Oleh Syaiful
W. Harahap
[Pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM
(media watch) ”InfoKespro” Jakarta]
Sejak
kasus AIDS ditemukan di Bali (1987), yang kemudian diakui pemerintah sebagai
kasus AIDS pertama di Indonesia, sampai sekarang kasus HIV/AIDS terus
terdeteksi di semua daerah. Sampai 31 Desember 2008 Depkes melaporkan 6.554
kasus HIV dan 16.110AIDS dengan 3.362 kematian. Beberapa daerah menanggapi
epidemi HIV dengan membuat peraturan daerah (Perda) untuk menanggulangi
penyebaran HIV/AIDS di daerahnya. Apakah perda-perda itu berhasil?
Sampai
sekarang di Indonesia sudah ada 30 daerah yang membuat perda mulai dari tingkat
kabupaten, kota, dan provinsi. Papua memegang rekor karena di sana ada tujuh
perda. Bahkan perda peratma ditelurkan di Papua (Nabire). Di Bali ada tiga.
Belasan daerah lain di seluruh nusantara sedang berlomba-lomba membuat perda.
Tapi, perda-perda itu hanya ’copy paste’.
Ide
membuat perda itu adalah program ’100 persen kondom’ di Thailand yang
disebut-sebut berhasil menekan laju penyebaran HIV. Celakanya, program itu bisa
diterapkan karena di Thailand karena ada lokalisasi pelacuran dan rumah bordir.
Sedangkan di Indonesia semua lokalisasi sudah ditutup. Bahkan, beberapa daerah
membuat perda anti pelacuran, anti minuman keras, dan anti maksiat dengan
penegakan hukum yang ketat, seperti razia terhadap pasangan-pasangan di losmen
dan hotel melati. Selain itu terjadi pula penolakan besar-besaran terhadap
promosi kondom sebagai alat untuk mencegah penularan HIV melalui hubungan seks.
Penerapan
’program 100 persen kondom’ di Indonesia tidak efektif karena hanya meniru
sebagai pengekor kebehasilan Thailand tanpa melihat program seccara utuh.
’Program 100 persen kondom’ itu merupakan ekor dari serangkaian program
penanggulangan HIV/AIDS di Thailand.
Keberhasilan
Thailand dalam menurunkan laju infeksi HIV baru di kalangan dewasa berkat
pemahaman masyarakat yang disiarkan media massa. Media massa tanpa berita
kesehatan tetap bisa jalan. Tapi, kesehatan tidak bisa jalan kalau tidak
dipublikasikan (melalui media massa). Ini yang luput dari perhatian banyak
kalangan yang terlibat dengan program penanggulangan HIV/AIDS.
Kesenjangan Informasi
Dari
serangkaian program penanggulangan yang dijalankan Thailand media massa menjadi
urutan pertama yang dimanfaatkan. Program utuh yang dijalakan Thailand
dalam menanggulangi HIV/AIDS adalah peningkatan peran media massa sebagai
media pembelajaran masyarakat, pendidikan sebaya (peer educator),
pendidikan HIV/AIDS di sekolah, pendidikan HIV/AIDS di tempat kerja di sektor
pemerintah dan swasta, pemberian keterampilan, promosi kondom, dan program
kondom 100 persen di lingkungan industri seks.
Peningkatan
peran media massa merupakan sumber pembelajaran bagi masyarakat. Tanpa berita
kesehatan media massa jalan terus, tapi kesehatan, terutama kesehatan
masyarakat, tanpa publikasi (media massa) tidak akan jalan. Persoalan yang
sangat mendasar di Indonesia adalah materi komunikasi, informasi dan
edukasi (KIE) tentang HIV/AIDS yang disebarluaskan tidak akurat karena selalu
dibalut dengan norma, moral, dan agama. Akibatnya, banyak orang yang tidak
memahami HIV/AIDS sebagai fakta medis, tapi memahami HIV/AIDS sebagai mitos.
Kesenjangan
informasi HIV/AIDS pun kian lebar karena media massa nasional sendiri sering
pula membalut berita HIV/AIDS dengan norma, moral, dan agama. Ini pun mendorong
masyarakat melihat HIV/AIDS terkait dengan moral sehingga muncul stigmatisasi dan
diskriminasi terhadap Odha.
Karena
program pendidikan masyarakat melalui media massa tidak dijalankan dengan
konsisten maka muncullah penolakan terhadap beberapa program yang terkait
dengan kesehatan reproduksi, gender, dan HIV/AIDS. Seorang menteri pernah
’diusir’ anggota DPRD Nusa Tenggara Barat (NTB) ketika berbicara tentang
gender. Maka, tidak mengherankan kalau kemudian Komisi Penanggulangan AIDS
Provinsi NAD, misalnya, dengan tegas mengatakan tidak memasukkan penggunaan
kondom dalam program penanggulangan HIV/AIDS.
