07 Juli 2017

Mata Rantai Penyebaran HIV di Sumatera Utara

Tanggapan terhadap Berita di Harian ”WASPADA” Medan

Oleh Syaiful W. Harahap
[Pemerhati masalah HIV/AIDS dan penulis buku (1) Pers Meliput AIDS, dan (2) Kapan Anda Tes HIV?]

Sampai 30 September 2002 kasus HIV/AIDS di Sumatera Utara tercatat 49 yang terdiri atas 28 HIV dan 21 AIDS. Secara nasional tercatat 3.374 kasus HIV/AIDS dan 40 juta kasus global. Untuk mengingatkan penduduk dunia tentang dampak epidemi HIV maka setiap 1 Desember diperingati sebagai Hari AIDS Sedunia. Tema tahun ini adalah Tetap Hidup dengan Tegar: Stigma dan Diskriminasi.

Berita Harian “Waspada” edisi 28 Oktober 2002 berjudul “Fenomena Di Sumut Seks Dianggap Hiburan, Penyakit Kelamin Tinggi” merupakan salah satu indikasi yang menunjukkan angka kasus HIV/AIDS di Sumut tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya. Kalau PMS (penyakit-penyakit menular seksual), seperti GO (kencing nanah), sifilis (raja singa), hepatitis B, kandida, dll. sudah menggejala di Sumut maka kasus HIV/AIDS pun tidak bisa lagi dianggap enteng.

Soalnya, bagi orang-orang yang terinfeksi PMS maka risiko tertular HIV semakin besar karena ada luka-luka yang disebabkan infeksi (luka-luka ini ukuran mikroskopis artinya hanya bisa dilihat dengan mikroskop) di sekitar alat kelamin. Jika seseorang terinfeksi PMS maka yang bersangkutan sudah melakukan hubungan seks yang tidak aman (tidak memakai kondom) sehingga risiko tertular HIV pun sama besarnya dengan risiko tertular PMS.

HIV (human immunodeficiency virus) adalah sejenis retrovirus yang dapat menggandakan diri pada sel darah manusia yang ditumpanginya, sel-sel darah putih, yang dapat menyebabkan kondisi AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) yaitu cacat kekebalan tubuh dapatan yang ditandai dengan penyakit-penyakit, disebut infeksi oportunistik, seperti diare, jamur, sariawan, TB, dll.

Seseorang berada pada risiko tinggi tertular dan menularkan HIV jika (1) melakukan hubungan seks (sanggama)  penetrasi (penis dimasukkan ke dalam vagina) baik heteroseks (laki-laki dengan perempuan),  biseks (laki-laki dengan perempuan dan dengan laki-laki),  seks oral dan seks anal tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti di dalam atau di luar pernikahan yang sah, serta hubungan seks anal dan seks oral pada homoseks (laki-laki dengan laki-laki) yang tidak aman; (2) melakukan hubungan seks penetrasi baik heteroseks,  biseks, seks oral dan seks anal tanpa kondom dengan seseorang yang suka berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks, di  dalam atau di luar pernikahan yang sah; (3) menerima transfusi darah; dan (4) memakai jarum suntik dan semprit secara bersama-sama dengan bergiliran dan bergantian.

Penularan Horizontal

Lagi pula epidemi HIV/AIDS sangat erat kaitannya dengan fenomena gunung es (iceberg phenomenon). Artinya, kasus yang terdeteksi hanya sebagian kecil dari kasus yang sebenarnya. Tetapi, kalau ditemukan satu kasus tidak pula otomatis ada sekian kasus lain. Fenomena ini bisa menjadi patokan kalau di satu daerah prevalensi HIV besar (perbandingan antara yang HIV-positif dengan yang HIV-negatif pada kalangan tertentu di masyarakat pada suatu kurun waktu).

Jumlah kasus yang sedikit itu terjadi karena beberapa faktor, antara lain (a) dokter dan rumah sakit tidak melaporkan kasus HIV/AIDS yang mereka deteksi, (b) survailans (tes HIV terhadap kalangan tertentu di masyarakat pada kurun waktu tertentu) tidak dijalankan dengan kontiniu, (c) ada penduduk lokal yang menjalani tes di daerah lain, terutama di Jakarta, karena kerahasiaan terjamin dan ada pula LSM yang mendukung.

Jadi, jumlah kasus yang sedikit bukan kebanggaan tetapi bisa menjadi bumerang dan bom waktu karena penduduk akan lengah dan tidak menghindari perilaku berisiko. Persoalan kian pelik kalau kasus HIV/AIDS yang tercatat di Sumut terdeteksi di kalangan pekerja seks karena laki-laki yang menjadi pelanggan pekerja seks itu berisiko tertular HIV. Kalau ada pelanggan yang tertular maka mereka akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk lokal.

