Oleh: Syaiful W. HARAHAP
Laporan Ditjen P2P,
Kemenkes RI, tanggal 24 Mei 2017, menunjukkan jumlah kasus kumulatif HIV/ADS
secara nasional sejak tahun 1987 sd. Maret 2017 berjumlah 330.152 yang terdiri
atas 242.699 HIV dan 87.453 AIDS.
Sejak
awal epidemi pakar-pakar epidemiologi nasional dan internasional sudah
mengingatkan Indonesia agar sungguh-sungguh menanggulangi penyebaran HIV,
khusunya menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan
seksual dan pada penyalahguna narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya)
dengan memakai jarum suntik secara bersama-sama dengan bergiliran.
Subsitusi Metadon
Estimasi
berbagai kelangan terkait dengan epidemi HIV di Indonesia pada kisaran angka 270.000
di tahun 1990-an. Angka ini sudah terlampui bahkan jauh lebih besar karena jumlah
yang disebut Ditjen P2P itu hanya kasus-kasus yang dilaporkan oleh instansi
terkait. Padahal, tidak sedikit kasus HIV/AIDS terdeteksi di klinik dan rumah
sakit swasta serta praktek pribadi dokter yang kemungkinan besar tidak
dilaporkan karena kepentingan pasien. Selain itu tidak ada mekanisme yang
efektif dan aktif dalam menemukan kasus HIV/AIDS di masyarakat.
Celakanya,
banyak orang yang mengidap HIV/AIDS tidak menyadarinya sehingga mereka pun
menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, terutama melalui hubungan
seksual di dalam dan di luar nikah dengan kondisi laki-laki tidak memakai
kondom. Soalnya, sampai 15 pun bisa terjadi tidak ada gejala-gejala yang khas AIDS
pada fisik dan kondisi kesehatan orang-orang yang mengidap HIV/AIDS, disebut
Odha (Orang dengan HIV/AIDS).
Sedangkan
pada penyalahguna narkoba insiden infeksi HIV baru relatif bisa ditangani
karena penyalahguna dengan jarum suntik ditarik mengikuti program subtitusi
metadon yaitu narkoba sintesis cair sehingga mereka tidak lagi menylahaguna
narkoba dengan jarum suntik. Soalnya, risiko penyebaran HIV di kalangan
penyalahguna narkoba terjadi karena mereka memakai jarum suntik dan peralatan
yang sama secara bergiliran.
Jika
salah seorang dari mereka mengidap HIV/AIDS, maka ada risiko yang lain tertular
karena darah pengidap HIV/AIDS masuk ke jarum suntik. Ketika jarum suntik
dipakai yang lain maka ada kemungkinan darah di jarum dan piston masuk ke
aliran darah. Risiko penularan HIV melalui darah yang mengandung HIV mencapai
90 persen.
Yang
jadi masalah besar di Indonesia adalah pemerintah sama sekali tidak bisa
menjalankan program yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru,
terutama pada laki-laki dewasa, melalui hubungan seksual dengan pekerja seks
komersial (PSK) langsung dan PSK tidak langsung karena praktek PSK langsung
pun, yaitu lokalisasi pelacuran, sudah ditutup sejak reformasi. Lokasisasi
pelacuran sekarang tinggal hitungan jari.
PSK
langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau
lokalisasi pelacuran atau di jalanan.
PSK
tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai
cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus,
cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang
kekuasaan), dll.
Ketika
jumlah kasus HIV/AIDS di Thailand mendekati angka 1.000.000 pemerintah Negeri
Gajah Putih itu pun menjalankan lima program simultan denga skala nasional,
yaitu meningkatan peran media massa sebagai media pembalajaran
masyarakat, pendidikan sebaya (peer
educator), pendidikan HIV/AIDS di
sekolah, pendidikan HIV/AIDS di tempat kerja di sektor pemerintah dan swasta,
pemberian keterampilan, promosi kondom, dan program kondom 100 persen di
lingkungan industri seks
(Integration of AIDS into National
Development Planning, The Case of Thailand, Thamarak Karnpisit, UNAIDS,
Desember 2000)
Mata Rantai
Sayangnya,
program penanggulangan di Indonesia mengekor ke ekor program Thailand itu dan
tidak dengan program yang konkret. Pemerintah provinsi, kabupaten dan kota di
Indonesia ramai-ramai dengan euforia reformasi membuat peraturan daerah (Perda)
yang mengacu ke program Thailand tapi yang dipakai ekor program Thailand yaitu
pemakaian kondom pada laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK
langsung (Program Penanggulangan AIDS di Indonesia Mengekor keEkor Program Thailand).
Yang
jadi masalahbesar adalah mekanisme pengawasan di perda-perda AIDS yang ada
tidak konkret. Yang dihukum PSK, seperti yang sudah dilakukan di Kabupaten
Merauke, Papua. PSK dipenjarakan karena terdeteksi mengidap sifilis atau GO.
Ini tidak ada manfaatya karena:
(1)
Satu PSK dipenjarakan puluhan bahkan ratusan PSK baru bisa didatangkan germo.
Thailand justru menghukum germo kalau ada ‘anak asuh’ dia yang terdeteksi
mengidap sifilis atau GO sehingga germo akan memaksa laki-laki pakai kondom
karena terkait dengan kelangsungan udaha mereka sebagai germo.
