Oleh: Syaiful
W. Harahap*
[Sumber: Harian “Radar Tarakan”,
29 Agustus 2008]
Agaknya,
membuat peraturan daerah (Perda) sebagai alat untuk menanggulangi epidemi
HIV/AIDS masih terus berlanjut. Kali ini Pemkot dan DPRD Tarakan pun menelurkan
Perda No 6/2007 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS. Pertanyaannya
adalah: apakah Perda efektif menanggulangi HIV/AIDS? Kasus HIV/AIDS di Kota
Tarakan sampai akhir 2007 dilaporkan 148 kasus.
IDE
pembuatan Perda di Indonesia ‘mengekor’ ke Thailand yang dikabarkan bisa
menekan kasus infeksi HIV baru di kalangan dewasa melalui hubungan seks dengan
menerapkan program “Wajib Kondom 100 Persen”.
Perda
pertama terkait penanggulangan HIV/AIDS dikeluarkan oleh Pemkab Merauke (Perda
No 5/2003) disusul Kab. Nabire (Perda No 18/2003), Prov Jatim (Perda No
5/2004), Kab. Puncak Jaya (Perda No 4/2005), Kota Sorong (Perda No 41/2006),
Prov Bali (Perda No 3/2006), Prov Riau (Perda No 4/2006), Kota Palembang (Perda
No 6/2007), Kota Tarakan (Perda No 6/2007), dan Prov. NTT (Perda No 3/2007).
Tapi,
ada beberapa faktor yang luput dari pemrakarsa perda yaitu: (a) program di
Thailand itu dijalankan di lokalisasi pelacuran dan rumah-rumah bordir dengan
sistem pengawasan yang objektif. Kalau ada pekerja seks yang tertular penyakit
maka ada konsekuensinya sampai penutupan usaha. Program itu jelas tidak bisa
dijalankan karena secara de facto dan de jure tidak ada lokalisasi pelacuran
dan rumah bordir di Indonesia, dan (b) di Indonesia terjadi penokalan terhadap
penggunaam kondom.
Pengekoran
terhadap program di Thailand pun tidak komprehensif karena hanya mengambil
salah satu aspek saja dari serentetan program yang komprehensif. Keberhasilan
Thailand menanggulangi HIV/AIDS adalah melalui peningkatan peran media massa
sebagai media pembelajaran masyarakat, pendidikan sebaya (peer educator),
pendidikan HIV/AIDS di sekolah, pendidikan HIV/AIDS di tempat kerja di sektor
pemerintah dan swasta, pemberian keterampilan, promosi kondom, dan program
kondom 100 persen di lingungan industri seks. Maka, karena yang dicontek hanya
ekornya maka penanggulangan HIV/AIDS melalui Perda pun tidak efektif.
Yang Berisiko
Ancaman
hukuman terhadap pelanggar perda pun jauh di bawah UU, seperti KUHP. Ancaman
terhadap pembeberan identitas orang terinfeksi HIV yang diatur Perda pada pasal
22 ayat 4, misalnya, hanya 3 (tiga) bulan kurungan atau denda Rp 50 juta. Di
KUHP pembeber rahasia diancam kurungan paling lama 9 (sembilan) bulan (pasal
322 ayat 1).
Masalah
transfusi darah yang diatur pada padal 10 ayat 1, 2, dan 3 ancaman pidana hanya
3 (tiga) bulan kurungan dengan denda Rp 50 juta. Bandingkan dengan ancaman
terhadap pelanggaran terkait dengan transfusi darah pada 35 ayat 1 UU No
23/1992 tentang Kesehatan yaitu pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan
atau pidana denda paling banyak Rp 100 juta.
Kerajaan
Malaysia harus membayar ganti rugi 1 juta ringgit (sekitar Rp 2,5 miliar)
kepada seorang ibu guru mengaji yang tertular HIV melalui transfusi darah di
rumah sakit pemerintah. Bertolak dari kasus ini Kerajaan Malaysia pun
menerapkan standar ISO yang dikeluarkan oleh International Organization for Standardization yang bermarkas di
Swiss di semua unit transfusi darah di negeri jiran itu.
Langkah
Malaysia ini realistis karena tidak ada jaminan darah bebas HIV kalau hanya
diskrining dengan rapid test atau ELISA karena tes ini hanya mencari antibody
HIV pada darah donor. Padahal, kalau donor yang menyumbangkan darahnya baru
terinfeksi HIV di bawah tiga bulan maka tes ini tidak bisa mencari antibody HIV
karena pada masa jendela belum ada antibody HIV pada darah orang-orang yang
sudah tertular HIV.
Penggunan
kata dalam materi KIE, termasuk perda, pun sering mengabaikan cita rasa
berbahasa. Pada pasal 1 ayat 9, umpamanya, disebutkan tentang penjaja seks
komersial (PSK). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebutkan:
jaja-berjaja-menjaja: pergi berkeliling membawa dan menawarkan barang dagangan
(supaya dibeli orang); menjajakan: menjual barang dagangan (dengan dibawa
berkeliling); jajaan: barang dagangan yang dijajakan; penjaja: orang yang
menjajakan.
