDS. Selama
ini informasi HIV/AIDS dibalut dengan moral dan agama sehingga yang muncul
hanya mitos (anggapan yang salah), misalnya, penularan HIV dikait-kaitkan
dengan zina, pelacur, selingkuh, jajan, dll.
Padahal,
secara medis HIV hanya menular (1) melalui hubungan seks penetrasi yang
tidak terlindungi (tidak memakai kondom) baik heteroseks, biseks, seks oral dan
seks anal di dalam dan di luar nikah serta homoseks dengan seseorang yang
HIV-positif; (2) melalui transfusi darah yang tercemar HIV; (3) melalui jarum
suntik, semprit, jarum tindik, jarum tattoo, dan alat-alat kesehatan yang
tercemar HIV; dan (4) dari seorang ibu yang HIV-positif kepada anak yang
dikandungnya.
Mata
rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk di Sumut dapat diputus
dengan anjuran agar laki-laki yang pernah melakukan perilaku berisiko tinggi
tertular HIV menjalani tes HIV. Dengan mengetahui status HIV, seseorang dapat
menempuh langkah yang tepat untuk mencegah agar dia tidak menularkan HIV kepada
orang lain.
Selain
itu seseorang yang diketahui status HIV-nya lebih dini maka akan dapat
dilakukan tindakan-tindakan medis dan nonmedis agar yang bersangkutan tetap
bisa hidup seperti biasa dan produktif. Misalnya, pemberian obat antiretroviral
untuk menekan penggandaan HIV di dalam darah untuk menunda masa AIDS.***
Jakarta, 2009/08/28
Catatan:
pernah dimuat di https://aidsmediawatch.wordpress.com/2009/08/28/tanggapan-terhadap-berita-di-harian-%E2%80%9Dwaspada%E2%80%9D/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.