Oleh: Syaiful
W. Harahap
[Sumber: Newsletter “infoAIDS”
edisi No. 13/Februari 2007]
Kalau dahulu penguasa daerah
membusungkan dada kalau daerahnya tidak masuk dalam laporan kasus kumulatif
HIV/AIDS, tapi sekarang daerah justru melaporkan kasus HIV/AIDS. Angka
kasus kumulatif yang kecil merupakan ‘kebanggaan semu’.
Belakangan
ini banyak pula daerah yang kelabakan ketika angka kasus HIV/AIDS di daerahnya
tiba-tiba melonjak. Reaksi yang muncul pun sering tidak nalar. Mulai dari
usulan karantina, isolasi, pelacakan, merancang peraturan yang menghabiskan
ratusan juta rupiah uang rakyat, studi banding, seminar, pelatihan, dll. Kalau
nalar dipakai maka penemuan kasus (baru) HIV/AIDS merupakan titik awal dari
upaya memutus mata rantai penyebaran HIV/AIDS.
Kasus
yang terdeteksi hanyalah sebagian kecil dari kasus yang sebenarnya di
masyarakat. Dalam epidemi HIV/AIDS dikenal istilah fenomena gunung es. Puncak
gunung es yang dapat dilihat di permukaan laut sangat kecil (ini menggambarkan
angka yang terdeteksi) tapi bagian yang tidak muncul ke permukaan jauh lebih
besar (ini menggambarkan kasus yang tidak terdeteksi). Tidak ada rumus yang
bisa menentukan jumlah kasus yang tidak terdeteksi.
Mata Rantai
Kasus
AIDS di kalangan pengguna narkoba suntikan merupakan mata rantai penyebaran HIV
antar penduduk secara horizontal melalui hubungan seks (dengan pacar, istri,
suami, selingkuhan, dan pekerja seks). Pengguna narkoba yang terdeteksi pada
tahap AIDS berarti mereka sudah tertular HIV antara 5 – 10 tahun sebelumnya.
Nah, tanpa mereka sadari pada rentang waktu antara 5 – 10 tahun sebelum mereka
terdeteksi HIV-positif mereka sudah menjadi mata rantai penyebaran HIV ke
masyarakat.
Yang
beristri akan menulari istrinya melalui hubungan seks tanpa kondom di dalam
nikah. Kalau istrinya tertular maka ada risiko penularan HIV kepada bayi yang
dikandungnya kelak terutama pada saat persalinan dan menyusui dengan air susu
ibu (ASI).
Selain
itu mereka pun akan menjadi mata rantai penularan HIV kepada pengguna narkoba
lain. Andaikan seorang pengguna narkoba yang HIV-positif memakai narkoba dengan
jarum suntik secara bergantian dengan lima temannya maka ada risiko penularan
kepada lima temannya itu. Tingkat risiko penularan melalui penggunaan jarum suntik
secara bergantian pada pengguna narkoba mendekati 100 persen.
Kalau
ada di antara lima temannya tadi yang tertular maka mereka pun menjadi mata
rantai penyebaran HIV pula. Kepada istri, pacar, PSK atau pengguna narkoba
lain. Angka ini terus bertambah bagaikan deret ukur.
Penularan
HIV terjadi secara diam-diam tanpa disadari karena seseorang yang sudah
tertular HIV tidak menunjukkan tanda, gejala atau ciri-ciri yang khas AIDS pada
fisiknya sebelum mencapai masa AIDS (antara 5 – 10 tahun setelah tertular HIV).
Tapi, mereka sudah bisa menularkan HIV kepada orang lain melalui: (a) melalui
hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah, (b) transfusi darah,
(c) cangkok organ tubuh, (d) jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur,
jarum tattoo dan alat-alat kesehatan, (e) menyusui dengan ASI, dan (f)
homoseksual tanpa kondom.
Inilah
yang membuat kasus HIV/AIDS terus bertambah dengan cepat tanpa bisa
dikendalikan karena orang-orang yang sudah tertular HIV tidak bisa dikenali
melalui fisiknya. Banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV.