Hal
itu semua terjadi karena masyarakat tidak memahami akar persoalan HIV/AIDS
dengan jernih karena informasi yang mereka terima tidak komprehensif. Untuk
itulah perlu ada upaya untuk meningkatkan kepedulian media massa terhadap
pemasyarakatan HIV/AIDS secara terus-menerus. Pelatihan untuk penulisan berita
HIV/AIDS sangat terbatas. Banyak donor yang enggan mendukung pelatihan semacam
ini. Begitu pula dengan lomba karya tulis AIDS sangat jarang ada donor dan
perusahaan yang mendukungnya.
Pelatihan untuk penulisan berita
HIV/AIDS yang komprehensif saat ini hanya dijalankan oleh HCPI (HIV Cooperation
Program for Indonesia)- (Dana Kemitraan Australia-Indonesia)/AusAID
melalui media relations officer (MRO) di KPA DKI Jakarta, Jawa Barat, Papua dan
Papua Barat. Pelatihan lain dijalankan oleh Medan Aceh Partnership (MAP) di
Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).
Dari
dua puluh lebih perusahaan dan institusi yang diminta sebagai sponsor lomba
tulis AIDS bagi wartawan dengan hadiah meliput kongres AIDS di Bali bulan
Agustus nanti tidak ada satu pun yang berminat. Lomba tulis hanya dijalankan
oleh HCPI-AusAID yang. Itu pun terbatas bagi wartawan media cetak harian di
daerah kerja HCPI yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Papua, dan Papua Barat.
Berita
seputar HIV/AIDS yang konsisten di media massa diharapkan dapat mendorong
masyarakat untuk meningkatkan kepedulian terhadap pencegahan HIV. Ini menjadi
penting karena program-program penanggulangan HIV/AIDS hanya dilakukan di
hilir. Penanganan dan pendampingan Odha, pemberian obat antiretroviral,
penjangkuan terhadap pekerja seks dan pengguna narkoba, dll. Program itu bisa
jalan karena ada bantuan asing berupa donor. Selama ini lebih dari 70 persen
dana penanggulangan HIV/AIDS berasal dari donor.
Dibalut Moral
Tapi,
ada yang dilupakan yaitu pada saat yang sama ketika dana dipakai di hilir
jumlah infeksi baru (di hulu) terus meningkat yang akhirnya juga akan bermuara
ke program di hilir. Ini akan membenani program di hilir. Jika donor tidak ada
maka program di hilir akan kelabakan karena hanya mengandalkan dana dari
pemerintah melalui APBN dan APBD.
Penanganan di hulu terabaikan.
Penyebarluasan informasi melalui media massa sangat rendah. HIV/AIDS baru jadi
berita kalau ada kasus. Berita pun lebih banyak yang mengedepankan sensasi.
Akibatnya, pemahman masyarakat terhadap HIV/AIDS sangat rendah.
Karena
penyebaran informasi HIV/AIDS yang sangat rendah itulah maka tidak mengherankan
kalau belakangan ini muncul penolakan yang keras terhadap pemasyarakatan kondom
sebagai alat untuk mencegah penularan HIV melalui hubungan seks. Hal yang sama
juga terjadi pada program harm reduction. Sebuah majalah berita menyebut harm
reduction dengan rumatan metadon sebagai ’melawan setan dengan setan’.
Dari
18 Perda yang sudah ada satu pasal pun tidak ada yang menawarkan cara akurat
sebagai pencegahan HIV. Semua pencegahan dibalut dengan norma, moral, dan
agama. Perda AIDS Provinsi Riau dan Kab. Tasikmalaya, umpanya, menyebutkan
HIV/AIDS dapat dicegah dengan iman dan taqwa. Pertanyaannya adalah: (a)
bagaiman iman dan taqwa mencegah penularan HIV, (b) apa alat ukur iman dan
taqwa, dan (c) bagaimana menetapkan ukuran iman dan taqwa yang bisa mencegah
HIV.
Lagi
pula hal itu akan menyuburkan stigma dan diskriminasi terhadap Odha karena ada
kesan orang-orang yang tertular HIV karena tidak beriman dan tidak bertaqwa.
Kalau
saja Perda-perda itu mengacu ke fakta tentang penularan HIV, maka yang perlu
diatur untuk memutus mata rantai penyebaran HIV adalah perilaku orang per
orang. Dalam Perda ada pasal yang menyebutkan: ”Setiap orang diwajibkan memakai
kondom ketika melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah di mana saja
dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering
berganti-ganti pasangan, seperti PSK.”
Selanjutnya
dibuat pula pasal yang berbunyi ” Setiap orang yang pernah atau sering
melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah tanpa kondom dengan
pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti
pasangan, seperti PSK, di mana saja diwajibkan menjalani tes HIV.”
Kian
banyak penduduk yang terdeteksi HIV-positif makin banyak pula mata rantai
penyebaran HIV yang dapat diputus sehingga kasus infeksi baru bisa ditekan.
Tapi, karena semua dibalut dengan norma, moral, dan agama maka penanggulangan
yang ditawarkan di perda-perda pun tidak menyentuh akar persoalan
penyebaran HIV. ***
Catatan:
pernah dimuat di https://aidsmediawatch.wordpress.com/2009/08/22/informasihivaids-kurang-penolakan-terhadap-kondom-marak/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.