Bertolak
dari makna kata jaja tentulah penggunaan kata penjaja seks tidak pas karena PSK
tidak menjajakan ‘barang dagangannya’. Tidak ada pekerja seks yang berkeliling
menunjukkan ‘barang dagangannya’.
Pasal
1 ayat 16 tentang alat pengaman pada saat melakukan hubungan seksual tidak
disebutkan dengan jelas apa yang dimaksud dengan alat pengaman. Selama ini ada
penolakan terhadap kondom karena ada kesalahan dalam memasyarakat kondom.
Mencegah penularan HIV melalui hubungan seks bukan semata-mata dengan kondom
tapi jangan melakukan hubungan seks di dalam atau di luar
nikah dengan orang yang HIV-positif. Persoalannya adalah orang-orang yang sudah
tertular HIV tidak bisa dikenali secara fisik. Maka, jika melakukan hubungan
seks, di dalam atau di luar nikah, dengan orang yang tidak diketahui status
HIV-nya hindari pergesekan penis dengan vagina.
Pasal
3 ayat 1 ada kata populasi berisiko, sedangkan di pasal 8 ayat 2, 3 dan 4 disebutkan
kelompok masyarakat rentan. Ini tidak pas karena yang berisiko dan rentan
terhadap penularan HIV adalah perilaku orang per orang. Perilaku yang berisiko
tertular HIV adalah (a) melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di
luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti karena ada kemungkinan salah
satu dari mereka HIV-positif, dan (b) melakukan hubungan seks tanpa kondom di
dalam atau di luar nikah dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan,
seperti PSK, karena ada kemungkinan salah satu dari pasangannya HIV-positif.
Mitos AIDS
Pada
pasal 8 ayat 5 disebutkan ‘kelompok rentan yang berperilaku berisiko tinggi
wajib melakukan test HIV/AIDS secara priodik’. Bagi orang-orang yang
perilakunya berisiko bisa saja tertular pada setiap hubungan seks yang
berisiko. Sebelum melakukan tes secara priodik mereak sudah menularkan HIV
kepada orang lain tanpa mereka sadari.
Inilah
yang memicu penyebaran HIV antar penduduk karena banyak orang yang tidak
menyadari dirinya sudah tertular HIV. Hal ini terjadi karena tdiak ada tanda,
gejala, atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik orang-orang yang sudah
tertular HIV sebelum masa AIDS (antara 5-10 tahun setelah tertular). Tapi, pada
rentang waktu ini sudah bisa terjadi penularan melalui hubungan seks di dalam
atau di luar nikah, transfusi darah yang tidak diskrining HIV dan jarum suntik.
Sasaran
pencegahan HIV yang dipaparkan pada pasal 4 tidak akurat karena risiko tertular
bukan pada intitusi atau tatanan tapi pada perilaku orang per orang. Maka, yang
menjadi sasaran adalah perilaku orang-orang (laki-laki dan perempuan) yang
berisiko.
Pasal
7 ayat b disebutkan ‘setiap upaya KIE HIV/AIDS harus mencerminkan nilai-nilai
agama, sosial dan budaya yang ada di Indonesia’. HIV/AIDS adalah fakta medis
yaitu bisa diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran sehingga
pencegahannya pun dalam dilakukan secara medis. Selama ini materi KIE HIV/AIDS
selalu dibalut dengan norma, moral, dan agama sehingga yang muncul hanya mitos
(anggapan yang salah).
Misalnya,
mengait-ngaitkan penularan HIV dengan zina, pelacuran, seks di luar nikah, seks
menyimpang, jajan, selingkuh, dan homoseksual. Ini mitos karena penyularan HIV
melalui hubungan seks bisa terjadi di dalam atau di luar nikah kalau salah satu
atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif dan laki-laki atau suami tidak memakai
kondom setiap kali sanggama. Kalau KIE hanya mengandung mitos tentulah sudah
melanggar pasal 7 ayat e karena masyarakat tidak memperoleh informasi HIV/AIDS
yang akurat.
Di
beberapa Perda AIDS selalu muncul larangan kepada orang yang mengetahui dirinya
sudah HIV-positif untuk menularkan HIV kepada orang lain, seperti di pasal 9
ayat 1. Fakta menunjukkan penularan HIV justru banyak terjadi tanpa disadari.
Akan lebih akurat kalau dalam Perda disebutkan: Setiap orang yang perilakunya
berisiko tinggi tertular HIV wajib memakai kondom jika melakukan hubungan seks
di dalam atau di luar nikah.”
Selama
mitos masih menyelimuti penanggulangan HIV/AIDS maka selama itu pula akan
terjadi penularan HIV secara diam-diam yang kelak akan menjadi ‘bom waktu’
ledakan kasus AIDS. (***)
* Penulis pemerhati HIV/AIDS melalui LSM
(media watch) “InfoKespro”, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.