Tanggapan
terhadap berita HIV/AIDS di Harian “PRIANGAN”, Tasikmalaya
Oleh: Syaiful
W. Harahap
[Pemerhati berita HIV/AIDS di media
massa melalui LSM (media watch) “InfoKespro” Jakarta]
Berita “Di Tasik
Harus Ada Lokalisasi PSK?” di Harian “PRIANGAN”,
Tasikmalaya, edisi 4/3-2008 menunjukkan ambiguitas terhadap realitas sosial.
Tanpa lokalisasi pelacuran pun praktek-praktek pelacuran tetap terjadi.
Lokalisasi pelacuran terkait dengan kesehatan masyarakat yaitu melindungi
masyarakat dari penyakit-penyakit yang ditularkan melalui hubungan seks disebut
IMS yaitu infeksi menular seksual.
Pelacuran
merupakan kegiatan yang seusia dengan kehidupan manusia. Selama ini orang-orang
yang memakai kaca mata moral melihat pelacuran dari sudut peremupan yaitu
pekerja seks komersial (PSK). Padahal, pelacuran hidup karena kehadiran
laki-laki. Tapi, karena yang bicara laki-laki dan memakai kaca mata moral yang
menjadi sasaran tembak adalah PSK (baca: perempuan).
Selama
ada roda kehidupan maka (praktek) pelacuran tidak akan berhenti. Bahkan, akidah
pun dipakai untuk ‘menghalalkan’ pelacuran. Di Jakarta dan beberapa tempat yang
melakukan ‘kawin kontrak’, praktek pelacuran ‘dihalalkan’ dengan nikah mut’ah.
Secara akidah pernikahan itu sah karena sudah memenuhi rukun nikah yaitu (1)
ada calon mempelai laki-laki dan perempuan, (2) ada wali, (3) ada saksi, (4)
ijab, dan (5) kobul. Tapi, mereka khilaf bahwa seseorang yang sudah mereka
‘nikahkan’ kemudian ‘bercerai’ setelah beberapa jam atau beberapa hari
mempunyai masa idah yaitu tiga bulan. Tapi, perempuan-perempuan itu bisa
‘menikah’ lagi beberapa jam setelah ‘bercerai’.
Praktek Pelacuran
Yang
perlu diperhatikan dalam hal pelacuran bukan ada atau tidak lokalisasi, tapi
yang perlu diperhatikan adalah praktek pelacuran yaitu kegiatan
berupa hubungan seks, dalam hal ini antara laki-laki dan perempuan, dengan
imbalan uang yang diberikan laki-laki kepada perempuan. Kegiatan seperti ini
tidak hanya terjadi di lokalisasi pelacuran tapi bias terjadi di mana saja dan
kapan saja. Siang atau malam hari bias terjadi di losmen, motel, hotel melati
atau berbintang, rumah, apartemen, taman, hutan, dll.
Praktek
pelacuran ada yang terbuka dan ada pula yang tertutup. Yang terbuka di
lokalisasi pelacuran. Sedangkan yang tertutup laki-laki menunggu di satu tempat
kemudian perempuan datang menyusul. Ini yang disebut sebagai ‘perempuan
panggilan’ karena perempuan yang akan meladeni laki-laki ‘hidung belang’
dipanggil melalui telepon, atau kurir yang bisa seorang pegawai losmen atau
hotel, tukang beca, pengojek atau sopir taksi. Ada juga perempuan sudah
‘tersedia’ di losmen atau hotel yang ‘menyamar’ sebagai tamu. Ada pula
perempuan dengan dandanan tertentu yang menawarkan diri dengan mangkal di tepi
jalan tertentu, di mal atau tempat lain.
Di
kala epidemi IMS (infeksi menular seksual yaitu penyakit-penyakit yang
ditularkan melalui hubungan seks, seperti sifilis, GO, klamidia, dll.) dan
HIV/AIDS sudah ada di pelupuk mata (tidak ada tempat di dunia ini yang bebas
AIDS) maka perlu diperhatikan faktor-faktor yang mengandung risiko terhadap
penularan IMS dan HIV.
Salah
satu faktor yang mendorong tingkat penularan IMS dan HIV adalah kegiatan
praktek pelacuran yang terbuka dan tertutup. Jika ditilik dari aspek kesehatan
masyarakat maka upaya untuk melindungi masyarakat lebih mudah dilakukan melalui
pelacuran terbuka di lokalisasi. PSK yang mangkal di lokalisasi dilatih untuk
melindungi diri agar tidak tertular dan tidak menularkan IMS dan HIV.
Satu
hal yang perlu diperhatikan dalam kaitan epidemi IMS dan HIV adalah yang
pertama kali menularkan IMS dan HIV kepada PSK adalah laki-laki yang dalam
kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami, pacar, duda, lajang, atau
remaja yang bekerja sebagai pegawai, karyawan, petani, sopir, tukang ojek,
rampok, garong, pelajar atau mahasiswa. Jika ada PSK yang tertular IMS dan HIV
sekaligus maka laki-laki yang kemudian melakukan hubungan seks tanpa kondom
dengan PSK itu akan berisiko tertular IMS dan HIV atau dua-duanya sekaligus.
Kontrol Kesehatan
Mereka
itulah, laki-laki yang menularkan IMS atau HIV atau dua-duanya sekaligus dan
kemudian laki-laki yang tertular IMS atau HIV atau kedua-duanya sekaligus, yang
menjadi mata rantai penyebaran IMS dan HIV/AIDS di masyarakat.
