Oleh: Syaiful
W. Harahap
[Sumber:
Newsleter “infoAIDS” edisi No. 8/Juni 2009
Sebuah harian di
Denpasar, Bali, mem-blow up berita seputar pelacuran terkait
dengan epidemic HIV/AIDS di Pulau Dewata. Ada usul agar pelacuran dilokalisir.
Muncul pro dan kontra. Diperkirakan akan ada ‘gelombang epidemi HIV yang
mengancam Bali’ terkait peningkatkan penularan HIV melalui hubungan seks. Yang
menjadi persoalan bukan lokalisasi dan PSK, tapi perilaku (seks) penduduk lokal
yang menjadi pelanggan PSK di Bali atau di luar Bali.
Menurut
Koordinator Kelompok Kerja Perencanaan, Monitoring, dan Evaluasi KPAD Prov.
Bali, Dewa N. Wirawan, terjadi peningkatan kasus penularan HIV melalui hubungan
seksual (KOMPAS, 12/10/07). Yang dikhawatirkan ada asusmi hal itu
terjadi karena pelacuran di Bali.
Selama
informasi HIV/AIDS dibalut dengan norma, moral, dan agama maka selama itu pula
penularan akan terus terjadi karena masyarakat tidak mengetahui cara-cara
penularan dan pencegahan HIV yang akurat.
Selama
ini penularan HIV dikait-kaitkan dengan zina, pelacuran, ‘seks bebas’, ‘jajan’,
selingkuh, seks pranikah, waria, seks menyimpang, dan homoseksual. Penularan
HIV melalui hubungan seks di dalam atau di luar nikah (bisa) terjadi kalau
salah satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai
kondom setiap kali sanggama. Sebaliknya, kalau dua-duanya HIV-negatif maka
tidak ada risiko penularan HIV biar pun hubungan seks dilakukan dengan zina,
pelacuran, ‘seks bebas’, ‘jajan’, selingkuh, seks pranikah, waria, seks
menyimpang, dan homoseksual.
Orang-orang
yang sudah tertular HIV tidak bisa dikenal dari fisiknya. Maka, sanggama yang
aman dengan orang yang tidak diketahui status HIV-nya adalah dengan
menghindarkan pergesekan langsung antara penis dan vagina pada hubungan seks di
dalam atau di luar nikah.
Praktek Pelacuran
Ada
kemungkinan PSK yang beroperasi di Bali justru tertular HIV di Bali. Mereka
bisa saja ditulari penduduk asli (lokal) atau wisatawan. Kalau ini yang terjadi
maka di masyarakat lokal sudah ada penduduk yang tertular HIV tapi tidak
terdeteksi. Bisa juga terjadi PSK yang beroperasi di Bali sudah tertular HIV
sebelum ke Bali. Kalau ini yang terjadi maka penduduk Bali yang melakukan
hubungan seks tanpa kondom dengan PSK berisiko tinggi tertular HIV.
Dalam kehidupan sehari-hari mereka itu
bisa sebagai seorang suami, pacar, lajang, remaja, atau duda yang bekerja
sebagai pegawai, karyawan, pelajar, mahasiswa, sopir, petani, nelayan,
pencopet, perampok, dll.
Tidak
ada kaitan langsung antara (lokalisasi) pelacuran dengan penularan HIV. Yang
menjadi persoalan adalah ‘praktek pelacuran’ yaitu hubungan seks tanpa kondom,
di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti di semua
tempat karena ada kemungkinan salah satu dari pasangan itu HIV-positif.
Di
Arab Saudi tidak ada industri hiburan malam dan tidak pula ada lokalisasi
pelacuran tetap saja ada kasus HIV/AIDS. Sampai awal tahun ini sudah dilaporkan
lebih dari 10.000 kasus HIV/AIDS. Hal itu bisa terjadi karena penduduk Arab
Saudi melakukan hubungan seks berisiko, di dalam atau di luar nikah, dengan
pasangan yang berganti-ganti di luar negaranya. Sebaliknya, di negara-negara
yang ada lokalisasi pelacuran kasus infeksi HIV baru di kalangan dewasa justru
mulai menunjukkan grafik yang mendatar karena penduduknya sudah menerapkan
cara-cara pencegahan yang realistis yaitu menghindari hubungan seks berisiko.
Melokalisir
PSK (membuat lokalisasi pelacuran) erat kaitannya dengan (kesehatan)
masyarakat. Kita tidak bisa menutup mata terhadap kenyataan bahwa ada laki-laki
penduduk lokal yang pernah atau sering melakukan hubungan seks dengan PSK.
Dengan mengontrol (kesehatan) PSK maka masyarakat dapat diselamatkan dari
kemungkinan tertular penyakit. Secara rutin kesehatan PSK diperiksa dan mereka
dididik agar bisa menolak laki-laki yang tidak mau memakai kondom.
Memupus Mitos
Yang
menjadi persoalan bukan PSK tapi penduduk (lokal) karena pelanggan PSK tentulah
kebanyakan penduduk lokal. PSK yang terdeteksi HIV-positif minimal mereka sudah
tertular tiga bulan sebelum tes. Sedangkan yang sudah terdeteksi pada masa AIDS
mereka sudah tertular antara 5 sampai 15 tahun sebelumnya. Pada rentang waktu
itu sudah berapa laki-laki yang melakukan hubungan seks dengan mereka. Dalam
tiga bulan mereka ‘praktek’ 75 hari. Jika satu malam ada dua tamu maka sebelum
mereka terdeteksi sudah 4.500 (90 x 25 x 2) laki-laki yang berisiko tertular
HIV. Laki-laki yang 4.500 inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV antar
penduduk. Yang beristri akan menulari istirnya atau perempuan lain atau PSK
lain. Yang tidak beristri akan menularkan HIV kepada pacarnya, pasangannya,
atau PSK.
Ada
yang menyebutkan ‘PSK perlu surat bebas HIV/AIDS’. Ini menunjukkan pemahaman
yang tidak akurat terhadap HIV/AIDS. Misalnya, hari ini pukul 08.00 semua PSK
di Bali menjalani tes HIV. Andaikan 100 persen negatif. Tapi, ada kemungkinan
di antara PSK pada masa jendela (tertular HIV di bawah tiga bulan) ketika dites
sehingga hasilnya negatif palsu (mereka sebenarnya sudah tertular HIV
tapi tidak terdeteksi).
Tes
HIV bukan vaksin. Setelah dites bisa saja ada di antara mereka yang tertular
HIV. Maka, surat bebas HIV/AIDS tidak ada manfaatnya karena setiap saat
setiap orang yang perilaku seksnya berisiko bisa tertular HIV. Apakah Pemprov
Bali akan mengetes setiap PSK setiap saat?
Yang
perlu dilakukan adalah memupus mitos AIDS dengan cara mengedepankan fakta
(medis) tentang cara-cara penularan dan pencegahan HIVserta menganjurkan
penduduk yang perilakunya berisiko untuk menjalani tes HIV secara sukarela.
Mata rantai penyebaran HIV akan diputus mulai dari penduduk yang terdeteksi
HIV-positif. *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.