(2)
Kemungkinan pertama PSK itu tertular sifilis atau GO dari laki-laki penduduk
setempat, sehingga laki-laki tsb. jadi mata rantai penyebaran sifilis atau GO
atau kedua-duanya. Bahkan, bisa jadi laki-laki itu juga mengidap HIV/AIDS
karena penularan sifilis, GO dan HIV melalui hubungan seksual persis sama.
(3)
Kemunginan kedua PSK itu sudah mengidap siflis atau GO atau kedua-duanya,
bahkan juga ada kemungkinan mengidap HIV/AIDS ketika tidak di daerah baru tsb.
Itu artinya laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK berisiko tinggi
tertular sifilis atau GO atau kedua-duanya bahkan juga dengan HIV.
Nah,
laki-laki yang menularkan sifilis, GO atau HIV ke PSK dan laki-laki yang
tertular sifilis, GO atau HIV dari PSK
menjadi mata rantai penyebaran sifilis, GO dan HIV di masyarakat. Buktinya
adalah penemuan kasus sifilis, GO atau HIV/AIDS pada ibu-ibu rumah tangga.
Yang
banyak dlakukan sekarang adalah mengajak dan menganjurkan tes HIV. Ini jelas
hanya program di hilir karena ketika ada yang terdeteksi itu artinya mereka
sudah tertular HIV. Yang diperlukan adalah penanggulangan di hulu, terutama
pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK.
Tapi,
pemerintah sama sekali tidak bisa menjalankan program seperti yang dilakukan
Thailand karena: (a) penolakan besar-besaran terhadap kondom, dan (b)
lokalisasi pelacuran ditutup.
Fakta Medis
Program
‘wajib kondom bagi laki-laki ‘ ketika melakukan hubungan seksual hanya bisa
dijalankan pada PSK langsung di lokalisari pelacuran melalui intervensi dalam
bentuk regulasi. Sekarang program tsb. otomatis tidak bisa dijalankan karena
program itu tidak bisa diterapkan pada PSK tidak langsung karena transaksi seks
terjadi di sembarang waktu dan sembarang tempat melalui komunikasi Internet,
ponsel dan media sosial.
Menteri
Sosial Khofifah Indar Parawansa dengan bangga selalu mengatakan akan menutup
semua tempat pelacuran, tapi mengabaikan praktek pelacuran yang terjadi dan
membuat program penanggulangan tidak bisa dijalankan dengan efektif. Jika
dilihat dari tabel laporan kasus jumlah kasus yang dilaporkan Jawa Timur
mendekat Jakarta. Padahal, kasus HIV/AIDS di Jakarta banyak yang bukan penduduk
Jakarta bahkan ada WNA. Padahal, Mensos Khofifah mengatakan di Jawa Timur
paling banyak ditutup lokalisasi pelacuran.
Perda-perda
AIDS itu, jumlahnya 96 serta 10 peraturan gubernur, bupati dan walikota, sama
sekali tidak mempunyai program penanggulangan yang konkret di hulu. Bahkan,
perda-perda itu lebih mengutamakan penanggulangan dengan norma dan moral yang
sama sekali tidak bisa dijalankan. Misalnya, ada perda yang mengandalkan “iman
dan taqwa”. Bagaimana mengukur “iman dan taqwa” yang bisa mencegah penularan
HIV? Apa alat ukurnya? Siapa yang berhak mengukurnya?
HIV/AIDS
adalah fakta medis. Artinya bisa diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran
sehingga cara-cara penularan dan pencegahannya pun bisa dilakukan dengan
cara-cara yang realistis. Tapi, karena sejak awal epidemi HIV/AIDS sudah
dibalut dengan norma dan moral, maka yang berkembang pesat adalah mitos
(anggapan yang selah) tentang penularan dan pencegahan HIV.
Misalnya,
mengaitkan penularan HIV dengan homoseksualitas, zina, pelacuran,
perselingkuhan, dll. Padahal, penularan
HIV melalui hubungan seksual bisa terjadi di dalam dan di luar nikah kalau
salah satu atau kedua-dua pasangan tsb. mengidap HIV/AIDS dan suami atau
laki-laki tidak memakai kondom (kondisi hubungan seksual) bukan karena
homoseksual, zina, pelacuran, dll. (sifat hubungan seksual).
Ketika
insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewsa melalui hubungan seksual tanpa kondom
dengan PSK langsung dan PSK tidak langsung akan terus terjadi dan pemerintah
tidak bisa berbuat banyak, maka langkah konkret adalah menyelamatkan bayi-bayi
yang akabn lahir.
Caranya,
dengan membuat regulasi dalam bentuk UU, Perda, dll. yang mewajibkan seorang
suami menjalan tes HIV ketika istrinya hamil. Jika suami terdeteksi mengidap
HIV/AIDS baru istrinya yang hamil dites agar bisa dilakukan langkah-langkah
medis untuk menyelamatkan bayi yang ada di dalam kandungan.
Teknologi
kedokteran bisa mencegah penularan dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya sampai
nol persen. Untuk itulah diperlukan regulasi agar bayi-bayi yang lahir kelak
tidak jadi beban negara kalau mereka lahir dengan HIV/AIDS. * [kompasiana.com/infokespro] *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.