Seorang
laki-laki yang tertular IMS akan mengalami gejala, misalnya kencing teradsa
nyeri, beberapa hari setelah tertular sehingga bisa diketahui. Tapi, lain
halnya dengan HIV/AIDS. Orang-orang yang tertular HIV tidak menyadari dirinya
sudah tertular HIV karena tidak ada tanda, gejala, atau ciri-ciri yang khas
AIDS pada fisiknya dan tidak ada pula keluhan kesehatan sebelum masa AIDS
(antara 5-10 tahun setelah tertular HIV). Tapi, para rentang waktu ini sudah
bisa terjadi penularan HIV, lagi-lagi tanpa disadari, melalui: (a) hubungan
seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah, (b) transfusi darah, (c) cangkok
organ tubuh, (d) jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo,
dan alat-alat kesehatan, (e) air susu itu (ASI).
Dalam kaitan epidemi IMS dan HIV inilah
kemudian masalah lokalisasi dan praktek pelacuran perlu diperhatikan. Yang bisa
ditangani oleh instansi, dalam hal ini Dinas Kesehatan, adalah pelacuran
terbuka di lokalisasi. PSK di lokalisasi menjalani pemeriksaan kesehatan secara
rutin. PSK yang terdeteksi mengidap IMS diobati dan dilarang untuk melayani
tamu sebelum penyakitnya sembuh.
Memang,
yang bisa dikontrol secara rutin adalah IMS, sedangkan terhadap HIV/AIDS hanya
dilakukan survailans tes HIV (didahului dengan konseling, dilakukan secara
sukarela dan anonim) yaitu untuk memperoleh angka prevalensi (perbandingan
antara yang HIV-positif dan HIV-negatif pada kurun waktu tertentu). Angka-angka
ini dipakai untuk merancang kegiatan penyuluhan untuk pencegahan dan sebagai
peringatan bagi laki-laki ‘hidung belang’ agar tidak melakukan hubungan seks
tanpa kondom dengan PSK di lokalisasi itu.
Untuk
melindungi masyarakat dari ancaman penularan IMS dan HIV maka laki-laki ‘hidung
belang’ diwajibkan memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seks dengan
PSK. Kalau ‘hidung belang’ yang mengidap IMS atau HIV atau dua-duanya sekaligus
maka mereka tidak menularkannya kepada PSK. Sebaliknya, kalau PSK yang mengidap
IMS atau HIV atau dua-duanya sekaligus maka ‘hidung belang’ tidak tertular IMS
atau HIV sehingga mereka tidak akan menjadi mata rantai penularan HIV ke
masyarakat.
Perda Anti Pelacuran
Agar
peraturan ini efektif maka jika ada PSK yang terdeteksi mengidap IMS yang
dihukum bukan PSK tapi germonya (di lokalisasi pelacuran ada germo yang mempekerjakan
beberapa PSK). Soalnya, kalau yang dihukum PSK maka kewajiban memakai kondom
tidak akan berjalan karena lelaki ‘hidung belang’ akan menolak permintaan PSK
dengan mendatangi germo untuk memaksa PSK meladeninya tanpa kondom.
Yang
sulit dikontrol justru PSK yang melakukan praktek pelacuran secara tertutup.
Untuk itulah kalau ada lokalisasi pelacuran maka orang-orang yang terlibat
praktek pelacuran di luar lokalisasi (germo, PSK, laki-laki ‘hidung belang’,
penyedia tempat, dll.) diancam dengan hukuman yang berat. Hukuman diperberat
kalau PSK yang tertangkap kemudian terdeteksi mengidap IMS atau HIV atau
dua-duanya sekaligus karena mereka tidak memakai kondom.
Jika
bertolak dari upaya menyelamatkan masyarakat maka lokalisasi pelacuran bukanlah
tindakan melegalkan pelacuran karena tanpa lokalisasi pun praktek pelacuran
terus terjadi. Inilah yang mengancam masyarakat karena laki-laki yang melakukan
hubungan seks dengan perempuan (baca: PSK) di losmen, motel, hotel, rumah,
apartemen, dll. Berisiko tinggi tertular IMS dan HIV atau dua-duanya sekaligus.
Kalau mereka tertular maka mereka akan menularkannya kepada orang lain.
PSK
di pelacuran tertutup sering disamarkan sebagai ‘anak sekolah’, ‘ayam kampus’,
‘cewek salon’, dll. Apa pun namanya sehingga tidak menggambarkan PSK tapi
mereka itu tetaplah sebagai orang yang berisiko tinggi tertular IMS dan HIV
atau dua-duanya sekaligus karena mereka melakukan hubungan seks dengan pasangan
yang berganti-ganti.
Sampai
sekarang sudah banyak daerah (kabupaten, kota, dan provinsi) yang menelurkan
peraturan daerah (Perda) yang melarang pelacuran dan penanggulangan HIV/AIDS.
Tapi, hasilnya nol besar karena yang diatur tidak menyentuh inti persoalan
yaitu upaya untuk mencegah penularan IMS dan HIV dengan cara yang masuk akal serta
melindungi masyarakat. Perda-perda itu justru mengedepankan moral sebagai alat
untuk mencegah penularan IMS dan HIV serta mengancam orang-orang yang
menularkan HIV. Padahal, lebih dari 90 persen penularan HIV terjadi tanpa
disadari.
Salah
satu upaya untuk memutus mata rantai penyebaran IMS dan HIV melalui Perda
adalah dengan mebuat ketentuan yang mewajibkan laki-laki memakai kondom jika
melakukan hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang
berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan,
seperi PSK, baik di lokalisasi pelacuran maupun di pelacuran tertutup. ***
Catatan:
pernah dimuat di https://aidsmediawatch.wordpress.com/2009/07/16/lokalisasi-pelacuran-untuk-melindungi-masyarakat-2/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.