Oleh: Syaiful
W. Harahap
LSM (media watch) ”InfoKespro”
Jakarta
Penggunaan kata yang
merendahkan harkat dan martabat manusia terdapat dalam material KIE
(komunikasi, informasi, dan edukasi) terkait HIV/AIDS.
Dalam
buku “Rencana Aksi Nasional
Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia 2007-2010” (Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, 2007), misalnya, ditemukan
penggunaan kata yang menggantikan kata pelacur, pekerja seks, dan pekerja seks
komersial dengan memakai kata penjaja.
Di
halaman iii disebutkan: penjaja seks (PS), pelanggan penjaja seks (PPS)
Di
halaman x pada Daftar Singkatan disebutkan:
– PPS:
Pelanggan Penjaja Seks
– WPS:
Wanita Penjaja Seks
Di
halaman 1 disebutkan wanita penjaja seks (WPS)
Di
halaman 11 disebutkan penjaja seks (PS), wanita penjaja seks (langsung dan
tidak langsung), lelaki seks dengan lelaki (LSL), pelanggan penjaja seks (PPS)
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) , Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdikbud-Balai Pustaka, Cet
I, 1988 disebutkan:
–
jaja-berjaja-menjaja: pergi berkeliling membawa dan menawarkan barang dagangan
(supaya dibeli orang)
– menjajakan:
menjual barang dagangan (dengan dibawa berkeliling)
– jaja-jajaan:
barang dagangan yang dijajakan
– penjaja: orang
yang menjajakan
Bertolak
dari makna kata jaja tentulah penggunaan kata penjaja seks tidak pas karena
pekerja seks tidak menjajakan ’barang dagangannya’. Tidak ada pekerja seks yang
berkeliling menunjukkan ’barang dagangannya’. Ini fakta.
Yang
terjadi adalah laki-laki yang mendatangi pekerja seks. Ini fakta.
Pemakaian
kata pejaja merendahkan harkat dan martabat perempuan yang menjadi pekerja seks
(baca: perempuan) sebagai manusia.
Pemakaian
kata penjaja pada penjaja seks atau wanita penjaja seks menunjukkan tidak ada
cita rasa bahasa.
Istilah
lelaki seks dengan lelaki (LSL) juga tidak pas karena tidak ada gambaran proses
atau kegiatan dalam kata ini. Seks adalah jenis kelamin sehingga kalau
diartikan maka kata itu menjadi ’lelaki jenis kelamin dengan lelaki’. LSL
dipakai sebagai padanan ’man having sex with man’ (MSM). Pada MSM ada kegiatan
yaitu laki-laki berhubungan seks dengan laki-laki, sedangkan pada LSL tidak ada
kegiatan (seks).
Selain
itu Odha bukan singkatan atau akronim tapi kata yang mengacu kepada Orang
dengan HIV/AIDS sehingga tidak semua hurufnya kapital. Istilah ini sendiri
dianjurkan oleh Prof Dr Antom M. Moeliono, ketika itu Kepala Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa, Depdikbud, kepada aktivis YPI al. Husein Habsyi
dan alm. Suzana Murni (16/11-1995). Menurut Prof Anton lebih netral dan
dinamis daripada menyebut penderita, pengidap, korban, dll.
Dalam
KIE saja kita sudah membuat jarak dan merendahkan martabat manusia. Ini juga
akan membuat orang melihat pekerja seks sebagai bidang keladi epidemi HIV. Pada
akhirnya hal itu akan mendorong masyarakat melakukan stigma dan diskriminasi.
***
Catatan:
pernah dimuat di https://aidsmediawatch.wordpress.com/2009/07/18/kata-yang-merendahkan-martabat-dan-harkat-manusia/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.