Oleh: Syaiful
W. Harahap
[Pemerhati masalah HIV/AIDS dan
direktur eksekutif LSM (media watch) “InfoKespro” Jakarta]
Peningkatan
kasus HIV/AIDS dengan faktor risiko hubungan seks dinilai pakar akan menjadi
pemicu ‘gelombang epidemi HIV/AIDS di Pulau Bali’. Yang menjadi persoalan bukan
lokalisasi dan PSK, tapi penduduk (lokal) yang menjadi pelanggan PSK di Bali
atau di luar Bali. Dengan 628 kasus AIDS menempatkan Bali pada peringkat kelima
secara nasional. Perda Prov. Bali No 3 Tahun 2006 tentang Penanggulangan AIDS
ternyata tidak bisa berperan dalam penanggulangan AIDS di Pulau Dewata.
Perda
AIDS Bali sendiri tidak menawarkan cara-cara pencegahan HIV yang akurat karena
ada muatan moral. Pada pasal 9 disebutkan ”Setiap orang yang melakukan
hubungan seksual berisiko wajib melakukan upaya pencegahan.” Ini hanya pesan
moral yang tidak bermakna jika dikaitkan dengan upaya pencegahan HIV/AIDS.
Kalau
saja pasal ini tidak dibalut moral tentulah berbunyi ”Setiap orang yang
melakukan hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang
berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan,
seperti pekerja seks, wajib memakai kondom.” Kalimat ini bunyi dan orang akan
menangkap arti dan maknanya.
Di
Bali telah terjadi peningkatan kasus penularan HIV melalui hubungan
seksual. Yang dikhawatirkan ada asusmi hal itu terjadi karena pelacuran
di Bali.
Praktek Pelacuran
Boleh-boleh
saja ada asumsi seperti itu. Tapi, ingat ada kemungkinan PSK yang beroperasi di
Bali justru tertular HIV di Bali. Mereka bisa saja ditulari penduduk asli
(lokal) atau wisatawan. Kalau ini yang terjadi maka di masyarakat lokal sudah
ada penduduk yang tertular HIV tapi tidak terdeteksi. Bisa juga terjadi PSK
yang beroperasi di Bali sudah tertular HIV sebelum ke Bali. Kalau ini yang
terjadi maka penduduk Bali yang melakukan hubungan seks tanpa kondom dengan PSK
berisiko tinggi tertular HIV.
Hal
di atas bisa terjadi karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik
orang-orang yang sudah tertular HIV. Penularan HIV pun terjadi tanpa disadari.
Yang menjadi mata rantai penularan HIV bukan PSK tapi laki-laki yang menularkan
HIV kepada PSK dan laki-laki yang tertular HIV dari PSK. Dalam kehidupan
sehari-hari mereka itu bisa sebagai seorang suami, pacar, lajang, remaja, atau
duda yang bekerja sebagai pegawai, karyawan, pelajar, mahasiswa, sopir, petani,
nelayan, pencopet, perampok, dll.
Tidak
ada kaitan langsung antara (lokalisasi) pelacuran dengan penularan HIV. Yang
menjadi persoalan adalah ‘praktek pelacuran’ yaitu hubungan seks tanpa kondom,
di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti di semua
tempat karena ada kemungkinan salah satu dari pasangan itu HIV-positif.
Di
Arab Saudi tidak ada hiburan malam dan tidak pula ada lokalisasi pelacuran,
tapi sampai awal tahun ini sudah dilaporkan lebih dari 10.000 kasus HIV/AIDS.
Hal itu bisa terjadi karena penduduk Arab Saudi melakukan hubungan seks
berisiko, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti di
luar negaranya.
Membuat
lokalisasi di tengah kota agar pelanggan malu tidak relevan karena bisa saja
orang Bali melakukan hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, yang berisiko
di luar Bali atau di luar negeri. Jika dia tertular HIV (ini terjadi tanpa
disadarinya) maka dia akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal
antar penduduk (juga tanpa disadari).
Memupus Mitos
Sebuah
yayasan di Denpasar yang menjalankan VCT (tes sukarela dengan konseling)
terhadap PSK menemukan fakta yang mencengangkan. Sejak Januari sampai bulan ini
dari sekitar 700 PSK yang sudah dites terdeteksi 90 PSK yang HIV+. Tujuh PSK
sedang hamil ketika dites. Sekitar 30 sudah ada indikasi untuk mulai memakai
ARV (ini menunjukkan 30 PSK sudah mencapai masa AIDS). Dari 90 PSK yang
HIV-positif itu tentulah ada yang ditulari oleh penduduk lokal atau mereka
sudah HIV-positif ketika tiba di Bali.
Yang
menjadi persoalan bukan PSK tapi penduduk (lokal) karena pelanggan PSK tentulah
kebanyakan penduduk lokal. PSK yang terdeteksi HIV-positif minimal mereka sudah
tertular tiga bulan sebelum tes. Sedangkan yang sudah terdeteksi pada masa AIDS
mereka sudah tertular antara 5 sampai 10 tahun sebelumnya. Pada rentang waktu
itu sudah banyak laki-laki yang melakukan hubungan seks dengan mereka.
Katakanlah dalam tiba bulan mereka ‘praktek’ 75 hari. Jika satu malam ada 2
tamu maka sebelum mereka terdeteksi sudah 4.500 (90 x 25 x 2) laki-laki yang berisiko
tertular HIV. Nah, laki-laki yang 4.500 inilah yang menjadi mata rantai
penyebaran HIV antar penduduk. Yang beristri akan menulari istirnya atau
perempuan lain atau PSK lain. Yang tidak beristri akan menularkan HIV kepada
pacarnya, pasangannya, atau PSK.
Ketika
di banyak negara kasus infeksi HIV baru di kalangan dewasa mulai menunjukkan
grafik yang mendatar (hal ini terjadi karena penduduk sudah menerapkan
cara-cara pencegahan yang akurat, al. dengan memakai kondom pada sanggama
dengan pasangan yang berganti-ganti) kita malah bertengkar soal pelacuran dan
kondom. Pertambahan kasus baru infeksi HIV di Indonesia merupakan salah satu
yang tercepat di Asia.
Maka,
yang perlu dilakukan adalah meningkatkan penyuluhan dengan mengedepankan
cara-cara pencegahan HIV/AIDS yang realistis yang bertopang pada fakta medis.
Penyuluhan ini juga diharapkan dapat mendorong penduduk yang perilakunya
berisiko tinggi untuk menjalani tes HIV secara sukarela. Mata rantai penyebaran
HIV akan diputus mulai dari penduduk yang terdeteksi HIV-positif. ***
Catatan:
pernah dimuat di https://aidsmediawatch.wordpress.com/2009/08/21/%E2%80%98gelombang-epidemi-hiv%E2%80%99-vs-perda-aids-bali/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.