Mereka akan menularkan HIV kepada istrinya bagi yang sudah beristri. Jika istrinya tertular maka akan terjadi pula penularan vertikal dari ibu ke anak yang dikandungnya (mother-to-child-transmission/MTCT) terutama pada saat persalinan dan menyusui dengan air susu ibu (ASI). Bagi yang belum beristri mereka akan menularkannya kepada pasangannya atau kepada pekerja seks.

Memang, probabilitas (kemungkinan) tertular HIV melalui hubungan seks yang tidak aman 1:100. Artinya, dalam 100 kali hubungan seks kemungkinan tertular satu kali. Tetapi, tidak bisa diketahui kapan terjadi penularan. Apakah pada hubungan seks pertama, kedua, kelima, kelima puluh atau keseratus? Jadi, karena tidak bisa diketahui kapan HIV (akan) menular maka tidak ada pilihan lain selain menghindari perilaku berisiko.

Jumlah kasus HIV/AIDS di Sumut kian tidak mendekati kenyataan kalau di daerah ini dideteksi pengguna narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya) melalui jarum suntik ke urat nadi (injecting drug use/IDU). Risiko penularan di kalangan IDU sangat tinggi (89,5%) karena darah yang mengadung HIVdi dalam jarum suntik dan semprit langsung disuntikkan ke urat nadi.

Tidak Disadari

Ada semacam ‘budaya’ di kalangan IDU untuk memakai jarum suntik dan semprit secara bersama-sama dengan bergiliran sebagai tanda setia kawan. Kalau di antara mereka ada yang HIV-positif maka semua yang memakai jarum suntik dan semprit bersiko besar tertular HIV.
Belakangan diketahui banyak pula IDU yang tertular virus hepatitis B (HBV) dan virus hepatitis C (HCV). Bahkan, ada yang sekaligus terinfeksi HIV dan HCV. IDU ini pun akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk lokal. Bagi yang beristri akan menularkannya kapada istrinya, sedangkan yang belum beristri akan menularkannya kapada pasangannya atau kepada pekerja seks.

Jadi, melihat kenyataan perilaku di Sumut seperti yang diberitakan “Waspada” maka jumlah kasus HIV/AIDS yang dilaporkan itu tidak bisa dijadikan patokan. Persoalan kian pelik karena banyak orang yang berperilaku berisiko tinggi tertular HIV tidak menyadari kalau dirinya sudah tertular HIV karena tidak ada gejala-gejala yang khas dan kesehatan pun tidak terganggu.

Kehidupan seseorang yang HIV-positif mulai terganggu setelah mencapai masa AIDS karena sudah mulai muncul berbagai penyakit berupa infeksi oportunistik. Penyakit inilah yang dapat menyebabkan kematian karena tidak ada lagi benteng yang menjadi pertahanan diri. Pada kondisi ini sel-sel darah putih yang menjadi benteng yang melawan penyakit tidak kuat lagi karena sudah dirusak oleh HIV.

Tetapi, biar pun belum mencapai masa AIDS (antara 5-10 tahun setelah terinfeksi) dan belum ada gejala-gejala yang terkait dengan AIDS seseorang HIV-positif sudah dapat menularkan HIV kepada orang lain melalui perilaku berisiko.

Kondisi inilah yang bisa menjadi ‘bom waktu’ epidemi HIV. Tanpa disadari seseorang menjadi mata rantai penyebaran HIV. Untuk itulah diperlukan KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) yang objektif, akurat dan jujur tentang HIV/AIDS. Selama ini informasi HIV/AIDS dibalut dengan moral dan agama sehingga yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah), misalnya, penularan HIV dikait-kaitkan dengan zina, pelacur, selingkuh, jajan, dll.

Padahal, secara medis HIV hanya menular (1) melalui hubungan seks penetrasi  yang tidak terlindungi (tidak memakai kondom) baik heteroseks, biseks, seks oral dan seks anal di dalam dan di luar nikah serta homoseks dengan seseorang yang HIV-positif; (2) melalui transfusi darah yang tercemar HIV; (3) melalui jarum suntik, semprit, jarum tindik, jarum tattoo, dan alat-alat kesehatan yang tercemar HIV; dan (4) dari seorang ibu yang HIV-positif kepada anak yang dikandungnya.

Mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk di Sumut dapat diputus dengan anjuran agar laki-laki yang pernah melakukan perilaku berisiko tinggi tertular HIV menjalani tes HIV. Dengan mengetahui status HIV, seseorang dapat menempuh langkah yang tepat untuk mencegah agar dia tidak menularkan HIV kepada orang lain.

Selain itu seseorang yang diketahui status HIV-nya lebih dini maka akan dapat dilakukan tindakan-tindakan medis dan nonmedis agar yang bersangkutan tetap bisa hidup seperti biasa dan produktif. Misalnya, pemberian obat antiretroviral untuk menekan penggandaan HIV di dalam darah untuk menunda masa AIDS.***

Jakarta, 2009/08/28

Catatan: pernah dimuat di https://aidsmediawatch.wordpress.com/2009/08/28/tanggapan-terhadap-berita-di-harian-%E2%80%9Dwaspada%E2%80%9D/


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.