Anjuran Tes HIV
HIV
adalah virus yang tergolong retrovirus yaitu virus yang bisa menggandakan diri
di dalam sel-sel darah putih manusia. Sel-sel darah putih yang dijadikan HIV
sebagai ‘pabrik’ untuk menggandakan diri rusak. HIV yang baru diproduksi dalam
jumlah yang banyak akan mencari sel darah putih lain untuk menggandakan diri.
Begitu seterusnya tanpa menimbulkan gejala pada kesehatan.
Jika
sel-sel darah putih sudah banyak yang rusak maka sampai pada tahap AIDS.
Seseorang yang tertular HIV yang sudah sampai pada masa AIDS akan mudah sakit
karena berbagai penyakit, baik karena kuman, bakteri atau virus mudah masuk.
Hal ini terjadi karena sel-sel darah putih yang menjadi ‘bala tentara’
perlindungan tubuh tidak berdaya lagi menghadapi serangan penyakit. Maka, yang
membuat Odha (Orang dengan HIV/AIDS) meninggal adalah penyakit-penyakit
yang menyerang pada masa AIDS.
Penularan
HIV dapat dicegah dengan cara-cara yang sangat masuk akal yaitu menghindari
agar darah, air mani, cairan vagina atau ASI yang mengandung HIV tidak masuk ke
dalam tubuh. Persoalannya adalah kita tidak bisa mengenali orang-orang yang
sudah tertular HIV dari penampilan fisiknya.
Lalu,
bagaimana caranya melindungi diri agar tertularHIV/AIDS?
Cara
yang masuk akal adalah menghindari perilaku berisiko tinggi tertular HIV yaitu:
(a) tidak melakukan hubungan seks tanpa kondom, di dalam atau di luar nikah, di
mana saja dengan pasangan yang berganti-ganti karena ada kemungkinan salah satu
dari mereka HIV-poistif, (b) tidak melakukan hubungan seks tanpa kondom, di
dalam atau di luar nikah, di mana saja dengan seseorang yang sering
berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks, karena ada kemungkinan salah
satu dari pelanggan mereka HIV-poistif, (c) tidak menerima transfusi darah dan
cangkok organ tubuh yang tidak diskrining HIV, (d) tidak memakai jarum suntik,
jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo, pisau cukur dan alat-alat
kesehatan yang tidak steril.
Nah,
kalau ada seseorang, laki-laki atau perempuan, yang pernah melakukan perilaku
berisiko, di daerah sendiri, di luar daerah, atau di luar negeri, maka dia
sudah berisiko tertular HIV. Biar pun di daerah sendiri tidak ada lokalisasi
atau lokasi pelacuran, tapi bisa saja melakukan perilaku berisiko di luar
daerah. Soalnya, tidak ada satu negara pun di dunia ini bebas HIV/AIDS. Maka,
kalau ada penduduk di satu daerah yang tertular HIV maka merekalah yang akan
menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal, terutama melalui hubungan
seks di dalam atau di luar nikah, antar penduduk tanpa mereka sadari.
Langkah
yang tepat bagi orang-orang yang pernah melakukan perilaku berisiko tinggi
adalah menjalani tes HIV secara sukarela untuk mengetahui status HIV: sudah
atau belum tertular.
Bagi
orang-orang yang terdeteksi sudah tertular melalui tes HIV maka mereka diminta
untuk memutus mata rantai penyebaran HIV yaitu tidak melakukan hubungan seks
tanpa kondom, tidak mendonorkan darah, tidak memakai jarum suntik bergantian.
Mereka pun dapat pula ditangani secara medis sehingga tetap bisa produktif.
Misalnya, pemberian obat antiretroviral (ARV) yaitu obat untuk menekan
penggandaan HIV di dalam darah. Sedangkan bagi yang tidak tertular dianjurkan
agar menjauhi perilaku berisiko tinggi. *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.